Peningkatan suhu dunia saat ini mencapai 1,1 derajat celsius. Tanpa tindakan, peningkatan suhu dunia kemungkinan akan melampaui 3 derajat celsius pada abad ini.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peserta aksi Jeda untuk Iklim membawa spanduk bertuliskan ”Semarang Tenggelam” saat melintas di Jalan Pemuda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/11/2019). Mereka membawa isu terkait pemicu perubahan iklim, di antaranya penebangan hutan, pencemaran lingkungan, dan mengkritik regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada pelestarian lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS —Perubahan iklim telah mencapai fase darurat iklim dengan dampak yang semakin nyata di semua sektor kehidupan. Semua negara dituntut meningkatkan komitmen terkait mitigasi dan menyiapkan adaptasi segera.
Pola cuaca berubah, permukaan laut naik, cuaca menjadi lebih ekstrem, dan emisi gas rumah kaca sekarang berada pada level tertinggi dalam sejarah. ”Tanpa tindakan, peningkatan suhu dunia kemungkinan akan melampaui 3 derajat celsius abad ini. Orang yang paling miskin dan paling rentan terkena dampak paling besar," kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong saat membuka Paviliun Indonesia di COP25 UNFCCC, Madrid, Spanyol, Rabu (4/12/2019).
Menurut Alue, dalam penjelasan tertulisnya, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengurangi laju perubahan iklim. Dalam perundingan iklim kali ini, Indonesia telah menetapkan pedoman untuk mengimplementasikan Perjanjian Perubahan Iklim Paris 2015 yang disetujui oleh COP-24 di Katowice, Polandia.
Dalam pembukaan Paviliun Indonesia ini, hadir juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Dalam kesempatan tersebut, Muhaimin mengajak semua komponen bangsa, baik lembaga legislatif di pusat maupun daerah, KLHK, para ahli dan pemerhati perubahan iklim, dunia usaha, media, dan masyarakat luas untuk menyamakan persepsi, mengambil langkah kolektif dalam mengatasi perubahan iklim.
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto, yang turut dalam konferensi ini, mengatakan, saat ini perundingan utama baru memasuki fase awal, yaitu tahapan pertemuan konsultatif. Namun, untuk kegiatan yang diadakan para pihak sudah ramai, selain juga sejumlah lembaga telah mengeluarkan laporan terkait perkembangan perubahan iklim dan dampaknya. ”Saat ini perubahan iklim telah menjadi climate emergency (darurat iklim),” ujarnya.
Salah satu laporan tersebut diluncurkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tentang pentingnya layanan iklim, seperti prakiraan musim, nasihat kekeringan, dan indeks bahaya kebakaran. Disebutkan, informasi iklim menjadi kunci menjaga ketahanan pangan yang saat ini menghadapi tantangan berat, tetapi kajian menunjukkan bahwa banyak negara belum beradaptasi dengan kondisi ini. Kapasitas untuk memberikan dan mengakses layanan iklim sangat tidak merata di seluruh wilayah dan negara.
Sebuah laporan lain yang dikeluarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bersama sejumlah lembaga lain menyebutkan, jumlah orang kurang gizi tumbuh dari 785 juta menjadi lebih dari 821 juta antara 2015 dan 2018. Lebih dari 704 juta orang di seluruh dunia sangat rawan pangan pada tahun 2018.
Jika suhu dunia meningkat 2 derajat celsius, diperkirakan jumlah orang yang mengalami kerentanan pangan mencapai 189 juta orang. Jumlah ini, menurut data Program Pangan Dunia PBB (WFP), mengalami peningkatan sekitar 20 persen dibandingkan dengan hari ini. Hingga tahun 2019, kenaikan suhu global sudah mencapai 1,1 derajat celsius dibandingkan dengan tahun 1850-an.
Jika suhu dunia meningkat 2 derajat celsius, diperkirakan jumlah orang yang mengalami kerentanan pangan mencapai 189 juta orang.
Laporan ini juga menyebutkan, orang-orang yang rentan pangan di berbagai belahan dunia justru yang paling terpukul oleh perubahan iklim. Lebih dari 80 persen kerawanan pangan di dunia hidup di lingkungan terdegradasi yang terpapar oleh peristiwa ekstrem berulang, seperti badai, banjir, dan kekeringan. Padahal, dalam dunia yang memanas, kondisi iklim ekstrem akan menjadi lebih sering dan parah.
Menurut data FAO, saat ini, 20-80 persen dari variabilitas tahunan hasil tanaman dikaitkan dengan fenomena cuaca dan 5-10 persen kehilangan produksi pertanian nasional dikaitkan dengan variabilitas iklim.
Selain itu, menurut data Global Commission on Adaptation 2019, sektor pertanian juga menderita 26 persen akibat bencana terkait iklim yang terjadi di negara-negara berkembang. Pada saat bersamaan, permintaan global untuk makanan akan meningkat 50 persen dan, tanpa adanya tindakan iklim yang ambisius, hasil panen dapat menurun hingga 30 persen pada tahun 2050.