Kewajiban 20 Persen Area Mal untuk UMKM Picu Kecemburuan
Pasal dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran yang mewajibkan pengelola mal menyediakan 20 persen area untuk UMKM dikritik karena dinilai bisa memicu kecemburuan antarpelaku usaha.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia mengkritik salah satu kebijakan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran yang dianggap kontroversial terkait penyediaan ruang usaha di mal. Pasal yang mewajibkan pengelola mal menyediakan 20 persen area gedung bagi UMKM dinilai berpotensi memicu kecemburuan antarpelaku usaha.
Pada Pasal 42 peraturan daerah (perda) itu disebutkan bahwa pengelola mal wajib menyediakan ruang usaha sebesar 20 persen yang dihitung berdasarkan lantai usaha pusat belanja yang dikelola. Pihak pengelola juga diminta membantu UMKM dari sisi pelatihan, konsultasi, dan bantuan permodalan.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun berpendapat, kehadiran 20 persen ruang usaha akan memicu kecemburuan antarpelaku UMKM, terutama antara pelaku yang memilih berdagang di mal dan pelaku yang mendapat bantuan ruang usaha.
”Sebenarnya semangat yang dibawa perda itu bagus untuk memajukan UMKM. Namun, perda ini seakan luput mempertimbangkan bahwa banyak juga pelaku UMKM yang telah berdagang di pusat perbelanjaan selama bertahun-tahun. Nanti, kalau ada ruang usaha yang dibuatkan secara gratis bagi UMKM, mereka iri dong? Jadinya timbul kecemburuan usaha,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu pagi.
Ikhsan juga menilai perda ini luput mempertimbangkan segmentasi dari setiap mal di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak dapat menyamaratakan sebagian mal, seperti Plaza Indonesia dengan Thamrin City. Sebab, keduanya bermain di segmen pasar yang berbeda.
Ia mencontohkan, Thamrin City yang ruang usahanya didominasi UMKM. Apabila ada ruang usaha 20 persen yang disediakan untuk UMKM tertentu dengan bantuan permodalan, dikhawatirkan ruang tersebut justru menjadi pembicaraan oleh para pedagang lain.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan dalam konferensi pers, Selasa (10/12/2019), menyatakan, kebijakan 20 persen area untuk UMKM berpotensi mengurangi pendapatan mal lebih dalam. Padahal, kehadiran pusat belanja saat ini juga sulit di tengah era disrupsi digital yang menghadirkan konsep e-dagang.
Apabila memang semangat perda tersebut untuk membantu UMKM, Stefanus menyebutkan bahwa APPBI telah memfasilitasi sekitar 42.800 UMKM di Jakarta untuk masuk ke mal. Di sejumlah mal pun kerap dilaksanakan pameran rutin tahunan untuk UMKM. ”Kami kerap bekerja sama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) serta Dinas Koperasi dan UMKM DKI Jakarta, jumlahnya mencapai 207.000 UMKM yang berpameran selama satu tahun,” ujar Stefanus.
APPBI menyatakan telah mengajukan peninjauan kembali terhadap Perda DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018. Mereka berharap ada penyesuaian serta pertimbangan kembali terkait kewajiban ruang usaha bagi UMKM.
”Intinya, cukup berat bagi APPBI untuk menyediakan 20 persen ruang dari bangunan mal yang sudah ada. Sebagian okupansi mal pun banyak yang kini hanya tersisa 10 persen. Kalau seperti itu, apa harus kami keluarkan saja sebagian pihak yang telah menyewa? Kami harap ada cara untuk membantu UMKM selain dengan menyediakan ruang seperti itu,” kata Stefanus menjelaskan.
Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Budihardjo Iduansjah menuturkan, banyak cara yang telah dilakukan pihak pengelola untuk membantu UMKM. Salah satu cara yang lain adalah dengan memasukkan produk UMKM melalui ritel di mal.
”Jika hal tersebut dirasa masih kurang, Pemprov DKI Jakarta bisa duduk bersama dengan pelaku usaha untuk mencari titik temu. Saya pikir caranya bukan dengan penyediaan ruang usaha sebesar 20 persen karena, apabila persentase sebesar itu, misalkan saja digratiskan, pengelola akan rugi cukup besar,” tutur Iduansjah.
Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan (KUMKMP) DKI Jakarta Adi Ariantara mengatakan belum bisa banyak berkomentar terkait keinginan para pelaku usaha. Sejauh ini, menurut dia, aspirasi para pelaku usaha telah didengar oleh Pemprov DKI dan ada upaya untuk membenahi peraturan yang ada.
”Info yang saya dapat, kebijakan itu sedang disusun Biro Perekonomian Pemprov DKI Jakarta. Saya tidak bisa berkomentar banyak karena khawatir informasinya menjadi tidak sesuai. Kita tunggu saja,” ujarnya.