Merebaknya penyakit demam babi Afrika di Sumatera Utara mulai berdampak pada ekonomi sebagian masyarakat. Selain memukul usaha peternakan, omzet rumah makan olahan babi anjlok.
Oleh
NIKSON SINAGA / KORNELIS KEWA AMA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS - Ekonomi sebagian masyarakat terpuruk akibat merebaknya penyakit demam babi Afrika (African swine fever/ASF) di Sumatera Utara. Selain memukul usaha peternakan, omzet rumah makan olahan babi pun anjlok. Padahal, pemerintah menyatakan daging babi yang terjangkit virus ASF aman dikonsumsi.
”Omzet rumah makan olahan babi anjlok hingga 80 persen. Sebagian malah ada yang memilih tutup untuk menghindari kerugian semakin besar,” Ketua Asosiasi Pengusaha Rumah Makan Babi Panggang Karo (BPK) Kota Medan Darna Tarigan, Selasa (10/12/2019).
Darna, pemilik Rumah Makan Olakisat, setiap hari memasak lebih dari 100 kilogram daging babi. Sejak merebaknya ASF, dalam dua bulan terakhir hanya memasak sekitar 20 kg per hari, itu pun sering tidak habis. Penurunan omzet juga dialami lebih dari 200 rumah makan BPK di Kota Medan.
Omzet rumah makan olahan babi anjlok hingga 80 persen.
Berbagai upaya dilakukan pengusaha rumah makan, seperti menempel spanduk yang menyatakan jaminan menyembelih ternak yang sehat saja. Namun, hal itu tak cukup untuk menepis keraguan konsumen terhadap keamanan pangan. Darna berharap, pemerintah menyosialisasikan bahwa virus ASF tidak berbahaya bagi manusia. Untuk membantu sosialisasi, asosiasi akan menggelar wisata kuliner olahan babi di kompleks Kawasan Bisnis Polonia Medan, Senin (16/12).
”Kami akan mengadakan lomba memasak, lomba makan, dan makan siang gratis untuk 1.000 orang. Acara ini untuk menyosialisasikan bahwa babi aman dikonsumsi,” katanya. Kerugian juga masih terus dialami para peternak akibat kematian babi yang terus meluas karena serangan ASF. Sejumlah 23.000 ekor dari populasi 1,2 juta ekor babi di Sumut diperkirakan mati akibat penyakit ASF.
Andri Siahaan (33), peternak babi di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, mengatakan, kematian babi masih terus terjadi di desanya yang merupakan sentra peternakan babi. ASF terus menular ke ternak yang masih sehat. ”Tiga induk babi saya mati. Beberapa ekor anaknya pun kini sudah mulai terjangkit,” kata Andri.
Sementara itu, peternakan skala besar di Sumut yang menerapkan biosecurity tidak terjangkit ASF. Namun, produksi ternak babi tidak terserap pasar. ”Kami biasanya menjual 1.000 ekor babi per bulan. Saat ini hanya sekitar 200 ekor,” kata Manajer Farm PT Mabarindo Sumbul Multi Farm Bitua B Sianturi yang mempunyai kandang di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mewaspadai potensi penyebaran ASF dari Timor Leste. Penyakit ASF merebak di negara tetangga sejak Agustus 2019. Penjagaan di pintu perbatasan dan jalur pelintasan tidak resmi diperketat agar ternak babi dari negara tetangga tidak masuk ke wilayah NTT. Sejauh ini, belum ditemukan kasus ASF di NTT.