Genom Populasi di Asia Dipetakan untuk Pengobatan Presisi
Keragaman genom di Asia sangat luas. Jika genetik populasi di Eropa dapat dikelompokkan menjadi hanya berdasar satu garis keturunan, di Asia ada 10 kelompok leluhur atau garis keturunan yang berbeda.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
Kompas
Sebaran sampel populasi yang diambil DNA-nya di Asia. Total genom dari 1.739 individu di 64 negara Asia telah dipetakan untuk diketahui karakteristiknya, termasuk ketahanan terhadap penyakit dan resistensi terhadap obat-obatan. (Sumber: Nature, 2019)
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi 69 peneliti, termasuk dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, berhasil memetakan total genom dari 1.739 individu di 64 negara Asia. Kajian menghasilkan peta genetik paling lengkap populasi Asia, meliputi asal-usul, sejarah pembauran, diversifikasi, dan kerentanan penyakit untuk mendukung pengobatan presisi di Asia.
Hasil kajian dipublikasikan di jurnal internasional Nature edisi Kamis (5/12/2019). ”Ini merupakan bagian awal dari GenomeAsia 100K Project di mana kami ikut di dalamnya,” kata Deputi Direktur Eijkman Herawati Supolo Sudoyo, yang turut dalam publikasi.
Proyek yang dimulai pada 2016 ini, menurut Herawati, bertujuan untuk melakukan pengurutan DNA 100.000 orang di Asia. Hal ini dilakukan karena minimnya data genom populasi Asia. Sekalipun jumlah penduduk di Asia mencapai 40 persen dari total populasi dunia, data genomnya baru sebanyak 6 persen.
Sekalipun jumlah penduduk di Asia mencapai 40 persen dari total populasi dunia, data genomnya baru sebanyak 6 persen.
Dalam studi awal ini, yang telah diperiksa meliputi 598 genom dari India, 156 dari Malaysia, 152 dari Korea Selatan, 113 dari Pakistan, 100 dari Mongolia, 70 dari China, 70 dari Papua Niugini, 68 dari Indonesia, 52 dari Filipina, 35 dari Jepang, dan 32 dari Rusia.
Kemudian, DNA genomik yang diekstraksi dari sampel darah dan air liur diurutkan di laboratorium empat anggota konsorsium di Amerika Serikat, India, Korea Selatan, dan Singapura. Data urutan digital kemudian dikirim ke Singapura untuk diproses dan disimpan.
Ahli genetik dari Nanyang Technological University, Singapura, Stephan C Schuster, ketua konsorsium penelitian ini, mengatakan, temuan awal GenomeAsia 100K menunjukkan luasnya keragaman genom di Asia.
”Jika dibandingkan dengan genetik populasi di Eropa, mereka semua dapat dikelompokkan menjadi hanya berdasar satu garis keturunan. Adapun data baru kami menunjukkan bahwa ada 10 kelompok leluhur atau garis keturunan yang berbeda di Asia,” katanya. Garis keturunan tersebut dari Austronesia, Negrito, Papua/Melanesia, Mongol, dan Andaman.
Dari segi keberagaman, India dan Indonesia memiliki tingkat keberagaman asal-usul tertinggi. Konsisten dengan kajian sebelumnya, populasi di Papua atau Melanesia memiliki bauran genetik manusia purba Denisovan paling tinggi.
Dari segi keberagaman, India dan Indonesia memiliki tingkat keberagaman asal-usul tertinggi.
Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memeriksa DNA masyarakat Baduy di Kampung Cisaban, Desa Kanekes, Lebak, Banten, pada Selasa (3/12/2019). Selain untuk mengetahui asal-usul dan kekerabatan populasi, pemeriksaan ini juga untuk mengetahui penyakit terkait DNA.
Respons obat
Selain memetakan keragaman asal-usul leluhur, kajian ini juga berhasil memetakan keberagaman respons populasi di Asia terhadap obat-obatan. Data ini diperoleh dengan menganalisis perbedaan kode DNA mereka, yang setiap orang memiliki sekitar 3,2 miliar nukleotida berbeda dalam genom mereka.
Variasi genetik ini membantu leluhur kita menjelajah di lingkungan yang paling beragam di planet ini dan membuatnya tahan terhadap penyakit, tetapi juga menghasilkan respons yang berbeda terhadap obat.
”Varian genetik adalah alasan kita berbeda satu sama lain, termasuk perbedaan penyakit selama hidup kita. Memahami perbedaan ini adalah sumber paling penting untuk mendorong penemuan obat-obatan baru yang inovatif,” ujar Andrew Peterson, ahli genetika untuk mendorong penemuan obat dari Lembaga Biologi Molekuler Genentech.
Memahami perbedaan ini adalah sumber paling penting untuk mendorong penemuan obat-obatan baru yang inovatif.
Dalam kajian ini, varian genetik yang telah dikumpulkan dianalisis responsnya terhadap obat-obatan tertentu. Dengan menggunakan data ini, kini ilmuwan dapat mengidentifikasi kelompok yang lebih cenderung memiliki kecenderungan negatif terhadap obat tertentu.
Warfarin, obat antikoagulan umum yang diresepkan untuk mengobati penyakit kardiovaskular, misalnya, ternyata memiliki risiko merugikan terhadap varian genetik tertentu. Varian genetik khusus ini memiliki frekuensi lebih tinggi untuk muncul pada mereka yang memiliki keturunan Asia Utara, seperti Jepang, Korea, Mongolia, atau China.
Temuan lainnya, menurut Herawati, orang Mentawai dan Nias yang memiliki keturunan Austronesia memiliki risiko tertinggi jika diberikan obat antikejang Carbamezepine. Kalau obat ini diberikan kepada mereka, risiko mengalami Steven Johnson Syndrome, efek samping yang sifatnya akut dan fatal, mencapai 46,6 persen.
Dengan mengetahui kelompok populasi seseorang dan kecenderungan mereka terhadap zat kimia tertentu, pemberian obat dapat dipersonalisasi dan lebih presisi. Schuster menekankan, ”Agar obat presisi lebih tepat, Anda perlu tahu persis siapa Anda.”