Odekta Elvina Naibaho masih dalam masa pemulihan pasca serangan ”heat stroke” saat final maraton, Jumat lalu. Namun, kekuatan mental dan dukungan tim atletik membuat Odekta bangkit dan meraih perunggu nomor 10.000 meter.
Oleh
Adrian Fajriansyah dari New Clark City, Filipina
·4 menit baca
Pelari jarak jauh Indonesia, Odekta Elvina Naibaho, begitu emosional ketika memastikan tempat ketiga dalam final lari 10.000 meter putri SEA Games 2019 di Stadion Atletik, New Clark City, Filipina, Minggu (8/12/2019) pagi. Walau hanya meraih perunggu dengan waktu 36 menit 42,28 detik, dia merayakannya penuh suka cita seolah-olah telah meraih emas. Air matanya tak henti mengalir dan tangannya berulang kali menyeka air mata tersebut.
Bagi Odekta, perunggu itu adalah pengganti emas yang lepas pada final maraton putri SEA Games 2019 di kawasan New Clark City, Filipina, Jumat (6/12). Saat itu, atlet kelahiran Desa Soban, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, 5 November 1991, itu, sejatinya tampil begitu meyakinkan. Dia terus memimpin hingga setengah kilometer menjelang finis. Namun, hanya 200 meter sebelum finis atau tepat di depan Pusat Akuatik, New Clark City, Odekta tiba-tiba blank.
Pandangannya tiba-tiba memutih, lalu menjadi gelap dan dirinya kehilangan kesadaran. Menurut tim medis, dia terkena serangan panas atau heat stroke. ”Setelah itu, saya tidak tahu apa-apa lagi. Ketika bangun, saya sudah di rumah sakit dan sedang diberikan perawatan,” ujar Odekta.
Odekta mengatakan, peristiwa dua hari lalu benar-benar memukul dirinya. Sebab, ia sangat semangat ingin meraih medali, terutama emas, dalam perlombaan pertama di SEA Games pertamanya ini. Nyatanya, Tuhan berkehendak lain. Dia gagal meraih apa yang diinginkannya walau sudah melakukan persiapan dan rencana dengan matang.
Yang lebih membuatnya tersentak, dalam kehilangan kesadaran itu, Okdeta mengalami peristiwa relijius yang seolah-olah dirinya telah tiada. Ia melihat bahwa dirinya sudah meninggal, masuk dalam peti mati, dikubur, ditabur bunga, dan ditangisi oleh para keluarga.
”Itu seperti nyata sekali. Saya tidak henti menangis karena bayangan itu. Bahkan, setelah sadar, saya langsung berkirim pesan ke semua keluarga dan kerabat untuk minta maaf dan mengucapkan salam perpisahan seolah-olah saya memang segera meninggal,” ujar Odekta.
Setelah mengalami peristiwa spiritual itu, Odekta sempat ingin mundur saja dari perlombaan 10.000 meter putri. Ia sempat tak percaya diri dengan kemampuannya. ”Namun, keluarga, kerabat, teman, hingga anggota tim atletik di sini menyemangati saya untuk tidak menyerah. Saya didorong untuk mencoba lagi merebut medali di 10.000 meter ini,” katanya.
Dengan dorongan kuat orang-orang terdekat itu, Odekta akhirnya mau turun di 10.000 meter. Dalam lomba yang diikuti oleh total tujuh pelari itu, ia tidak tampil terlalu ngotot sejak awal start. Dia lebih banyak berada di urutan kelima atau keempat hingga 6.000 meter awal. Sementara seniornya, Triyaningsih, selalu memimpin hingga 6.000 meter awal.
Namun, selepas itu, Trianingsih melorot ke urutan ketiga lalu keempat. Adapun Odekta seolah mendapatkan energi tambahan. Dia melesat ke urutan ketiga dan sempat ke urutan kedua. Memasuki fase 8.000-9.000 meter, Odekta sempat bersaing ketat dengan pelari Vietnam Thi Hue Pham yang akhirnya meraih emas dengan waktu 36 menit 23,44 detik.
Namun, sekitar 500 meter akhir, Odekta sudah kepayahan. Ia pun melorot ke urutan ketiga. Dengan langkah kaki yang sudah melemah, dia tetap berupaya menyelesaikan lomba. Akhirnya, dia finis di urutan ketiga dan berhak atas perunggu. Medali perak diraih oleh pelari Vietnam, Hong Le Thi Pham, dengan waktu 36 menit 32,24 detik.
”Mungkin kemarin Tuhan belum mengizinkan saya meraih medali walaupun emas sudah di depan mata. Tapi, Tuhan akhirnya memberi sekarang walau bukan emas. Bagi saya, perunggu ini seharga emas yang nyaris saya dapat kemarin,” tutur Odekta dengan suara bergetar karena menahan diri agar tidak menangis.
Manajer tim atletik Indonesia di SEA Games 2019, Mustara Musa, menyampaikan, perunggu yang diraih Odekta adalah hasil yang sangat optimal untuk atlet yang baru saja pulih dari heat stroke. Bahkan, tim manajer tidak menyangka Odekta bisa bertahan hingga finis dan meraih perunggu.
”Sejatinya, Odekta ini masih masa pemulihan. Tapi, dia berani untuk tetap tampil di 10.000 meter ini. Hebatnya, dia bisa menyelesaikan lomba, bahkan meraih medali. Ini sudah sangat luar biasa,” ujarnya.
Mustara mengutarakan, meskipun Odekta sudah berusia 28 tahun, dia merupakan bagian penting dalam program regenerasi atlet lari jarak jauh nasional. Selama ini, pelatnas hanya memiliki Triyaningsih. Namun, tidak dipungkiri, Triyaningsih sedang menurun karena sejumlah cedera yang dialaminya, seperti cedera lutut.
”Kalau hanya mengandalkan Triyaningsih, itu sangat riskan. Ketika Triyaningsih tidak dalam performa terbaik, peluang kita meraih medali di nomor lari jarak jauh pun bisa berkurang. Jadi penting ada lebih dari seorang (atlet) di nomor itu. Odekta bisa menjadi pendamping sepadan untuk Triyaningsih ke depan,” ujar Mustara.