Siswa berkebutuhan khusus diberi kesempatan melukis bebas, berkreasi, mengungkapkan daya imajinasinya. Apa yang mereka geluti saat ini, kelak bakal menjadi bekal untuk menggapai masa depan yang cerah.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
Iman (17), siswa down syndrome di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Yogyakarta, menuangkan cat beraneka warna di atas satu wadah. Sesaat kemudian, ia asyik melukis payung. Di sudut lain, sejumlah siswa SLB C Dharma Rena Ring 2 Putra sedang membatik. Mereka sejatinya tengah belajar merangkai masa depan.
Iman dan ratusan siswa berkebutuhan khusus lainnya tengah mengikuti lomba melukis dan membatik pada ajang Festival Budaya pendidikan Khusus DI Yogyakarta, Kamis-Jumat (28-29/11/2019), di Museum Pyramid, Kabupaten Bantul. Mereka tampak telaten menggoreskan kuas maupun canting.
Bagi Iman, melukis di payung merupakan hal yang baru. Ia harus berjuang keras menarik ujung kuas dan menempatkan warna demi warna, membentuk lingkaran simetris, mengikuti bentuk payung.
Putra ketiga pasangan Muhammad dan Indah, warga Yogyakarta ini, sesekali menyeka cat yang tercecer, menggunakan sisi kuas yang tidak terkena cat. Meski proses melukisnya sangat lambat, tiada keluh kesah yang muncul dari Iman, saat turut dalam lomba melukis yang diikuti 75 siswa SLBN 1 Yogyakarta tersebut.
Reza (25), guru SLBN 1 Yogyakarta, menuturkan, Iman merupakan salah satu dari 35 siswa yang menderita down syndrome. Ia memiliki intelligence quotient (IQ) 60, jauh di bawah standar anak normal, yakni IQ 100.
”Saya harus mendampingi Iman. Ia belum bisa membedakan warna cat, mana warna merah, biru, hijau, dan kuning. Kadang semua warna dicampur menjadi satu. Dari tadi ia menggambar, tetapi belum maju-maju. Teman-teman tunarungu sebagian sudah selesai,” kata Reza.
Sekitar 20 meter dari kelompok siswa yang turut dalam lomba lukis itu, terdapat sejumlah siswa SLB C Dharma Rena Ring Putra II Yogyakarta yang tengah membatik. Dua di antaranya Umar (18) dan Ali (17), juga siswa down syndrome. Keduanya memilih membatik sebagai keterampilan dasar.
Mereka juga sangat hati-hati saat membatik. Keduanya berulang kali mencelupkan canting ke dalam lilin yang telah dicairkan. Sebagian dari lilin itu juga menetes mengotori lantai. Nima (43), salah satu guru pendamping, merapikan kertas koran yang digunakan menadah lilin cair yang jatuh berantakan di lantai.
Membatik ini sulit. Tetapi saya ingin terus belajar sampai hasil karya saya laku di pasaran, tidak hanya dalam pameran.
”Mereka butuh waktu dua hari untuk menyelesaikan kain dengan panjang dan lebar masing-masing 50 sentimeter ini. Bagi anak-anak normal, pekerjaan ini dapat diselesaikan 6-8 jam saja, tetapi anak-anak down syndrome butuh waktu 24 jam. Itu pun belum tentu memperoleh hasil yang memuaskan,” kata Nima.
Ia mengatakan, Ali dan Umar belajar membatik sejak 2018 di sekolah itu. Tidak mudah mengajarkan anak-anak berkebutuhan khusus kategori down syndrome. Namun, balik keterbatasan yang dimiliki, mereka memiliki kelebihan di bidang tertentu. Guru dan orangtua harus memahami itu dan mengarahkan mereka untuk menekuni kelebihan tersebut, sambil melakukan terapi terhadap kekurangan yang ada.
”Membatik ini sulit. Tetapi saya ingin terus belajar sampai hasil karya saya laku di pasaran, tidak hanya dalam pameran,” kata Umar. Baginya, karya batik yang dibeli di tempat pameran anak berkebutuhan khusus itu ada unsur belas kasihnya.
Dibeli wisatawan
Di sudut lain, Novita (15), siswi SLBN 1 Bantul yang menyandang tunarungu, tampak asyik melukis di kanvas. Ia tergolong punya kemampuan melukis yang cukup baik dibandingkan dengan enam peserta lomba melukis kanvas lainnya.
Di antara mereka ada yang melukis aktivitas manusia, pemandangan alam berupa sawah dan gunung-gunung sekitar, hutan bakau dengan laut di sampingnya, serta benda-benda di sekitar seperti lemari pakaian dan televisi.
Siang itu, Novita melukis siswa SD yang tengah mengayuh sepeda ke sekolah. Lukisan itu dibeli seorang wisatawan asing dengan harga Rp 500.000. Penghargaan terhadap karya tersebut mendorong Novita terus melukis. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah.
”Saya ingin menjadi pelukis yang dikenang dan dikenal orang. Mereka mengenal saya karena hasil karya saya, bukan karena saya anak tunarungu,” kata Novita yang diterangkan dari bahasa isyarat oleh ibunya, Fridasari (45).
Bambang, guru SLBN 1 Bantul, mengatakan, siswa diberi kesempatan melukis bebas, berkreasi, mengungkapkan daya imajinasinya. Apa yang mereka geluti saat ini, kelak bakal menjadi bekal untuk menggapai masa depan yang cerah.