BNNP Lampung menggagalkan peredaran 41,6 kilogram sabu yang dikirim dari Aceh ke Lampung. Tiga dari enam tersangka yang ditangkap merupakan tahanan Rutan Kelas IA Bandar Lampung.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Kepala BNNP Lampung Brigjen Ery Nursatari (kanan) saat menunjukkan barang bukti berupa sabu, Selasa (10/12/2019), di Bandar Lampung.
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung menggagalkan peredaran 41,6 kilogram sabu yang dikirim dari Aceh ke Lampung. Dari enam tersangka yang ditangkap, tiga tersangka merupakan tahanan Rutan Kelas IA Bandar Lampung yang mengendalikan jaringan narkoba tersebut.
Ketiga tahanan itu, yakni HA (33), SU (33), dan JS (41). Ketiganya merupakan warga Bandar Lampung yang baru ditahan dua bulan lalu atas kasus yang sama. Adapun tiga orang lainnya yang ditangkap berperan sebagai kurir, yakni SH (38), MU (36), dan IU (38). SH warga Bandar Lampung, sedangkan dua tersangka lainnya adalah warga Aceh.
Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung Brigadir Jenderal Ery Nursatari, Senin (10/12/2019), mengatakan, jaringan narkoba ini diungkap setelah aparat BNNP melakukan pengintaian beberapa hari sebelumnya. Dua tersangka yang pertama ditangkap adalah IU dan SH. Mereka ditangkap saat melakukan transaksi narkoba di halaman parkir RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung, Rabu (4/12).
Petugas telah memberikan tembakan peringatan, tetapi tidak dihiraukan sehingga dilakukan tindakan tegas (menembak) yang mengenai kaki tersangka.
Penangkapan bermula ketika aparat membuntuti tersangka SH dari rumahnya di Teluk Betung, Bandar Lampung. Ternyata, SH menuju halaman parkir rumah sakit untuk menemui IU. Di sana, IU sudah menunggu dengan membawa mobil yang di dalamnya terdapat sabu. Saat itulah, kedua tersangka ditangkap.
”Saat hendak ditangkap, tersangka mencoba melarikan diri. Petugas telah memberikan tembakan peringatan, tapi tidak dihiraukan sehingga dilakukan tindakan tegas (menembak) yang mengenai kaki tersangka,” kata Ery, saat konferensi pers di Kantor BNNP Lampung.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Barang bukti berupa 41,6 kilogram sabu ditunjukkan saat jumpa pers di kantor BNNP Lampung, Selasa (10/12/2019).
Saat mobil digeledah, aparat menemukan 41,6 kg sabu yang dibungkus dalam kemasan teh china. Selain itu, polisi juga menyita gawai dan sejumlah kartu ATM yang diduga digunakan tersangka dalam menjalankan bisnis narkoba tersebut.
Ditembak
Setelah diperiksa, kedua tersangka langsung diserahkan ke Rutan Kelas IA Bandar Lampung. Namun, di perjalanan, tersangka IU berusaha kabur. Petugas pun terpaksa menembak tersangka. Nyawanya tidak tertolong saat hendak dibawa ke rumah sakit terdekat.
Dari penangkapan dua tersangka itu, aparat lalu menangkap MU di Aceh pada 7 Desember. Dia diduga bagian dari jaringan yang mengendalikan pengiriman sabu dari Aceh. Aparat juga menangkap tiga tahanan yang menjadi pengendali narkoba dari dalam rutan Lampung. Mereka menggunakan telepon seluler sehingga dapat mengatur bisnisnya dari dalam tahanan.
Menurut Ery, tersangka JS diduga sebagai pengendali utama jaringan itu. JS pernah ditangkap atas kasus peredaran 13 kg sabu pada Oktober 2019. Dari dalam rutan, JS justru bekerja sama dengan dua tahanan lain dalam mengedarkan 41,6 kg sabu tersebut.
Berdasarkan pengakuan tersangka, sabu itu hendak diedarkan di Lampung saat perayaan Tahun Baru. Atas kejahatan itu, para tersangka dijerat Pasal 132 Ayat (1), Pasal 114 Ayat (2), serta Pasal 112 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tersangka terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup hingga hukuman mati.
Saat dikonfirmasi, Kepala Rutan Kelas IA Bandar Lampung Roni Kurnia menjelaskan, pihaknya membantu BNNP Lampung merazia alat komunikasi di dalam rutan. Saat razia, petugas menemukan lima telepon seluler, tiga di antaranya milik tersangka jaringan narkoba tersebut.
Dari pengakuan tersangka, telepon seluler itu diselundupkan ke dalam rutan oleh pengunjung. Telepon disembunyikan dalam makanan sehingga tidak ketahuan petugas.
Roni menambahkan, tersangka juga memanfaatkan kelengahan petugas saat kunjungan ramai. Saat itu, petugas tidak dapat melakukan pengawasan menggunakan mesin pemindai karena alat tersebut rusak.
”Saat ini, kami sedang menunggu teknisi dari pusat untuk memperbaiki mesin X-ray (sinar-X) tersebut. Perbaikan mesin tidak bisa sembarangan, jadi harus menunggu dari Jakarta,” katanya.
Saat ini, rutan dihuni oleh 1.300 tahanan kasus narkoba. Jumlah itu hampir dua kali lipat kapasitas rutan yang hanya mampu menampung 750 tahanan. Sementara, jumlah petugas hanya 17 orang. Roni mengatakan, jumlah petugas tidak seimbang dengan jumlah tahanan sehingga pengawasan sulit.