Misi Regenerasi Atletik
Prestasi cabang atletik Indonesia cenderung stabil di SEA Games 2019. Namun, tanpa langkah besar regenerasi atlet oleh PB PASI, prestasi atletik Indonesia berpotensi merosot dalam ajang multicabang ke depan.
NEW CLARK CITY, KOMPAS – Perlombaan atletik SEA Games 2019 Filipina telah berakhir. Selama lima hari gelaran, Indonesia berada di peringkat kelima dengan perolehan lima emas, empat perak, dan dua perunggu. Prestasi tim atletik Indonesia memang stabil dari SEA Games 2017 Malaysia ke SEA Games kali ini.
Namun, yang patut menjadi perhatian, semua peraih emas Indonesia adalah para atlet elit yang sebagian sudah tergolong senior. Mirisnya, mereka tidak memiliki pelapis atau atlet penerus yang sepadan saat ini. Jika tak cepat-cepat melakukan regenerasi di sektor andalan itu, atletik Indonesia akan mengalami kemerosotan prestasi pada SEA Games maupun ajang multi cabang selanjutnya.
Pada hari terakhir gelaran atletik SEA Games 2019 di Stadion Atletik, New Clark City, Selasa (10/12/2019), tim Merah-Putih menambah dua medali perak dan tiga perunggu. Dua perak itu berasal dari Halomoan Edwin Binsar di nomor lari gawang 400 meter putra dan Eki Febri Ekawati di tolak peluru putri. Tiga perunggu lewat Sapwaturrahman di lompat jangkit putra, Atjong Tio Purwanto di halang rintang 3.000 meter putra, dan Pretty Sihite di halang rintang 3.000 meter putri.
Secara keseluruhan, Indonesia berada di urutan kelima dengan perolehan lima emas, empat perak, dan dua perunggu. Indonesia tertinggal jauh dari Vietnam di urutan pertama dengan raihan 16 emas, 12 perak, dan sembilan perunggu. Thailand di tempat kedua dengan raihan 12 emas, sembilan perak, dan 10 perunggu. Filipina di posisi ketiga dengan perolehan sembilan emas, lima perak, dan empat perunggu.
Prestasi Indonesia cenderung stabil kalau dibandingkan dengan raihan pada SEA Games 2017. Dua tahun lalu, Indonesia di urutan keempat dengan perolehan lima emas, tujuh perak, dan tiga perunggu. Urutan pertama adalah Vietnam dengan 17 emas, 11 perak, dan enam perunggu. Kedua Thailand dengan sembilan emas, 13 perak, dan 11 perunggu. Ketiga Malaysia dengan delapan emas, delapan perak, dan sembilan perunggu.
Walau stabil, Indonesia patut waspada. Pasalnya, dari lima peraih emas itu, sebagian sudah tergolong atlet senior. Peraih emas Indonesia adalah Agus Prayogo di nomor maraton, Hendro Yap di jalan cepat 20 kilometer, Sapwaturrahman di lompat jauh, Emilia Nova di lari gawang 100 meter putri, dan Maria Natalia Londa di lompat jauh putri.
Dari lima peraih emas itu, Agus sudah berusia 34 tahun, Hendro 29 tahun, dan Maria 29 tahun. Hanya Emilia dan Sapwaturrahman yang tergolong masih muda dan berada di usia emas. Emilia berusia 24 tahun dan Sapwaturrahman berusia 25 tahun. Bahkan, Maria sudah memutuskan akan pensiun dari dunia atletik pasca SEA Games ke-30 ini.
Namun, bukan itu saja yang menjadi keprihatinan. Lima peraih emas itu tidak memiliki pelapis atau atlet penerus yang sepadan. Agus memang punya pelapis Welman David Pasaribu. Tapi, pelapis berusia 26 tahun itu catatan waktunya jauh di bawah Agus. Catatan waktu terbaik Agus 2 jam 21 menit 9 detik. Waktu terbaik Welman masih sekitar 2 jam 30-an menit.
Demikian Sapwaturrahman. Atlet asal NTB itu punya catatan lompatan terbaik 8,09 meter. Ia sejatinya punya pelapis potensial asal Bangka-Belitung Ahmad Ambali Sukur yang masih berusia 18 tahun dengan rekor lompatan terbaik 7,65 meter. Namun, Ambali mengalami cedera dan terpaksa dicoret dari pelatnas saat ini.
Emilia yang punya rekor lari terbaik 13,33 detik pun belum memiliki pelapis sepadan. Emilia memang punya rekan berlatih di pelatnas lebih muda, yakni Ken Ayu Thaya yang masih berusia 22 tahun. Namun, catatan waktu terbaik Ken masih sekitar 14 detik.
