Memaksimalkan Pergerakan Orang dan Barang di Negeri Ini
Pergerakan barang dan orang membutuhkan akses infrastruktur yang memadai. Jika akses terbatas, fungsi dan manfaat infrastruktur menjadi kurang optimal.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Ruas Tol Kunciran-Serpong di Banten resmi beroperasi. Dengan panjang 11,2 kilometer, pengoperasian ruas tersebut mungkin belum berdampak signifikan dalam kerangka jaringan jalan tol Jabodetabek secara keseluruhan. Namun, beberapa hal bisa jadi catatan.
Tol Kunciran-Serpong merupakan bagian dari Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) II yang telah selesai dan beroperasi tuntas. Sebelumnya, sudah ada ruas Cinere-Jagorawi yang telah lebih beroperasi, tetapi baru sebagian.
Tol JORR II telah direncanakan sejak tahun 1980-an. Tol JORR II menjadi lapis kedua tol yang menghubungkan kota-kota di sekitar Jakarta. Saat itu telah disadari bahwa perkembangan wilayah Jabodetabek yang melebar perlu dukungan jalan bebas hambatan yang dapat memecah arus lalu lintas kendaraan antarkota di sekitar Jakarta.
Jika seluruh JORR II beroperasi pada 2020, diperkirakan lalu lintas di Tol Dalam Kota maupun JORR akan berkurang 10-20 persen.
Di sisi barat, Tol JORR II akan tersambung dengan Tol Sedyatmo yang mengarah ke Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dan di sebelah timur akan tersambung dengan tol Akses Tanjung Priok. Di barat, JORR II secara khusus akan mendukung Bandara Soekarno-Hatta yang akan ditingkatkan kapasitasnya menjadi 100 juta penumpang per tahun serta terminal kargo yang berkapasitas hingga 1,5 juta ton kargo per tahun.
Demikian pula, JORR II akan mendukung arus kendaraan yang mengarah ke kawasan industri di sekitar koridor Jakarta-Cikampek. Sebaliknya, arus logistik menuju kawasan industri di Cilegon maupun Pelabuhan Merak akan lebih lancar.
Kebutuhan akses jalan bebas hambatan untuk mendukung pergerakan barang dan orang menuju tempat tertentu memang cukup tinggi. Jika akses masih terbatas, fungsi dan manfaat infrastruktur yang telah dibangun menjadi tidak maksimal.
Contohnya bisa dilihat pada Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, yang dinilai banyak kalangan belum maksimal karena akses menuju ke bandara itu masih terbatas. Tol Cisumdawu yang diharapkan menjadi akses utama masyarakat Bandung menuju Bandara Kertajati juga belum rampung baik konstruksi maupun pembebasan lahannya.
Masih di Jawa Barat, tidak jauh dari Bandara Kertajati, tengah dibangun Pelabuhan Patimban di Subang. Menurut rencana, Pelabuhan Patimban akan dibangun bertahap dan menjadi titik kumpul untuk ekspor produk otomotif dengan kapasitas sampai 7,5 juta TEUs peti kemas dan 600.000 kendaraan per tahun.
Seiring pembangunan Pelabuhan Patimban, dibangun pula jalan akses Pelabuhan Patimban sepanjang 8,2 km yang menghubungkan Pelabuhan Patimban dengan jalan nasional pantai utara (pantura).
Jalan tersebut dibangun dengan konstruksi di atas tanah dan secara khusus diperuntukkan bagi kendaraan yang keluar masuk Pelabuhan. Lebih lanjut, akan dibangun jalan tol akses Patimban yang menghubungkan Pelabuhan Patimban dengan Tol Cipali. Ditambah lagi, akan dibangun jalur kereta ke Pelabuhan Patimban.
Pelabuhan Patimban memang dimaksudkan untuk membagi arus kargo peti kemas ataupun kargo kendaraan yang selama ini menuju Tanjung Priok. Sebab, akses menuju Tanjung Priok dari kawasan industri di sekitar Bekasi dan Karawang yang sudah sangat padat akan memengaruhi daya saing logistik. Selain itu, Pelabuhan Patimban akan turut mengembangkan industri di Jawa Barat.
Begitu kiranya peran dan fungsi infrastruktur untuk memudahkan mobilitas orang dan barang, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing. Apalagi, Pulau Jawa menjadi tempat sekitar 150,4 juta jiwa atau 56 persen dari total 266,91 juta jiwa penduduk Indonesia dan 44 dari total 63 kawasan industri di Indonesia.
Maka, peran sarana dan prasarana yang mendukung mobilitas orang dan barang menjadi sangat signifikan. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)