Kebutuhan barang modal, termasuk yang berasal dari impor, kadang dikorelasikan dengan pertumbuhan investasi. Namun, kondisi yang terjadi belakangan tidak seperti itu.
Oleh
C Anto Saptowalyono
·3 menit baca
Kebutuhan barang modal, termasuk yang berasal dari impor, kadang dikorelasikan dengan pertumbuhan investasi. Ketika investasi meningkat, impor barang modal biasanya juga meningkat. Namun, kondisi yang terjadi belakangan tidak seperti itu.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendata, realisasi investasi secara kumulatif selama periode Januari-September 2019 mencapai Rp 601,3 triliun. Angka ini setara 75,9 persen dari target realisasi investasi sepanjang tahun 2019 yang Rp 792 triliun.
Apabila dirinci, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat Rp 283,5 triliun dan penanaman modal asing (PMA) Rp 317,8 triliun. Realisasi PMDN dan PMA ini masing-masing meningkat 17,3 persen dan 8,2 persen dibandingkan periode Januari-September 2018.
Di sisi lain, impor barang modal sepanjang 10 bulan pertama tahun 2019 tercatat turun. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor barang modal periode Januari-Oktober 2019 tercatat 23,455 miliar dollar AS atau turun 4,94 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang 24,674 miliar dollar AS.
Sebagai gambaran, nilai impor mesin/pesawat mekanik periode Januari-Oktober 2019 tercatat 22,208 miliar dollar AS atau turun 0,25 persen dibandingkan periode sama tahun 2018 yang 22,265 miliar dollar AS.
Sementara itu, impor mesin/peralatan listrik periode Januari-Oktober 2019 senilai 16,103 miliar dollar AS atau turun 9,82 persen dibandingkan periode sama 2018 yang 17,856 miliar dollar AS.
Apa yang dapat menjelaskan kondisi seperti ini? Apakah di pasar memang terjadi pelambatan permintaan barang modal? Ataukah hal ini mengindikasikan telah terjadi substitusi impor sehingga kebutuhan barang modal, termasuk di investasi baru, mampu dipasok industri dalam negeri? Atau, ada faktor lain?
Ada beberapa penjelasan, yang sifatnya masih berupa kemungkinan, ketika hal ini coba dicarikan konfirmasi ke Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma).
Gamma menilai penurunan impor barang modal tersebut dimungkinkan karena berbagai penyebab. Salah satunya penurunan permintaan di beberapa sektor.
Di sisi lain, pelaku industri mesin perkakas dalam negeri mulai mampu memproduksi mesin, semisal mesin skala pelatihan yang digunakan untuk pendidikan vokasi. Artinya, proses substitusi menjadi salah satu faktor yang juga dapat mengurangi impor.
Anggota Gamma pun disebutkan mampu melakukan remanufacturing, yakni kegiatan merekondisi barang modal yang ada menjadi barang baru dengan biaya hampir 50 persen lebih murah.
Meski tak serupa, hal terakhir ini mengingatkan pada kondisi yang terjadi di sektor alat berat beberapa tahun lalu. Saat penjualan alat berat lesu ketika itu, beberapa perusahaan melakukan efisiensi.
Alih-alih membeli alat berat baru, beberapa perusahaan lebih memilih mengoptimalkan pemakaian alat berat yang ada. Alhasil, hal ini pun memberi peluang bagi pelaku industri memberikan jasa layanan pemeliharaan untuk menjaga kinerja alat berat yang telah ada tersebut.
Pada kondisi menantang seperti sekarang segala dinamika harus terus dicermati bersama. Kejelian mengambil peluang di setiap tantangan pun jangan dilupakan. Ini seperti penggalan lirik lagu Looking Through the Eyes of Love yang intinya: bahkan di dalam badai pun kita dapat menemukan cahaya.