HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal, dan langgeng. HAM harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan.
Oleh
·2 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Peserta aksi membawa gambar sejumlah tokoh yang menjadi korban pelanggaran HAM saat memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang diikuti para buruh dan mahasiswa di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini. Publik juga menaruh harapan besar agar penuntasan persoalan HAM diselesaikan melalui pengadilan.
Konsiderans menimbang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) memastikan pula HAM tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas siapa pun. Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia, menjamin pelaksanaan HAM, serta memberikan perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan atau masyarakat, Pengadilan HAM perlu dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
Pembentukan Pengadilan HAM adalah amanat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Konstitusi, dan Gerakan Reformasi sebab masih ada berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas. Konstitusi yang diubah sejak 1999 jelas memasukkan pengakuan terhadap HAM. Pasal 28i Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, hak hidup, hak tak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak tidak diperbudak, hak diakui di depan hukum, serta hak tak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pelanggaran HAM pada masa lalu umumnya terkait dengan Pasal 28i UUD 1945. Berbagai upaya pernah dilakukan pemerintah bersama DPR untuk bisa menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, khususnya pelanggaran HAM berat, seperti yang diatur dalam UU Pengadilan HAM. Namun, harus diakui, hingga kini belum ada penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, apalagi yang termasuk pelanggaran HAM berat, yang tuntas, memuaskan masyarakat, khususnya mereka yang menjadi korban. Sekadar menyebut: tabir tragedi kerusuhan Mei 1998, kasus Semanggi I dan II, dan peristiwa Tanjung Priok 1984 belum sepenuhnya terbuka.
Sebanyak 61,1 persen responden menyatakan tidak yakin pemerintah mampu mengungkap tuntas pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Jajak pendapat Kompas pada 4-5 Desember 2019 terhadap 512 responden di 17 kota besar menggambarkan kian tipisnya harapan masyarakat pada pemerintah, termasuk aparat, untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Sebanyak 61,1 persen responden menyatakan tidak yakin pemerintah mampu mengungkap tuntas pelanggaran HAM berat di masa lalu (Kompas, 11/12/2019).
Ketidakpercayaan masyarakat bisa jadi kian menggumpal karena sampai hari ini sikap pemerintah dan penegak hukum masih tetap samar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang digagas pemerintah dan DPR, melalui UU Nomor 27 Tahun 2004, untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Islah antara pelaku dan korban pun dicurigai menjadi upaya agar mereka yang melanggar HAM tidak diadili. Aksi Kamisan yang digelar korban pelanggaran HAM sejak 18 Januari 2007, baru sekali, tahun 2018, ditanggapi langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Ide menghidupkan kembali KKR bisa jadi menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, siapa pun yang terkait harus didengarkan. Semua pihak berdialoglah untuk mencari jalan keluar terbaik.