Pancasila dan Cita-cita Proklamasi
Tidak sesuainya cita-cita Pancasila dengan fakta yang ada membuat banyak orang tidak yakin lagi terhadap Pancasila dan menginginkan konsep bernegara yang berbeda.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2Fkompas_tark_24114254_129_0.jpeg)
Salahuddin Wahid (Gus Solah)
Dalam sebuah kegiatan peluncuran buku pada November 2019, Bambang Sulistomo menceritakan secara singkat bahwa saat menjadi tahanan politik lebih dari 40 tahun lalu, dia sering berdiskusi dengan tahanan politik peristiwa G30S.
Mereka berpendapat bahwa Pancasila ternyata tidak mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan seperti yang kita harapkan. Saya menangkap kesan bahwa itulah sebabnya mengapa PKI berjuang supaya Republik Indonesia (RI) menjadi negara komunis dengan jalan kekerasan.
Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, dan beberapa tokoh Islam lain berjuang untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dengan kekuatan militer, tetapi gagal. Semua partai Islam di Indonesia (Masyumi, Nahdlatul Ulama/NU, Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII, Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti) pada 1956 sampai 1959 berjuang supaya negara RI menjadi negara berdasarkan Islam dengan cara konstitusional, melalui Konstituante. Perjuangan itu tak berhasil. Dalam Muktamar 1984, jam’iyyah NU secara resmi mengakui Pancasila menjadi dasar negara RI. Kebijakan itu segera diikuti hampir semua ormas Islam dan partai Islam.
Memanfaatkan kebebasan berpendapat
Pada era Reformasi yang memberikan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, gagasan mendirikan negara berdasar Islam mulai marak kembali. Abu Bakar Baasyir dan kawan-kawan mendirikan Majelis Mujahidin Islam (MMI) kemudian mendirikan Jama’ah Anshorut Tauhid. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara terbuka menyatakan akan mendirikan khilafah Islamiyah skala dunia yang akan membuat Indonesia menjadi salah satu negara bagian. Mereka menyelenggarakan kegiatan di Stadion Utama yang dipenuhi pendukung khilafah dan disiarkan oleh TVRI. Banyak sekali dosen perguruan tinggi negeri, termasuk guru besar, yang bergabung dengan HTI.
Pada era Reformasi yang memberikan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, gagasan mendirikan negara berdasar Islam mulai marak kembali.

Saya menanggapi bahwa banyak sekali tokoh Islam yang memperjuangkan gagasan semacam itu mulai 1945 sampai 1984/1985. Akan tetapi, mereka akhirnya menyadari bahwa Pancasila adalah penjabaran dari syariat Islam yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.
Tak lama setelah itu, saya diundang menjadi pembicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan HTI di Surabaya. Sekitar 500 orang hadir dalam pertemuan itu, sebagian besar adalah dosen-dosen, termasuk dosen Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan lain-lain. Para tokoh HTI menyatakan, setelah lebih dari 60 tahun negara RI berdasar Pancasila berdiri, ternyata tak bisa memenuhi cita-cita Proklamasi. Karena itu, menurut mereka, negara yang bisa memberikan keadilan dan kemakmuran kepada rakyat ialah khilafah Islamiyah.
Saya menanggapi dengan bertanya, apakah faktor penyebab belum terpenuhinya cita-cita proklamasi itu karena kita menggunakan dasar negara Pancasila atau karena kita belum mampu mewujudkan Pancasila? Menurut saya karena Pancasila belum sepenuhnya diwujudkan dalam kehidupan bangsa dan negara RI.

