Rangkaian bencana alam, terutama letusan gunung dan banjir, diduga kuat sebagai penyebab keruntuhan sejumlah peradaban kuno di sekitar Sungai Brantas, Jawa Timur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
JOMBANG, KOMPAS — Rangkaian bencana alam, terutama letusan gunung dan banjir, diduga kuat sebagai penyebab keruntuhan sejumlah peradaban kuno di sekitar Sungai Brantas di Jawa Timur, termasuk di Jombang. Jejak reruntuhan dari masa Medang hingga Majapahit ditemukan terkubur dalam tanah yang antara lain mengandung endapan lumpur dan material vulkanik masa silam.
Di Jombang, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim meminta tim peneliti geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) dan Universitas Pertamina Jakarta untuk memindai temuan struktur bata kuno di Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro, dan Dusun Kedaton, Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek.
Rabu (11/12/2019) merupakan hari kedua dari rencana tiga hari pemindaian oleh tim ITS dan Universitas Pertamina dengan memakai perangkat teknologi geolistrik, geomagnet, dan georadar. ITS yang memiliki perangkat geolistrik dan geomagnet kemudian menggandeng Universitas Pertamina yang memiliki teknologi georadar. Kedua kampus sepakat melaksanakan penelitian pemindaian pada tiga hari ini.
Seperti apa jaringan strukturnya dapat diketahui tanpa harus menggali atau ekskavasi.
Pakar geofisika dan kebencanaan ITS, Amien Widodo, mengatakan, pemindaian dengan geolistrik, geomagnet, dan georadar akan menghasilkan data untuk mengungkap bentuk struktur di dalam tanah di situs Sumberbeji, Sugihwaras, dan Kedaton. ”Seperti apa jaringan strukturnya dapat diketahui tanpa harus menggali atau ekskavasi,” katanya.
Dari penggalian awal yang telah terlaksana oleh tim BPCB Jatim, menurut Amien, lapisan tanah di ketiga situs purbakala itu menunjukkan adanya kandungan material bencana alam di masa silam. Ada endapan lumpur dan material vulkanik berupa lapisan abu dan batu-batu. Menurut peta geologi, Jombang termasuk dalam daerah yang terdampak letusan Gunung Kelud purba. Selain itu, juga terdapat banyak sungai, termasuk Brantas.
”Hampir seluruh tinggalan purbakala, terutama di Jatim, ditemukan dalam kondisi terkubur dan jika digali tampak lapisan-lapisan material yang berbeda,” ujar Amien. Dari sudut pandang kebencanaan, hal itu dimungkinkan bahwa bencana alam, terutama letusan gunung dan banjir besar, menjadi salah satu penyebab ditinggalkannya atau keruntuhan suatu peradaban kuno.
Di sisi lain, kata arkeolog BPCB Jatim, Wicaksono Dwi Nugroho, sepanjang aliran Sungai Brantas, menurut berbagai prasasti dan kitab atau serat, disebut merupakan lokasi keberadaan peradaban kuno sebelum Majapahit. Sampai kini, peradaban kuno di daerah Sungai Brantas yang belum bisa dikonfirmasi lokasinya adalah Medang setelah pemindahan oleh Pu Sindok. Ada pula Kahuripan dengan raja terkenal Airlangga dan penerusnya, yakni Jenggala (Kahuripan) dan Pangjalu (Kadhiri atau Dhaha).
Dosen Teknik Geofisika Universitas Pertamina, Soni Satiawan, menambahkan, pemindaian dengan ketiga teknologi tadi dapat mengungkap jenis tanah atau lapisan batuan yang mengubur peradaban kuno dimaksud. Ada material vulkanik, lumpur, dan batuan.
Penelitian kepurbakalaan dari sisi sejarah kebencanaan sebenarnya bukan hal yang baru, tetapi lintas disiplin dapat memberi spektrum yang lebih luas.
Peradaban terkubur paling tidak 3 meter dari permukaan tanah saat ini. Dari sana cukup bisa diyakini bahwa peradaban kuno yang terkubur di Sumberbeji, Sugihwaras, dan Kedaton salah satu sebab utamanya akibat bencana alam letusan gunung dan banjir.
”Penelitian kepurbakalaan dari sisi sejarah kebencanaan sebenarnya bukan hal yang baru, tetapi lintas disiplin dapat memberi spektrum yang lebih luas,” kata Juan Pandu, dosen Teknik Geofisika ITS.
