Berdaya dengan Dana Desa
Digelontorkan sejak empat tahun lalu, dana desa ternyata bisa mengubah wajah perdesaan di sejumlah tempat. Desa yang sebelumnya tak memiliki banyak daya kini menjadi pusat perekonomian baru.
Desa Kemiren dulu hanya menjadi pelintasan bagi wisatawan yang hendak ke Gunung Ijen. Dana desa membuat Kemiren menjadi tujuan wisata di kaki Ijen.
Dana desa pertama kali dirasakan di Desa Kemiren sejak tahun 2015. Saat itu, dana sebesar Rp 50 juta dialokasikan untuk membangun sebuah warung makan berkonsep tradisional yang diberi nama Pesantogan Kemangi.
Pesantogan merupakan bahasa Osing (suku asli Banyuwangi) yang berarti ’tempat pemberhentian’. Tentu saja harapannya wisatawan tidak hanya melintasi Desa Kemiren, tetapi juga berhenti di desa tersebut. Saat berhenti tentunya ada dampak positif berupa ”tetesan” ekonomi yang mengucur ke desa tersebut.
Saat pertama kali dibuka tahun 2015, Pesantogan Kemangi dikelola oleh karang taruna. BUMDes Kemiren saat itu belum terbentuk. Setahun kemudian baru lahir BUMDes Jolo Sutro untuk mengelola unit usaha yang menyertakan permodalan dari dana desa.
Baca juga: Bahagia dengan Dana Desa di Kamarang
”Penyertaan modal dari dana desa untuk Pesantogan Kemangi hanya dilakukan satu kali di awal. Selanjutnya, unit usaha tersebut bisa tumbuh sendiri. Sekarang setiap bulan mereka bisa menghasilkan laba bersih Rp 2,5 juta per bulan,” ujar Ketua BUMDes Jolo Sutro Desa Kemiren Meiris Kurniawan (28).
Warga Kemiren menggunakan booming pariwisata untuk membangun perekonomian desanya. Kini, setelah dana desa bergulir setiap tahun, warga sudah memiliki unit usaha homestay 55 unit, paket wisata, dan edukasi seni budaya.
Lebih jauh dari itu, dana desa juga digunakan untuk pengembangan SDM warganya. Masyarakat Desa Kemiren dilatih untuk membatik, membuat kerajinan, dan menyablon. Tahun depan, aneka pelatihan juga telah disusun, termasuk pelatihan bahasa Osing dan bahasa Inggris.
Baca juga: Optimalkan Potensi Ekonomi Desa
Di Malang, dana desa bahkan membuat Desa Pujon Kidul di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menjadi pusat wisata baru di Malang. Bermodal dana desa, warga dan Kepala Desa Pujon Kidul membangun kafe di tengah sawah. Kafe yang awalnya dibangun sederhana itu kini beromzet Rp 1,8 miliar per tahun.
Cafe Sawah ternama karena memiliki beragam titik swafoto yang menarik dan Instagramable, baik itu dengan latar belakang taman maupun bangunan tradisional yang sebagian besar terbuat dari bambu. Kafe ini juga memiliki aneka hidangan yang bahan utamanya bersumber dari hasil pertanian dan peternakan desa.
”Ini kali kedua saya datang ke sini. Suasananya asyik. Bedanya, waktu kali pertama ke sini jumlah warungnya belum sebanyak ini. Sekarang jumlahnya jauh lebih banyak dan makin luas,” ujar Berta (35), salah seorang wisatawan asal Lumajang, Jawa Timur.
Baca juga: Optimalkan Dana Desa dan Digital
Pagi itu Berta yang sedang ada acara keluarga di Malang menyempatkan diri datang ke Pujon Kidul. Ia datang bersama beberapa anggota keluarga. Berta hanyalah satu dari 700-an orang yang berkunjung di kafe sawah hari itu.
Di kafe sawah, wisatawan bisa masuk dan menikmati suasana Cafe Sawah secara cuma-cuma. Mereka hanya perlu membayar voucer belanja senilai Rp 5.000 per orang yang bisa ditukar dengan makanan dan minuman selama di dalam area kafe.
Sejak berdiri tahun 2016, kafe yang berada di sisi utara permukiman warga Pujon Kidul itu ramai dikunjungi wisatawan. Pada hari biasa jumlah pengunjung paling sedikit 700 orang per hari, sedangkan pada hari libur dan akhir pekan jumlah pengunjung bisa mencapai 9.000-10.000 orang per hari. Menurut pemerintah desa, jumlah wisatawan rata-rata 51.000 orang per hari.
Baca juga:Desa Wisata di Jatim Menggeliat
Cafe Sawah mampu menyedot hingga 700 tenaga kerja yang semuanya berasal dari Pujon Kidul. Dari jumlah tersebut, 167 orang merupakan karyawan badan usaha milik desa (BUMDes) yang mengelola kafe.
Kepala Desa Pujon Kidul Udi Hartoko mengatakan, tahun ini Cafe Sawah dan parkir wisata telah memberikan pemasukan ke desa sebesar Rp 1,8 miliar. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan tahun 2018 yang masih Rp 1,3 miliar dan tahun 2017 sebesar Rp 167 juta.
”Ini pendapatan bersih ke desa. Kalau ditambah yang ke masyarakat jumlahnya lebih besar lagi. Omzet Cafe Sawah tahun 2018 mencapai Rp 13 miliar-Rp 14 miliar yang dikelola desa,” ujarnya.