Para menteri Kabinet Indonesia Maju menyimak kuliah umum Presiden Joko Widodo dalam acara Presidential Lecture Internalisasi dan Pembumian Pancasila, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/12/2019). Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo meminta para menteri dan pejabat terkait untuk membumikan dan memperkuat nilai Pancasila, khususnya bagi generasi muda melalui berbagai platform media.Kompas/Wawan H Prabowo
Dalam acara bedah buku Gagal Faham Khilafah: Hizbut Tahrir Indonesia pada awal 2017 yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Komisariat Institut Teknologi Bandung (ITB), saya diminta memberikan pidato kunci dalam pembukaan acara bedah buku itu dan menanggapi paparan para pembicara. Sekali lagi saya sampaikan bahwa negara kita belum mampu mewujudkan cita-cita Proklamasi, bukan karena dasar negara atau bentuk negara yang salah, tetapi karena kita belum mampu membumikan Pancasila, belum mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan bernegara kita.
Sekali lagi saya sampaikan bahwa negara kita belum mampu mewujudkan cita-cita Proklamasi, bukan karena dasar negara atau bentuk negara yang salah, tetapi karena kita belum mampu membumikan Pancasila, belum mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan bernegara kita.
Menanggapi perdebatan para pembicara tentang benar tidaknya konsep khilafah Islamiyah, sesuai tidaknya konsep itu dengan ajaran Islam, saya mengemukakan bahwa di dalam kenyataan, tidak mungkin mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Untuk itu, diperlukan adanya organisasi khilafah yang lengkap, termasuk militer, polisi, dan lain-lain. Kalau ada yang mendirikan khilafah, langsung akan ditindak Polri. TNI, ormas, parpol, dan mayoritas rakyat akan langsung menentang.
Khilafah hanya bisa berdiri di sini kalau ada kekuatan amat besar dari luar negeri yang mendukungnya, besar dan kuat dalam militer, ekonomi dan keuangan, serta politik. Saya amat ragu akan ada kekuatan seperti itu. Kalaupun ada kekuatan itu, yang akan terjadi adalah konflik yang mungkin berkembang menjadi perang saudara seperti yang terjadi di banyak negara Timur Tengah.
Sebelum HTI dibubarkan, penganjur khilafah rajin berkampanye tentang konsep khilafah yang ideal dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Sebaliknya ada kenyataan buruk yang amat mungkin terjadi, yaitu konflik militer yang bisa berkembang menjadi perang saudara. Menurut ajaran Islam, manakah yang lebih utama: mengejar sesuatu yang diyakini akan memberikan maslahat, padahal belum tentu terjadi atau dibandingkan dengan menghindari bencana yang pasti terjadi? Ada kaidah fikih (fiqh) yang menegaskan bahwa menolak bencana atau bahaya yang sudah pasti lebih diutamakan daripada mendapatkan atau mengambil manfaat yang belum pasti.
Kondisi mutakhir
Dalam video yang beredar luas di media sosial terlihat adegan Surya Paloh berpidato yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi kita tidak sesuai dengan Pancasila dan sudah bersifat kapitalistik. Sujiwo Tejo dalam sebuah acara televisi menyatakan bahwa dalam kenyataan kehidupan di masyarakat, Pancasila itu tidak ada. Banyak tokoh mengatakan bahwa Pancasila lebih banyak dibicarakan daripada dijalankan. Salah satu pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengatakan bahwa yang belum Pancasilais bukan hanya masyarakat, melainkan juga banyak aparatur sipil negara (ASN).
Sebenarnya, Pancasila sebagian sudah diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, besar-kecilnya tergantung penilaian masing-masing. Salah satu yang baru beberapa tahun dicoba untuk diwujudkan ialah sistem Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan. Ini adalah perwujudan sila Keadilan Sosial. Di dalam praktiknya, masih banyak kekurangan yang terjadi. Defisit BPJS makin meningkat. Pemerintah mengambil jalan yang termudah, yaitu menaikkan iuran termasuk untuk kelas tiga. Ternyata DPR menolak, masyarakat juga menolak.

Suasana pengurusan iuran jaminan kesehatan di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Pancoran, Jakarta, Senin (4/11/2019). Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah mengatur besaran penyesuaian iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Dari aturan ini, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000, kelas 2 sebesar Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar Rp 42.000. Penyesuaian nilai iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat perlu diiringi dengan penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Sebenarnya, Pancasila sebagian sudah diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, besar-kecilnya tergantung penilaian masing-masing.
Saya berpendapat bahwa politik ekonomi kita kurang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang asli. Sebanyak 1 persen penduduk menguasai lebih dari 50 persen kekayaan nasional. Program Reforma Agraria belum berjalan, baru sebatas penerbitan sertifikat tanah yang sudah dimiliki rakyat. Banyak undang-undang (UU) yang berkaitan dengan ekonomi dianggap bertentangan dengan UUD. Masyarakat belum sepenuhnya mendapat perlindungan negara dalam masalah keamanan. Perdagangan manusia masih terjadi. Kekerasan seksual terhadap anak masih sering terjadi. Anak jalanan masih banyak. Jumlah penduduk miskin kalau memakai standar Bank Dunia (2 dollar AS per orang per hari) mencapai 50 persen. Lamanya anak bersekolah sedikit di atas 8 persen. Prevalensi anak tengkes (stunting) mencapai sekitar 30 persen.
Penegakan hukum masih belum sepenuhnya terwujud, padahal penegakan hukum adalah salah satu prasyarat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Masih banyak korupsi terjadi walaupun sudah banyak kepala daerah dan anggota DPR/DPRD yang sudah dijatuhi hukuman karena korupsi. Aparat penegak hukum pun banyak yang dijatuhi hukuman karena menyalahgunakan jabatannya. Isu jual beli jabatan santer terdengar, tetapi tidak banyak yang ditangkap. Isu mahar dalam pencalonan kepala daerah santer terdengar, tetapi tidak ada yang diajukan ke pengadilan.
Tidak sesuainya cita-cita Pancasila dengan fakta yang ada membuat banyak orang tidak yakin lagi terhadap Pancasila dan menginginkan konsep bernegara yang berbeda. Jalan keluarnya ialah berjuang agar kondisi masyarakat kita bisa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Titik beratnya terletak pada perwujudan sila kelima, yaitu Keadilan Sosial. Kalau sila itu terwujud, sila yang lain akan lebih mudah untuk diwujudkan.
(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)