Rencana mengkaji ulang jumlah penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi terus berlanjut. Tujuannya menyehatkan dan meningkatkan kualitas industri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku industri menyambut rencana Otoritas Jasa Keuangan mengkaji jumlah ideal penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di pasar. Namun, penerapannya perlu kajian dan dasar argumen yang kuat.
Penilaian risiko kredit dan kinerja perusahaan penyedia layanan menjadi pertimbangan yang didiskusikan oleh pelaku industri.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian A Gunadi, di sela-sela kegiatan i-Con 2019 di Jakarta, Kamis (12/12/2019), menyebutkan, baru sekitar 30 penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang sistemnya terhubung PT Pefindo Biro Kredit, anak usaha PT Pemeringkat Efek Indonesia yang mengelola statistik industri perkreditan.
Selain itu, baru sekitar 15 penyedia layanan yang mengintegrasikan data nasabah mereka ke laman Pusat Data Teknologi Finansial milik AFPI. Pusat data ini memiliki sistem yang mampu mendeteksi debitur yang gemar meminjam di berbagai platform, debitur dengan catatan perilaku meminjam buruk, dan mengidentifikasi penipuan.
”Angka (jumlah) ideal penyedia platform layanan sedang kami bahas. Sejalan dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), kami mengedepankan kualitas industri,” kata Adrian.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank OJK Riswinandi mengatakan, OJK tengah mengkaji ulang substansi Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Tujuannya melihat kembali relevansinya terhadap kebutuhan.
OJK juga mempertimbangkan jumlah ideal penyedia layanan di pasar. Alasannya, teknologi digital punya kemampuan menjangkau konsumen lebih luas dan masif (Kompas, 12/12/2019).
Yakin tumbuh
Menurut Adrian, para pelaku mempertimbangkan kondisi industri, seperti porsi penyedia layanan yang bermain di pinjaman produktif dan multiguna serta penyedia yang aktif dan tidak. ”Kami berharap hasil (analisis) sudah bisa keluar triwulan I-2020,” katanya.
AFPI menilai industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi masih akan tumbuh. Hal ini dilihat dari akumulasi penyaluran pinjaman yang telah lebih dari Rp 60 triliun.
Berdasarkan data OJK, jumlah penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang terdaftar/berizin pada Oktober 2019 mencapai 144 perusahaan. Sebanyak 135 perusahaan di antaranya berdomisili di Jabodetabek. Sembilan perusahaan lain berkantor pusat di Bandung (2), Lampung (1), Surabaya (4), Makassar (1), dan Bali (1).
Jumlah pinjaman yang tersalur sejak 2016 hingga Oktober 2019 mencapai Rp 68 triliun. Total rekening peminjam mencapai 15,98 juta, sementara rekening pemberi pinjaman 578.158. Di sisi kualitas pinjaman, tingkat keberhasilan pengembalian 90 hari mencapai 97,16 persen. Adapun tingkat wanprestasi pengembalian 90 hari tercatat 2,84 persen.
Menurut Ketua Harian AFPI Kuseryansah, isu yang dihadapi tak terkait pasar. Pasar pinjaman di Indonesia masih luas. Hal yang menjadi isu asosiasi justru menyangkut operasional penyedia platform, mulai dari sisi suntikan investasi, tim hingga penyaluran dana pinjaman.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, yang dihubungi terpisah berpendapat, semakin banyak penyedia platform akan semakin menyulitkan pengawasan. Penyaluran dana ke debitur makin ketat. Ada kemungkinan penyedia platform menjanjikan tingkat pengembalian tinggi ke pemberi pinjaman yang sebenarnya berasal dari bunga yang dibebankan ke peminjam. Akibatnya, industri jadi tak sehat.
Menurut Bhima, rencana mengkaji jumlah penyedia platform harus punya argumen yang kuat, antara lain mempertimbangkan sehat tidaknya kondisi keuangan perusahaan.