Banjir yang terjadi setiap tahun di sejumlah titik di Sumbar diduga dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam. Warga diminta menjaga dan mengembalikan keseimbangan alam itu.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
LIMAPULUH KOTA, KOMPAS -- Banjir yang terjadi setiap tahun di sejumlah titik, khususnya di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, salah satunya dapat dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam akibat kerusakan alam. Warga diminta menjaga alam agar terhindar dari bencana.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal TNI Doni Monardo menyampaikan itu ketika mengunjungi posko pengungsian warga di Jorong Kubang Rasau, Nagari Balai Panjang, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Limapuluh Kota, Kamis (12/12/2019) malam.
"Saya prihatin dengan musibah terjadi di Sumbar. Banjir dan tanah longsor di Solok Selatan, Agam, dan Limapuluh Kota. Mari hargai alam. Ini sebagian dari wilayah yang mestinya dijaga, justru dirusak dengan tambang dan kayu ditebang. Padahal, filosofi orang Minangkabau itu alam terkembang jadi guru, belajar dari alam," kata Doni.
Filosofi orang Minangkabau itu alam terkembang jadi guru, belajar dari alam. (Doni Monardo)
Di Limapuluh Kota, banjir merendam pemukiman di enam kecamatan, yaitu Harau, Lareh Sago Halaban, Payakumbuh, Suliki, Mungka, dan Pangkalan Koto Baru, Minggu (8/12) malam. Di Harau dan Lareh Sago Halaban, yang banjirnya dipicu meluapnya Sungai Batang Sinamar, setidaknya 67 keluarga dengan 187 jiwa harus mengungsi.
Tidak hanya banjir, longsor juga terjadi di sejumlah titik di Kecamatan Pangkalan Koto Baru dan Kecamatan Akabiluru, Limapuluh Kota. Di Pangkalan Koto Baru, longsor sempat mengganggu Jalan Sumbar-Riau dan menyeret tiga mobil, tetapi tidak ada korban jiwa. Sementara itu, di Akabiluru jembatan yang menghubungkan dua nagari ambles.
Sedimentasi
Selain curah hujan tinggi dan pemukiman berada di dataran rendah dekat pertemuan tujuh sungai, banjir dipicu pula oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan sungai. Salah satu pemicu sedimentasi diduga akibat aktivitas tambang pasir di kawasan hulu Sungai Batang Sinamar.
"Sedimentasi menyebabkan pendangkalan sungai sehingga mudah meluap. Normalisasi pun kalau ekosistem di hulu tidak diperhatikan akan percuma. Perlu dicari tahu apakah sumber masalahnya berasal dari kerusakan alam akibat tambang, penebangan pohon, atau pembukaan lahan baru. Karena banjirnya permanen, solusinya juga harus permanen," ujar Doni.
Karena banjirnya permanen, solusinya juga harus permanen. (Doni Monardo)
Kompas pada Mei 2019 menemukan aktivitas tambang pasir liar tradisional masif di Batang Sinamar di Kecamatan Harau. Selain memicu sedimentasi, aktivitas tambang juga mengganggu sistem irigasi sawah yang menggunakan kincir tradisional. Tambang pernah ditutup polisi dan ditinjau tim terpadu Dinas ESDM Sumbar. Namun, setelah itu, aktivitas tambang kembali beroperasi.
Sementara itu, tahun 2017 di Lareh Sago Halaban, tim gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP Limapuluh Kota pernah merazia tambang pasir menggunakan mesin pompa air diesel (Harianhaluan.com, 5/10/2017). Namun, setelah itu, tambang jenis galian C yang tidak berizin itu dilaporkan sempat beraktivitas kembali.
Doni pun mengimbau warga untuk tidak lagi menambang pasir jika bisa berdampak ke wilayah lain. Kearifan lokal di Sumbar dalam upaya menjaga alam terus lestari harus dipertahankan.
"Tigo tungku sajarangan (tiga pilar di tengah masyarakat), yaitu ninik mamak (tokoh adat), cadiak pandai (orang berpendidikan tinggi), alim ulama (tokoh agama) tolong bergerak. Ingatkan masyarakat, seluruhnya. Jangan mengganggu alam. Kalau alam diganggu, alam pasti akan mengganggu kita. Itu saja rumusnya. Sederhana," kata Doni.
Dalam kesempatan itu, BNPB menyerahkan bantuan dana siap pakai Rp 500 juta untuk penanganan banjir dan longsor pada Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi. BPBD Sumbar juga menyerahkan bantuan logistik, seperti makanan siap saji, sarung, tenda, terpal, dan perlengkapan dapur.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit yang juga ikut dalam kunjungan itu mengatakan, akan meminta Balai Wilayah Sungai Sumatera V dan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Sumbar untuk mengecek pemicu banjir. "Nanti akan ada tim turun untuk mengecek penyebabnya supaya banjir ini tidak terjadi lagi setiap tahun," kata Nasrul.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Limapuluh Kota Joni Amir mengatakan, di sejumlah titik banjir, memang ditemukan aktivitas tambang pasir di sungai, seperti perbatasan Nagari Limbang dan Andiang di Kecamatan Suliki, Nagari Taram, Kecamatan Harau, dan Nagari Balai Panjang, Kecamatan Lareh Sago Halaban. "Namun, bagaimana lagi, mata pencarian masyarakat dari sana sejak turun temurun," kata Joni.
Kerugian material
Menurut Joni, kerugian akibat banjir dan longsor di Limapuluh Kota mencapai Rp 51,850 miliar. Kerugian itu antara lain kerusakan lahan pertanian 1.553 hektar dengan taksiran Rp 9 miliar; kerusakan infrastruktur jalan, jembatan, dan biaya normalisasi sungai dengan total Rp 42,5 miliar; dan kerugian di sektor perikanan Rp 350 juta.
Joni melanjutkan, empat hari pascakejadian, banjir yang sempat bertahan di Harau dan Lareh Sago Halaban sudah surut. Sebagian warga sudah kembali kembali untuk membersihkan rumah dibantu petugas BPBD Limapuluh Kota. Namun, sebagian kecil warga ada yang masih di pengungsian.
Catatan BPBD Limapuluh Kota, Selasa (10/12) malam, sebanyak 67 keluarga dengan 187 jiwa sempat mengungsi dari kediaman masing-masing. Pengungsi itu tersebar di empat nagari, yaitu Taram (Harau) dan Batu Payuang, Bukik Sikumpa, dan Balai Panjang (Lareh Sago Halaban).