Wicaksono pun sependapat bahwa peradaban terkubur material yang diyakini berasal dari bencana alam di masa silam. ”Penelitian geofisika menguatkan hipotesis itu,” katanya.
Di sisi lain, pemindaian lebih mangkus dan sangkil daripada menggali dan membebaskan lahan yang notabene milik masyarakat. Dengan pemindaian dapat diketahui seberapa luas kawasan yang nantinya perlu digali dan dibebaskan.
Pembacaan data dari ketiga teknologi pemindaian tadi bisa diselaraskan dan dimungkinkan pembuatan secara visual tiga dimensi.
Bahkan, menurut Amien, pembacaan data dari ketiga teknologi pemindaian tadi bisa diselaraskan dan dimungkinkan pembuatan secara visual tiga dimensi. Artinya, ada kemungkinan disusun semacam rekaan visual seperti apa bentuk Petirtaan Sumberbeji dan kompleks hunian di Sugihwaras-Kedaton itu.
Apalagi, dalam penggalian sebelum pemindaian juga ditemukan benda-benda lain, terutama arca, pancuran, hiasan atap, dan pecahan gerabah. ”Namun, perlu pembahasan lebih lanjut dengan BPCB Jatim dan teknologi desain visual,” kata Amien.
Peradaban Jombang
Struktur bata di Sumberbeji merupakan petirtaan atau pemandian dengan saluran air. Bertahun-tahun sebelumnya, Sumberbeji merupakan telaga mini untuk salah satu sumber pengairan sawah dan ladang. Masyarakat sempat gentar memperbesar sumber air dengan menggali karena percaya kawasan itu angker.
Namun, setelah ada penggalian pada awal tahun, mereka menemukan struktur. Temuan itu dilaporkan kepada perangkat desa dan sampai kepada BPCB Jatim, yang kemudian melaksanakan ekskavasi pada Oktober dan November lalu.
Sekitar 4 kilometer dari Sumberbeji, pada dua tahun lalu, ditemukan struktur bata kuno di Sugihwaras dan Kedaton. Kedua dusun ini bertetangga. Sampai sekarang belum ada ekskavasi karena keterbatasan dana BPCB Jatim.
Di sini, tim BPCB Jatim dan ITS serta Universitas Pertamina yang hendak melaksanakan pemindaian menemukan ukel dari tanah liat yang merupakan penghias ujung atap rumah dari masa kuno.
”Kami juga menemukan pecahan tembikar sehingga meyakini bahwa Sugihwaras dan Kedaton merupakan kompleks hunian masa silam,” kata Wicaksono. Temuan struktur yang berbeda fungsi di Sumberbeji dan Sugihwaras-Kedaton memberi indikasi kuat bahwa Jombang merupakan lokasi peradaban kuno.
Dari ukuran bata yang disusun menjadi struktur petirtaan di Sumberbeji, diketahui ukurannya lebih besar daripada yang ditemukan di situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Sementara itu, struktur di Sugihwaras-Kedaton mirip dengan peninggalan di Mojokerto. Ini memunculkan dugaan bahwa peradaban pra-Majapahit di Sumberbeji masih dilestarikan di era Majapahit (abad ke-13 dan abad ke-14).
Menurut Wicaksono, jika Jombang adalah salah satu lokasi peradaban kuno, secara ideal dapat ditemukan reruntuhan bangunan dengan berbagai macam fungsi. Sumberbeji merupakan pemandian. Sugihwaras-Kedaton merupakan kompleks hunian.
Artinya, sudah mulai terpenuhi syarat sebagai pusat suatu peradaban. Di Sumberbeji juga ditemukan arca pancuran dengan rupa garuda yang dalam catatan sejarah merupakan penanda era Airlangga. ”Namun, untuk mengonfirmasi bahwa Jombang merupakan lokasi Kahuripan era Airlangga, masih perlu penelitian lanjutan,” katanya.
Bupati Jombang Mundjidah Wahab dalam kesempatan terpisah mengatakan, tahun depan pihaknya akan turut membiayai ekskavasi lanjutan untuk situs Sumberbeji. Nilainya setidaknya Rp 175 juta dari APBD 2020. Selain itu, Sumberbeji telah didaftarkan kepada pemerintah pusat sebagai kawasan cagar budaya untuk mendapat perlindungan.