Meletusnya unjuk rasa lebih dari dua bulan terakhir di Irak bukan hanya menggambarkan perlawanan rakyat Irak terhadap pemerintah mereka. Di balik itu, ada persaingan elite di Najaf dan Qom.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
Unjuk rasa di Irak, yang meletup sejak awal Oktober lalu dan terus berlanjut, ini sesungguhnya merupakan peristiwa luar biasa di mata publik Irak dan bangsa Arab. Menurut Komisi HAM Irak, unjuk rasa itu menelan korban meninggal dan luka-luka.
Disebut peristiwa luar biasa, lebih karena unjuk rasa meletup di wilayah Syiah di Irak. Padahal, kaum Syiah sedang berkuasa berkat sistem politik pasca-ambruknya rezim Saddam Hussein yang memberi kekuasaan besar kepada kaum mayoritas di Irak. Mereka pertama kali mendapat kekuasaan sejak berdirinya negara Irak modern pada 1930-an. Hal yang terjadi saat ini yaitu pemberontakan warga terhadap pemerintahan.
Karena itu, perhatian pun tertuju pada kota Najaf di Irak dan kota Qom di Iran. Dua kota itu merupakan basis rujukan. Dalam kultur dan tradisi, rujukan ini bersifat inklusif, meliputi semua aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Maka, sudah jadi tradisi jika tokoh-tokoh politik di Irak selalu sowan kepada Pemimpin Spiritual Syiah Irak, Ali al-Sistani, yang tinggal di Najaf untuk meminta nasihat atau petunjuk.
Dari berbagai unjuk rasa itu, terkuaklah retaknya rumah besar. Ini akibat perbedaan pendapat para elite rujukan, antara yang bermukim di Najaf dan Qom. Rujukan di Iran dipegang pemimpin spiritualnya, Ayatollah Ali Khamenei. Sistani mendukung unjuk rasa di Irak guna mendorong perubahan besar di negara itu. Khamenei mengecam keras aksi unjuk rasa di Irak serta menuduh Amerika Serikat dan Arab Saudi ada di balik unjuk rasa tersebut.
Perbedaan pandangan antara Sistani dan Khamenei semakin kentara di lapangan.
Perbedaan pandangan antara Sistani dan Khamenei semakin kentara di lapangan. Pengunjuk rasa menyerang kepentingan Iran di Irak. Tiga kali kantor konsulat Iran di Najaf diserang, yaitu pada Rabu (27/11/2019) malam, Minggu (1/12), dan Selasa (3/12).
Pasca-revolusi 1979
Perbedaan pendapat antara Najaf dan Qom terkait unjuk rasa di Irak saat ini mengingatkan kembali persaingan dua kota itu pasca-revolusi Iran tahun 1979. Kemenangan revolusi Iran 1979 yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini memunculkan ambisi Iran memindahkan pusat rujukan keagamaan kaum Syiah dari kota Najaf ke kota Qom.
Elite Syiah di Najaf melawan upaya Iran tersebut. Bagi elite di Irak, dinobatkannya Najaf menjadi pusat rujukan merupakan harga yang tak dapat diganggu gugat. Najaf adalah kota suci yang diyakini menjadi tempat kuburan Imam Ali Ibn Abi Thalib, saudara sepupu dan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, serta imam besar bagi kaum Syiah di seluruh dunia.
Meletupnya perpecahan antara Najaf dan Qom setelah kemenangan revolusi Iran tahun 1979 itu terjadi lantaran Najaf menolak mengakui sistem politik Velayat e-Fakih yang diterapkan di Iran pascarevolusi itu. Menurut elite di Najaf, kekuasaan dan pemerintahan harus bersumber dari rakyat dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Elite hanya memiliki peran sebagai penasihat atau konsultan.
Adapun menurut sistem politik Velayat e-Fakih, kekuasaan tertinggi politik berada di tangan elite. Rakyat hanya memiliki wewenang memilih dewan eksekutif negara atau pemerintah yang posisinya di bawah dan sekaligus tunduk kepada elite spiritual.
Pada era Saddam Hussein, perpecahan Najaf dan Qom tak terlalu terlihat di permukaan. Najaf saat itu memilih lebih bersikap pasif. Elite di Najaf menolak keras untuk dimanfaatkan oleh rezim Saddam Hussein, apalagi jika itu untuk melawan Iran dan Qom. Menurut ulama Syiah di Najaf, perbedaan pendapat Najaf dan Qom adalah urusan internal. Pihak luar tak diizinkan mengintervensi.
Pada era Saddam Hussein, perpecahan Najaf dan Qom tak terlalu terlihat di permukaan. Elite di Najaf menolak keras dimanfaatkan oleh rezim Saddam Hussein, apalagi jika itu untuk melawan Iran dan Qom.
Pengaruh Iran
Ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003, yang mengantarkan mayoritas berkuasa di Irak, membuka jalan bagi Iran untuk meningkatkan pengaruh di Irak. Hal itu membuat terjadinya gesekan antara Najaf dan Qom. Qom praktis memenangi pertarungan melawan Najaf dalam percaturan politik Irak sejak ambruknya rezim Saddam Hussein sampai saat ini.
Hal itu bisa dilihat bahwa sebagian besar perdana menteri Irak sejak tahun 2003 dikenal loyalis Iran dan mendapat jabatan PM berkat dukungan Teheran, seperti PM Ibrahim al-Jaafari (2005-2006), PM Nouri al-Maliki (2006-2014), Haider al-Abadi (2014-2018), dan Adil Abdul Mahdi (2018-2019).
Hegemoni Iran di Irak semakin kuat menyusul lahirnya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tahun 2014 yang saat itu menguasai hampir 40 persen wilayah Irak, khususnya provinsi di Irak barat dan Irak barat laut. Kubu Najaf saat itu terpaksa bergandengan tangan dengan kubu Qom untuk melawan NIIS. Kubu Najaf ikut mendukung pula dibentuknya milisi Hashed al- Shaabi, loyalis Iran dan milisi khusus melawan NIIS.
Namun, pasca-kekalahan NIIS di Irak pada 2017-2018, hubungan Najaf dan Qom kembali dingin seperti sebelum lahirnya NIIS. Meletup aksi unjuk rasa rakyat di Irak sejak awal Oktober lalu untuk melawan sistem politik negara itu yang dianggap gagal menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan negara menjadi momentum kubu Najaf mendukung aksi unjuk rasa rakyat.
Bagi kubu ulama Najaf, mendukung aksi unjuk rasa rakyat saat ini adalah peluang untuk mengakhiri atau minimal meminimalisasi hegemoni Qom di Irak selama ini. Karena itu, unjuk rasa di Irak saat ini dipandang bukan hanya jalur perjuangan rakyat Irak, melainkan juga perlawanan kubu Najaf terhadap pengaruh Iran.