Tiang Pancang Tanggul Pesisir Utara Jakarta Dinilai Bermasalah
Sebagian ahli menilai, tiang panjang tanggul pesisir utara Jakarta bermasalah. Penilaian ini didasarkan pada pemancangan tiang atau ”spun pile” yang tidak mencapai struktur tanah keras di dasar laut.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Tanggul yang masuk dalam proyek Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD) di Pelabuhan Nizam Zaman, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, jebol sepanjang sekitar 100 meter, Rabu (4/12/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Tanggul pesisir Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD) dinilai jebol karena pemancangan tiang atau spun pile tidak mencapai struktur tanah keras di dasar laut. Pengujian tanah dan penentuan titik tiang pancang menentukan kekuatan konstruksi tanggul. Pemerintah menyiapkan sanksi kepada konsultan pengawas jika ada pengerjaan yang tak sesuai spesifikasi.
Tanggul yang jebol itu merupakan proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, sepanjang 2,3 kilometer. Tanggul jebol itu panjangnya sekitar 100 meter. Tanggul itu jebol pada Selasa (3/12/2019) sore, tepatnya di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman.
Sebagian kalangan menilai, posisi tanggul berada di pantai terbuka sehingga jebolnya tanggul itu tidak dominan dipengaruhi fenomena alam. Karena itu, muncul dugaan tanggul itu jebol karena tiang pancang tidak mencapai tanah keras.
”Pemancangan tiang itu seharusnya sampai tanah keras dan dijepit tanah. Dilihat dari kondisi pilarnya, tanggul itu jebol dalam kondisi utuh,” kata pengamat konstruksi Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia, Dwinanti Rika Marthanty, Jumat (6/12/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Ia menjelaskan, idealnya konstruksi dengan metode spun pile harus terlebih dahulu ada pengujian struktur tanah untuk menentukan kondisi ideal titik pemancangan tiang. Pengujian tanah dilakukan dengan pengeboran hingga mencapai kondisi tanah ideal.
Pembangunan konstruksi di laut berbeda dengan pembangunan di darat. Sebab, kondisi muka tanah di laut harus dipertimbangkan tingkat fluktuasi dan dinamika tanah di dasar laut.
Dari data yang dihimpun Kompas, tiang pemancang yang digunakan untuk membangun tanggul itu panjangnya 24 meter. Artinya, jika penanaman di dasar laut melebihi panjang tiang pancang yang diproduksi pabrik, akan dilakukan penyambungan.
Ahli keselamatan dan kesehatan konstruksi, Anas Zaini Z Iksan, menambahkan, jika ada sambungan, tiang pancang itu diduga jebol karena kelemahan titik sambungan. Titik sambungan menjadi kritis karena harus menahan defleksi gaya-gaya lateral dari perilaku tanah dan air laut. ”Namun, jika tidak ada sambungan, berarti daya dukung tanah tidak memenuhi syarat atau tiang pancang tidak dalam,” katanya.
Ia menjelaskan, tanggul yang jebol itu dilihat sekilas terjadi karena desakan tanah dari bagian darat. Sementara tanah di dasar laut tergerus sehingga menyebabkan tiang pancang tanpa pengikat dan jebol. Titik penentuan pemasangan setiap tiang pancang tidak bisa diperlakukan sama. Kondisi tanah berbeda-beda sehingga kedalaman titik pemasangan juga harus berbeda-beda. ”Kalau dipukul rata semua (kedalaman tiang pancang) itu gampang jebol. Saat dikasih beban di atas pasti tidak kuat,” katanya.
Pengawas diperiksa
Staf Khusus Bidang Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Firdaus Ali menambahkan, tanggul jebol belum tentu karena kondisi dasar tanah karena setiap pemancangan tiang sudah dipersyaratkan untuk sampai ke tanah keras. Kementerian PUPR juga sudah mengukur kedalaman dan panjang tiang pancang.
Tanggul laut di Kalibaru Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (23/11/2018). Kementerian PUPR sudah menuntaskan pembangunan tanggul pantai sepanjang 4,5 kilometer dengan perincian di Muara Baru 2,3 km dan di Kali Baru 2,2 km. Keberadaan tanggul dianggap penting untuk mengantisipasi laju penurunan muka tanah pesisir utara dan penahan banjir rob.
”Ini penyebabnya karena tanggul itu setelah selesai dikerjakan, sisi dalamnya belum diuruk tanah untuk diberi penguatan sehingga tanggul menggantung seakan-akan di tengah, jadi ketika dihantam ombak dari sisi luar dan tidak ada penahan dari dalam (darat) otomatis akan goyah,” kata Firdaus.
Firdaus menjelaskan, jika di sisi darat sudah diberi penguatan, tanggul itu tidak akan jebol. Namun, penguatan terlambat dilakukan karena anggaran penguatan baru ada pada 2019. Sementara itu, pengerjaan tanggul itu sudah dilakukan dalam kurun waktu 2015-2018.
Meski demikian, kesimpulan itu masih bersifat sementara. Kementerian PUPR masih melakukan investigasi. Bisa jadi ada oknum tertentu yang sengaja mengabaikan spesifikasi pengerjaan tanggul itu.
”Pengawasnya akan kami periksa. Kan, proyek ini ada kontraktor dan konsultan pengawas. Konsultan pengawas itu wakilnya pemerintah yang mengawasi proyek itu dikerjakan sesuai spesifikasi atau tidak. Jadi, kami sedang melakukan investigasi,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tanggul laut (kiri) di Kampung Marundo Pulo, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (23/11/2018). Kementerian PUPR sudah menuntaskan pembangunan tanggul pantai sepanjang 4,5 kilometer dengan perincian di Muarabaru 2,3 km dan di Kali Baru 2,2 km. Keberadaan tanggul dianggap penting untuk mengantisipasi laju penurunan muka tanah pesisir utara dan penahan banjir rob.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Bambang Hidayah menambahkan, tanggul itu dalam kondisi baik dan berdiri kokoh sebelum jebol. Jadi, masalahnya ada di penimbunan tanah karena mitra kerja menimbun dengan terburu-buru. ”Nah, karena terburu-buru, makanya ada refleksi perubahan bentuk. Jadinya miring dan jebol,” katanya.