Puluhan peladang berpindah bersama mahasiswa dan organisasi kepemudaan lainnya beraksi damai di Kota Palangkaraya menuntut kebebasan bertani.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Puluhan peladang berpindah bersama mahasiswa dan organisasi kepemudaan lainnya beraksi damai di Kota Palangkaraya menuntut kebebasan bertani. Mereka juga meminta peladang-peladang yang ditangkap untuk dibebaskan dari segala tuntutan. Penangkapan dinilai tidak menjadi solusi dari larangan membakar sebab petani tetap membakar lahan karena tak memiliki pilihan.
Sejak peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah yang mulai masif pada Juli hingga akhir November, sedikitnya terdapat 161 kasus karhutla yang ditangani. Data Polda Kalteng menunjukkan, sebanyak 121 orang ditetapkan tersangka, sebagian besar merupakan peladang yang tertangkap membakar lahan, sebagian lagi merupakan orang suruhan yang membersihkan lahan.
Polda Kalteng juga menyidik 20 kasus kebakaran di lahan korporasi di mana dua di antaranya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Polisi tetapkan dua orang sebagai tersangka. Dua tersangka itu berasal dari dua korporasi lahan sawit.
”Kalau tidak berladang siapa yang mau belikan beras dan sekolahkan anak kami?” teriak Hayati Daud (49), warga Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas, Selasa (10/12/2019) di depan kantor Polda Kalteng.
Kalau tidak berladang siapa yang mau belikan beras dan sekolahkan anak kami.
Hayati mengungkapkan, proses berladang yang terus berpindah memaksa dirinya harus membakar untuk membersihkan lahannya. Selain karena tradisi, dengan membakar, peladang tidak perlu membeli pupuk lagi.
”Kami sekolahkan anak hingga ada yang jadi polisi, pegawai negeri, ya, dari hasil berladang itu,” ungkap Hayati di sela-sela aksi.
Hayati tak sendiri, puluhan orang dalam aksi yang berasal dari sejumlah daerah di Kalteng, seperti Barito Utara, Kapuas, dan Katingan juga menyerukan hal yang sama. Menurut mereka, membakar sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka hidup, dan tidak pernah menimbulkan bencana asap.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto mengungkapkan, bencana asap muncul sejak pembukaan lahan masif di periode 1990-an. Saat itu, menurut Ferdi, investasi perkebunan sawit baru dibuka sejalan dengan jutaan hektar hutan yang dibuka dengan cara dibakar.
”Ada kesenjangan hukum dan tindakan hukum antara peladang tradisional dan korporasi. Padahal, kenyataannya, areal terbakar di wilayah korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan ratusan peladang yang ditangkap,” kata Ferdi.
Ada kesenjangan hukum dan tindakan hukum antara peladang tradisional dan korporasi. Padahal, kenyataannya, areal terbakar di wilayah korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan ratusan peladang yang ditangkap.
Ferdi menilai setelah mengeluarkan larangan membakar, belum ada solusi yang diberikan pemerintah agar petani tetap berladang. Penangkapan yang dilakukan aparat pun tidak menyelesaikan masalah karena pada kebakaran 2015 banyak petani ditangkap karena tuduhan membakar dan tetap terulang pada tahun-tahun berikutnya.
Masyarakat adat yang hadir dalam aksi itu menggunakan seragam adat lengkap dengan mandau atau parang. Beberapa bahkan membawa peralatan berladang. Aksi itu mereka mulai pada pukul 09.00, di Bundaran Besar Kota Palangkaraya, lalu berjalan kaki menuju kantor Polda Kalteng, dan mengakhiri aksinya di kantor DPRD Provinsi Kalteng.
Polda Kalteng mereka bertemu beberapa petinggi Polda Kalteng dan Kepala Polres Kota Palangkaraya Komisaris Besar Dwi Tunggal Jaladri. Jaladri menjelaskan, pihaknya membuat garis polisi di 68 lokasi kebakaran di Palangkaraya, tetapi hanya enam tersangka yang saat ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Palangkaraya.
”Kami ini hanya menjalankan tugas negara karena aturannya memang seperti itu, kalau nanti ada perda yang mengakomodasi keinginan dan aspirasi masyarakat di Kalteng pasti akan kami ikuti juga,” ungkap Jaladri.
Jaladri menjelaskan, pihaknya tidak bisa membebaskan begitu saja para tersangka yang sudah ditangkap. Seharusnya ada proses hukum yang bisa dilakukan oleh para pendemo dan pendamping hukum para peladang seperti pra-peradilan.
Ini juga sudah saya sampaikan ke peserta aksi bahkan sebelum beraksi, saya datang ke kantor AMAN dan berdiskusi sambil ngopi agar suasananya bisa lebih tenteram,” ungkap Jaladri.
Disidang
Dalam aksi, para orator juga menyayangkan penangkapan dua peladang di Kotawaringin Barat, Gusti Maulidin dan Sarwani asal Desa Rungun dan satu peladang yang difabel, Saprudin dari Komunitas Adat Juking Pajang di Kabupaten Murung Raya. Ketiganya sedang menjalani persidangan setelah sempat ditangkap dan ditahan aparat keamanan karena dugaan membakar lahan.
”Kami minta mereka dibebaskan, pasalnya mereka hanya mencari nasi untuk makan dan hidup keluarga,” lanjut Ferdi.
Ferdi menjelaskan, pemerintah terkesan tutup mata dan menyalahkan peladang. Dari data yang ia kumpulkan, titik-titik api lebih banyak berasal di area atau kawasan yang sudah dibebani izin-izin perkebunan.
”Negara harusnya melindungi mereka bukan menangkap dan mengadili mereka hanya karena upaya bertahan hidup di ladang,” ungkap Ferdi.