Baca juga: Pendampingan Jadi Kunci Sukses Dana Desa
Sama dengan Kemiren, Pujon Kidul mengawali perubahan desanya dari kucuran dana desa. Pada awal masa pengucuran dana, masyarakat dan kepala desa sudah memiliki ide untuk menciptakan wisata alternatif berbasis desa. Mereka memanfaatkan lahan desa yang tak terpakai dan memanfaatkan tenaga serta pangan lokal untuk hidangan.
Omzet Kafe Sawah tahun 2018 mencapai Rp 13 miliar-Rp 14 miliar yang dikelola desa.
Saat foto-foto wisata booming di sosial media, Cafe Sawah di Pujon Kidul pun mendapatkan momentum itu. Alhasil, Cafe Sawah pun populer dan ramai dikunjungi. Hingga kini, warga masih memanfaatkan 10 persen dana desa untuk memperluas kafenya.
Atas prestasi ini, tidak mengherankan jika Pujon Kidul yang berpenduduk 4.349 jiwa itu menyabet sejumlah penghargaan, baik tingkat nasional maupun regional. Penghargaan yang diraih antara lain Kampung Iklim Nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), ASEAN Homestay Standar (2017), Desa Wisata Agro dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (2017), serta Kelompok Sadar Wisata Terbaik dari Kementerian Pariwisata (2017).
Baca juga: Multitafsir Aturan Jadi Kendala Pemanfaatan Dana Desa
Dana desa tak hanya menggerakkan ekonomi saja, tetapi juga sosial dan budaya. Di Malang, sejak 2018, sejumlah desa berinisiatif mengalokasikan sebagian dananya untuk membantu biaya transportasi siswa dan guru untuk sebuah SLB rintisan di Desa Ngantru, Kabupaten Malang. Desa-desa yang mengalokasikan dana itu adalah Desa Ngantru, Desa Banjarejo, dan Besa Banturejo.
Desa Purworejo, misalnya, memberikan seragam untuk guru SLB. Desa Ngantru, sebagai lokasi SLB, memberikan fasilitas tempat dan sarana pembelajaran, seperti meja. Besaran nilai uang transportasi untuk guru sekitar Rp 50.000 per bulan.
Lewat dana itu, anak-anak berkebutuhan khusus dari golongan tak mampu tetap bisa mengenyam pendidikan. Mereka juga tak perlu harus belajar jauh-jauh ke kota untuk bersekolah.
Baca juga: Dana Desa Lahirkan Inovasi Desa
Potensi masalah
Awal digelontorkan pada 2016, dana desa bukan tanpa masalah. Hampir semua warga, pemerintah desa, hingga kabupaten gagap. Perangkat desa, misalnya, belum semuanya mengerti menyusun RAPBDes. Nilai yang besar juga menimbulkan kerentanan penyelewengan.
Baca juga: Inovasi Desa Jadi Jalan Meningkatkan Kesejahteraan
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada tahun pertama pengucuran dana desa membuka klinik dana desa di Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa. Klinik ini bahkan melayani 24 jam konsultasi tentang penggunaan dan pertanggungjawaban dana desa.
”Kami tak ingin perangkat desa dipidana karena salah masalah administrasi. Jadi, saya buka klinik ini biar tidak salah,” kata Anas ketika itu.
Kami tak ingin perangkat desa dipidana karena salah masalah administrasi. Jadi, saya buka klinik ini biar tidak salah.
Pada saat pertama, dana desa hanya dipakai untuk kegiatan bersifat fisik, seperti pembangunan jalan, parit, dan irigasi. Setelah itu, pola pemberdayaan mulai dimunculkan. Kini, perdesaan di Banyuwangi berlomba-lomba mandiri berbekal dana desa yang mereka punya. Dengan kesadaran dan kemauan warga, dana desa terbukti bisa membuat desa menjadi kian berdaya.
Seperti halnya pisau, dana desa bisa berguna atau berbahaya. Jika di Banyuwangi dan Malang sejumlah desa dapat dioptimalkan untuk memberdayakan masyarakat, maka lain hal di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang diduga ada penyelewengan sehingga masih diselidiki kepolisian.
Bahkan, desa-desa yang bermasalah mulai dari pengajuan sudah memanfaatkan dana desa. Salah satunya di Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma. Dana desa dipakai untuk perbaikan rumah warga dan drainase. Desa seluas 1.600 hektar itu mendapatkan dana desa sejak 2017 hingga tahap dua tahun 2018.
Mantan Pelaksana Kepala Desa Arombu Utama Murad Barahima mengatakan, pada 2017, desa mendapatkan Rp 748 juta yang dipakai untuk menambahkan seng pada atap rumah warga dan drainase sepanjang 600 meter serta pembukaan jalan usaha tani sepanjang 750 meter.
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Anwar Sanusi mengatakan, program penyaluran dana desa sejatinya adalah program yang bisa menopang pembangunan dari pinggir daerah dan bisa mendorong kesejahteraan rakyat.
Hingga akhir Juli 2019, lebih dari 201.000 km jalan desa terbangun. Setiap desa rata-rata membangun 2,6 km jalan desa. Masih banyak infrastruktur lain dibangun, seperti 260.000 MCK, 10.000 polindes, 26.000 posyandu, dan 49.000 sumur. (KELVIN HIANUSA/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/HARRY SUSILO)