Sebanyak 344 mahasiswa dari 32 perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur, ikut melakukan pendampingan kepada anak putus sekolah dan anak rentan putus sekolah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Peserta Campus Social Responsibility yang diadakan Pemkot Surabaya memaparkan perkembangan dalam mengawal anak putus sekolah dan anak rentan putus sekolah, Jumat (13/12/2019) di Surabaya.
SURABAYA, KOMPAS – Sebanyak 344 mahasiswa dari 32 perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur, ikut mendampingi anak putus sekolah dan anak rentan putus sekolah. Mereka mengawal anak-anak tersebut menyelesaikan pendidikan hingga sekolah menengah atas.
Direktur program Campus Social Responsibility (CSR) Dinas Sosial Kota Surabaya Atiyun Najjah Indhira, Jumat (13/12/2019) di Surabaya mengatakan, program SCR diinisiasi sejak 2014 untuk memastikan seluruh anak usia sekolah di Surabaya mendapatkan pendidikan formal.
baca juga; Siswa Surabaya Bantu Gedung Sekolah di Lombok Timur
Pada tahun kelima, ada 344 mahasiswa dari 16 perguruan tinggi di Surabaya yang terlibat dalam program ini. Mereka mendampingi sekitar 370 anak, yang dalam program ini disebut adik asuh. Satu kakak pendamping biasanya mendampingi satu hingga tiga adik asuh.
“Jika ada anak usia sekolah yang putus sekolah, kakak pendamping akan mencarikan solusinya, biasanya melanjutkan kembali ke sekolah formal atau mengikuti kejar paket,” katanya.
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Wali Kota surabaya Tri Rismaharini dalam acara Gathering Campus Social Responsibility di Universitas Surabaya (Ubaya), Minggu, (28/4/2019).
Program ini juga sudah terintegrasi dengan kurikulum di universitas yang terkait. Mahasiswa yang mengikuti program CRS tidak perlu mengikuti mata kuliah Kuliah Kerja Nyata karena program yang berlangsung selama satu tahun ini dianggap memiliki beban yang setara.
Salah satu kakak pendamping dari Universitas Ciputra, Jimmy Taruna (20), mengatakan, masalah yang dihadapi adik asuh dalam menjalani pendidikan formal adalah biaya. Mereka pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu dengan penghasilan di bawah upah minimum kota.
Jika ada anak usia sekolah yang putus sekolah, kakak pendamping akan mencarikan solusinya, biasanya melanjutkan kembali ke sekolah formal atau mengikuti kejar paket
Adik asuhnya, Dehdi Irawan (17), yang bersekolah di SMAN 22 Surabaya, misalnya kesulitan biaya karena ada kebutuhan yang tidaktertutupi dari program sekolah gratis dari Pemerintah Provinsi Jatim. Dia termasuk siswa rentan putus sekolah karena anak yatim ini hanya tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp 3 juta per bulan.
KOMPAS/AGNES SWETTA PANDIA
Mahasiswa sedang mengajari adik asuh, mengantar mengurus dokumen administrasi sampai mengantar jemput ke sekolah selama pendampingan setahun.
Untuk itu, Jimmy mengajak ibu Dehdi, Suryani (56), berganti pekerjaan menjadi wisausaha dengan membuka warung di rumahnya. Sebagai modal berjualan, Dehdi bekerja selama tiga bulan sebagai sales aplikasi dan ditambah dengan uang tabungan ibunya.
"Sejak dua bulan lalu, pendapatan Bu Suryani meningkat menjadi rata-rata Rp 3,6 juta per bulan dan bisa bekerja di rumah sehingga bisa mengawasi anaknya,” ujarnya.
Baca juga; Surabaya Siapkan SMA Gratis untuk Siswa Putus Sekolah
Kendala biaya juga dirasakan oleh kakak asuh Dewi Irawati (20) dari Universitas Negeri Surabaya. Adik asuhnya, Khusnul Fadila (17) menunggak biaya SPP lebih dari Rp 3 juta. Orangtuanya yang bekerja sebagai penjual kerupuk tidak mampu membayar biaya sekolah secara rutin dan terancam putus sekolah.
Pendamping lainnya, Ita Zeftin Trisnawati (20) dari Universitas Narotama menuturkan, adik asuhnya, Hartati (12) putus sekolah sejak kelas 2 sekolah dasar karena menjadi korban perundungan teman-temannya di sekolah. “Adik asuh saya trauma menjadi korban perundungan sehingga saya arahkan untuk mengikuti kejar paket,” katanya.
KOMPAS/RYAN RINALDY
Mahasiswa dari 28 perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur, mengikuti tes seleksi untuk menjadi pendamping anak putus sekolah atau anak rentan putus sekolah di Gelanggang Remaja Tambaksari, Senin (13/3/2017).
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, meskipun SD dan SMP di Surabaya sudah gratis sejak 2010, masih ada potensi anak putus sekolah. Sebab, biaya bukan jadi satu-satunya solusi untuk memastikan seluruh anak usia sekolah mengikuti pendidikan formal. Faktor-faktor lain, seperti keuangan, kondisi keluarga, dan lingkungan bermain sangat menentukan seseorang tetap bersekolah.
“Dari masalah biaya, kami memberikan bantuan kepada anak dari keluarga miskin dapat membeli barang-barang kebutuhan sekolah, bahkan ada beasiswa,” ujarnya.
Menurut Risma, pendidikan sangat diperlukan untuk memutus rantai kemiskinan. Anak-anak harus bisa mendapatkan pendidikan setinggi mungkin karena pendidikan merupakan hal dasar yang harus diberikan kepada anak-anak. Swasta juga dilibatkan dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan menyediakan beasiswa pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
“Tahun ini kami membangun sekolah khusus keterampilan bagi anak-anak yang putus sekolah dan tidak mau kembali melanjutkannya,” tuturnya.