Penegakan hukum dalam kasus kekerasan berbasis jender belum seperti yang diharapkan. Banyak korban belum mendapatkan akses perlindungan dan keadilan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Penegakan hukum dalam kasus kekerasan berbasis jender belum seperti yang diharapkan. Banyak korban belum mendapatkan akses perlindungan dan keadilan.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan dalam rumah tangga masih membayangi perempuan di Tanah Air, termasuk di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sepanjang tahun 2019, kasus kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi laporan paling banyak yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, selain kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam berpacaran.
Kendati laporannya paling tinggi, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik dalam bentuk fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual, kasus KDRT tidak banyak yang sampai ke pengadilan. Dari 294 kasus KDRT yang masuk di LBH APIK Jakarta, hanya 15 kasus yang sampai ke kepolisian, dan hanya dua kasus yang sudah diputus di pengadilan.
Dari 294 kasus KDRT yang masuk di LBH APIK Jakarta, hanya 15 kasus yang sampai ke kepolisian, dan hanya dua kasus yang sudah diputus di pengadilan.
“Kasus KDRT ini tidak berdiri sendiri. Kekerasan yang satu selalu disertai dengan kekerasan yang lain, seperti kekerasan fisik disertai dengan kekerasan psikis, kekerasan seksual disertai dengan kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi disertai dengan kekerasan psikis,” ujar Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta, Uli Pangaribuan pada Peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2019 LBH APIK, Selasa (10/12/2019), di Jakarta.
Catahu LBH APIK 2019 yang berdasarkan pengalaman penanganan kasus dan advokasi periode Januari-Oktober 2019 diberikan judul “Negara Harus Serius Melaksanakan Komitmen Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender”. Selain Uli, paparan Catahu juga disampaikan Kordinator Perubahan Hukum LBH APIK, Dian Novita tentang advokasi terkait kebijakan-kebijakan perlindungan perempuan.
Menurut Uli, untuk kasus KDRT psikis hampir sebagian besar tidak bisa melanjutkan kasusnya ke proses hukum, karena salah satu kendalanya adalah pembuktian dan juga korban tidak mampu membayar biaya visum psikiatrikum.
Sementara dalam kasus penelantaran dalam rumah tangga (RT), kendalanya adalah tidak ada ketetapan batasan penelantaran dalam RT sehingga aparat penegak hukum menetapkan beragam tentang batasan nominal dan rentang waktu pemberian nafkah.
“Proses hukum secara pidana yang memakan waktu panjang,biaya mahal, dan melelahkan buat korban untukmendapatkan kepastian hukum. Sebagian besar korban KDRT lebih banyak memilih proses perceraian, tahun 2019 terdapat 32 kasus KDRT yang diselesaikan dengan cara proses perceraian,” ujarnya.
Untuk kekerasan seksual, sepanjang 2019 LBH APIK Jakarta menerima laporan 148 kasus, dan dari jumlah tersebut hanya 6 kasus yang sudah diputus di pengadilan yang semuanya adalah kasus anak. Sedangkan 16 kasus lain masih dalam proses litigasi dan sisanya mendapatkan layanan non-litigasi seperti konsultasi atau dirujuk ke lembaga layanan lainnya.
Sementara kasus perkosaan dan eksploitasi seksual juga masih menjadi kasus tertinggi, yaitu 50 kasus perkosaan dan 55 kasus eksploitasi seksual.
“Untuk kasus kekerasan seksual terutama yang menimpa perempuan dewasa, kendalanya adalah sikap polisi yang menganggap hubungan seksual terjadi atas dasar suka sama suka, saat tidak ada unsur kekerasan. Dalam beberapa kasus polisi berkali-kali menyarankan korban untuk mencabut laporannya,” kata Uli.
Selain paparan dari LBH APIK Jakarta, peluncuran Catahu 2019 juga diisi dengan diskusi yang menampilkan pembicara Lidwina Inge Nurtjahyo (dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Nirwana (Pokja Perempuan Mahkamah Agung), Livia Iskandar (Wakil Ketua LPSK), dan Danika Nurkalista (Koordinator Layanan Psikologi LPSK).
Semua pembicara memberikan apresiasi kepada LBH APIK Jakarta yang selain melakukan advokasi dan pendampingan perempuan korban kekerasan, tetapi juga setiap tahun aktif melaporkan situasi dan perkembangan perlindungan perempuan dari berbagai kekerasan.
Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah menegaskan Catahu tersebut merupakan laporan pertanggungjawaban kepada publik. Adapun judul laporan Catahu 2019 “Negara Harus Serius Melaksanakan Komitmen Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender” tidak dapat dilepaskan dari pengalaman LBH APIK Jakarta bersama mitra dan paralegal dalam menangangi kasus-kasus kekerasan berbasis jender.
Implementasi UU PKDRT
Tingginya kasus KDRT menimbulkan keprihatinan. Livia berpendapat sebenarnya perlindungan terhadap korban KDRT sudah diatur sejak 2004, melalui UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yakni Pasal 10 (a) dan juga diatur lebih dalam Pasal 1 ayat (5).
Pasal 10 (a) menyebutkan bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 1 ayat 5 menyebutkan perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
“Namun kenyataannya korban jarang memanfaatkan hal itu. Kemungkinan karena korban memang tidak paham bahwa ada mekanisme perlindungan itu di UU PKDRT. Kami mendorong penggunaan mekanisme perlindungan dalam UU PKDRT,” ujar Livia.
Nirwana mengungkapkan apa yang dilaporkan LBH APIK Jakarta juga menjadi masukan bagi para aparat penegak hukum termasuk hakim. “Karena korban yang mengalami penderitaan membutuhkan akses perlindungan dan keadilan,” katanya.
Untuk perlindungan korban, menurut Nirwana sebenarnya di tingkat pengadilan sudah cukup, karena Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Namun, sosialisasi harus dilakukan ke aparat penegak hukum yang lain.
Dian Novita menyatakan bahwa berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum yang dilakukan LBH APIK Jakarta sepanjang 2019, menunjukkan kondisi penegakan hukum belum membaik seperti yang diharapkan, karena itu mendorong lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi pekerjaan bersama.