Korporasi Internasional Berperan Hentikan Rantai Emisi Kebakaran Hutan
Pemegang merek barang konsumsi ternama di dunia didesak untuk berperan menghentikan pemborosan emisi gas rumah kaca dari bencana kebakaran hutan dan lahan, terutama yang terjadi di Indonesia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemegang merek barang konsumsi ternama di dunia didesak untuk berperan menghentikan pemborosan emisi gas rumah kaca dari bencana kebakaran hutan dan lahan, terutama yang terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan internasional ini bisa berperan dengan menerapkan transparansi dan seleksi ketat untuk memastikan suplai bahan baku mereka tidak terkait dengan tragedi tahunan tersebut.
Desakan ini didasarkan dari analisa Greenpeace International yang menunjukkan sejumlah merek ternama yang berelasi langsung dengan perubahan iklim akibat emisi besar dari kejadian kebakaran hutan dan lahan. Analisa organisasi lingkungan tersebut masih menemukan pemegang merek baik pedagang maupun penghasil produk tersebut mendapatkan bahan baku dari sumber-sumber yang terkait kejadian tersebut pada periode tahun 2015-2018.
Pada periode tersebut, Greenpeace menyebutkan sektor sawit dan hutan tanaman industri (pulp dan kertas) terkait dengan kebakaran 462.000 ha gambut dari total 3,4 juta ha hutan dan lahan yang terbakar. Kebakaran periode ini melepaskan 427 juta ton CO2 yang 200 juta ton CO2 berasal dari sawit dan 227 ton CO2 dari pulp.
Sektor sawit dan hutan tanaman industri (pulp dan kertas) terkait dengan kebakaran 462.000 ha gambut dari total 3,4 juta ha hutan dan lahan yang terbakar.
Apabila diperinci hanya pada empat pedagang minyak sawit emisi mencapai 162,2 juta ton CO2 dengan area gambut terbakar seluas 175.700 ha. Kemudian hanya pada sisi empat perusahaan merek dunia penghasil produk emisinya mencapai 219,5 juta ton CO2 dengan area gambut terbakar seluas 237.800 ha.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati, Kamis (5/12/2019), di Jakarta, memaparkan perusahaan merek ternama ini terkait dengan pedagang dan pemasok yang arealnya terus terbakar. Apabila dilakukan valuasi menurut perhitungan IMF terkait pajak karbon sebesar 75 dollar AS per ton yang terbit Oktober 2019, nominalnya pajak karbon 200 juta ton CO2 mencapai 15 miliar dollar AS atau mencapai Rp 210 triliun (kurs Rp 14.000).
Ia mengatakan, analisa Greenpeace ini didasarkan dari data resmi luas kebakaran hutan dan lahan Pemerintah Indonesia dan peta gambut. Penghitungan emisi pun menggunakan standar pemerintah yaitu mengalikan luasan gambut terbakar dengan faktor emisi di Indonesia sebesar 923,1 ton CO2 per ha. Faktor emisi ini untuk kejadian satu kali terbakar. Padahal, daerah yang pernah terbakar sangat rentan mengalami kebakaran lagi.
Untuk tahun 2019, Greenpeace belum melakukan penghitungan karena menunggu data resmi pemerintah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kebakaran periode Januari-Oktober mencapai 942.485 ha. Ini terdiri 269.777 ha (28,64 persen) pada areal gambut dan 672.708 ha (71,36 persen) pada areal mineral.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kebakaran periode Januari-Oktober mencapai 942.485 ha.
Sementara itu menurut Center For International Forestry Research dalam analisa terbarunya pada periode Januari – Oktober 2019 terdapat 1,64 juta hektar hutan dan lahan terbakar pada tujuh provinsi langganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Annisa mengatakan sudah saatnya tragedi kebakaran hutan dan lahan yang sangat berpengaruh pada pelepasan emisi gas rumah kaca ini dihentikan. Ia mendorong agar perusahaan-perusahaan ternama ini mengubah mengubah model bisnis mereka secara mendasar. Ini berarti membatasi dan menghindari pengambilan pasokan komoditas-komoditas tersebut dari perusahaan yang bertanggung-jawab atas kebakaran. Ia menekankan agar hal ini dilakukan dengan transparan pada rantai pasoknya serta terbuka kepada publik.
Ini pun agar diiringi transparansi dari sisi Pemerintah Indonesia dengan membuka data hak guna usaha (HGU) perkebunan. Meski data HGU ini telah dinyatakan sebagai informasi terbuka oleh Mahkamah Agung, hingga kini pemerintah belum membukanya kepada publik.
“Transparansi ini akan memunculkan monitoring publik yang kuat.Pemerintah dan korporasi mesti memimpin menunjukkan transparansi yang radikal dalam penggunaan lahan untuk kebijakan/komitmen rendah karbon,” kata Annisa.
Untuk mendorong agar perusahaan serius untuk berperan dalam mencegah emisi, Annisa mengatakan agar mulai diterapkan pajak karbon dan insentif fiskal. Ini untuk membuka kesadaran bahwa produk-produk yang dihasilkan tersebut dihasilkan dari ongkos yang mahal bila memperhitungkan prosesnya yang disertai pelepasan emisi lahan gambut.
Untuk mendorong agar perusahaan serius untuk berperan dalam mencegah emisi, agar mulai diterapkan pajak karbon dan insentif fiskal.
“Insentif fiskal pun penting bahwa meski Indonesia sebagai kontributor emisi, tetapi juga bisa menjadi solusi dan potensi (menyerap dan menjaga cadangan emisi karbon) dengan mempertahankan gambut-gambut tersisa dan merestorasi gambut yang rusak,” kata Annisa.
Terkait restorasi gambut ini, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MR Karliansyah mengatakan hingga kini telah membasahi 3,6 juta ha gambut yang rusak. Namun diakui ini belum semuanya pulih. Ia pun mengatakan restorasi Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dikedepankan dalam upaya restorasi ini.
Namun dari 865 KHG di Indonesia, baru 71 KHG yang memiliki peta detil 1:50.000 sebagai dasar penetapan fungsi lindung atau fungsi budidaya. Ia mengatakan “Kalau ada perusahaan yang belum di area KHG, terpaksa dilakukan satu per satu areal perusahaan,” kata dia. Untuk pemetaan detil seperti itu, biayanya sekitar Rp 1 miliar per KHG.