Bahkan, Maria yang akan penisuan belum memiliki pelapis yang sepada saat ini. Maria punya rekor lompatan terbaik 6,70 meter. Pada Kejurnas Atletik 2019, peraih perak lompat jauh putri adalah atlet NTB Rohani yang masih berusia 23 tahun. Namun, capaian lompatan terbaik Rohani belum pernah melebihi 6 meter.
”Fenomena ini harus disikapi segera oleh pengurus maupun pemerintah. Atlet elite ataupun senior tidak mungkin terus dalam kondisi terbaik dan terus berkarir. Ada kalanya performa mereka turun dan mereka punya batas usia aktif. Jadi, sebelum atlet itu performanya melambat dan menjelang massa pensiun, pengurus ataupun pemerintah harus sudah menyiapkan pengganti mereka,” ujar Maria.
Tanpa alternatif
Karena itu pula, ketika atlet senior yang menjadi tumpuan tidak tampil optimal, Indonesia tidak ada alternatif atlet lain untuk merebut emas. Contohnya Atjong Tio Purwanto yang merupakan juara bertahan halang rintang 3.000 meter SEA Games. Pada SEA Games 2017, Atjong berhasil meraih emas dengan waktu 9 menit 3,94 detik.
Namun, karena cedera retat tulang jari kaki kanan yang didapat saat Kejurnas 2019 dan cedera otot betis kiri beberapa saat sebelum SEA Games 2019, Atjong pun gagal mempertahankan emas nomor tersebut di SEA Games kali ini.
Adapun Atjong sudah berusia 28 tahun. Sejauh ini, dia merupakan pemegang rekornas halang rintang 3.000 meter dengan waktu 8 menit 54,32 detik yang dicetak pada Asian Games 2018 lalu. Hingga kini, dia memang tidak memiliki pelapis sepadan yang bisa mengantikan ataupun meneruskannya ketika performanya turun seperti sekarang.
Menurut Atjong, sejatinya, banyak bakat baru atlet-atlet muda yang siap menggantikan para atlet senior di pelatnas, termasuk menggantikan dirinya. Hanya saja, atlet-atlet muda itu terkadang lambat untuk dipanggil pelatnas. Mereka baru dipanggil ketika sudah menunjukkan prestasi di tingkat nasional, seperti pada Kejurnas ataupun Pekan Olahraga Nasional.
Harusnya, tambah Atjong, atlet-atlet muda itu segera dipanggil ke pelatnas. Dengan begitu, mereka cepat mendapatkan standar pelatihan yang lebih baik. Hal itu memungkinkan mereka berkembang dengan pesat. ”Di sisi lain, para atlet muda itu harus diberikan kepercayaan lebih untuk mengikuti sejumlah kejuaraan internasional,” tegasnya.
Pelatih tolak peluru PB PASI Ong Kok Hin menyampaikan, selama ini, regenerasi cenderung lancar di nomor-nomor lintasan, seperti nomor sprint atau lari jarak pendek. Itu karena nomor itu tidak memerlukan fasilitas khusus. Di sisi lain, nomor lari sudah lebih populer di masyarakat.
Untuk nomor lapangan atau teknik, itu butuh fasilitas lebih khusus untuk berlatih. Seperti tolak peluru, tidak hanya butuh lapangan dan bola tolak peluru melainkan juga butuh fasilitas beban untuk menunjang pembentukan otot atlet. Nomor itu pun butuh sosialisasi lebih ke masyarakat.
”Di nomor lapangan ini, pengurus ataupun pemerintah harus lebih banyak bergerilya ke lapangan untuk mengembangkan nomor itu agar regenerasinya lebih baik. Hal itu mulai dari menyediakan fasilitas pendukung yang memadai di daerah-daerah. Hingga sosialisasi lebih masif ke masyarakat. Dan, tidak segan mencari bibit potensial ke pelosok-pelosok daerah,” ujar Ong.
Manajer tim atletik Indonesia di SEA Games 2019 sekaligus manajer pelatnas atletik Indonesia Mustara Musa menyampaikan, pihaknya sudah memikirkan upaya regenerasi itu. Oleh karena itu, pada tahun ini, mereka tidak segan mencoret para atlet senior yang prestasinya cenderung stagnan. Sebaliknya, mereka menggantikan para atlet senior itu dengan atlet-atlet remaja dan yunior.
”Paradigma pembinaan atlet kami sudah mulai berubah. Sekarang, kami sedang prioritas mengembangkan atlet remaja dan yunior. Hal itu tidak lepas dari fenomena sprinter Lalu Muhammad Zohri yang masih muda tetapi sudah bisa meraih prestasi mendunia. Namun, program yang lami mulai sekarang tidak akan segera menghasilkan buahnya dalam waktu dekat. Itu butuh proses panjang,” pungkas Mustara.