Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menegaskan keberadaan ujian nasional masih dibutuhkan di Indonesia. Ia mengatakan itu saat menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Padang.
Oleh
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menegaskan, keberadaan ujian nasional atau UN masih dibutuhkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. UN merupakan standar untuk mengukur dan meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional. Namun, evaluasi dan pembaruan terhadap UN perlu terus dilakukan agar hasilnya semakin baik.
Jusuf Kalla menyampaikan hal itu di Padang, Sumatera Barat, Kamis (5/12/2019), ketika menerima gelar doktor kehormatan bidang penjaminan mutu pendidikan dari Universitas Negeri Padang. Salah satu jasa JK dalam penjaminan mutu pendidikan adalah menginisiasi dan mempertahankan UN sebagai standar mutu pendidikan nasional.
”Keberadaan UN masih relevan. Silakan kalau ada evaluasi (dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Beberapa hal tentu butuh perubahan-perubahan sesuai waktu. Tetapi, tetap harus ketat. Kalau bebas begitu saja (UN tidak jadi acuan penilaian), kondisinya (mutu pendidikan) akan kembali lagi seperti tahun 2003 (sebelum ada UN). Seketat sekarang saja mutu pendidikan kita masih rendah dibandingkan dengan negara lain, apalagi dibebaskan begitu saja,” kata JK.
Dalam seminggu terakhir Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memunculkan wacana untuk mengevaluasi, bahkan menghapus UN, tahun 2021. Tujuannya untuk menghindari dampak negatif UN, seperti memicu siswa mengalami stres. Wacana itu masih dikaji oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketika menyampaikan pidato ilmiah dalam acara penganugerahan doktor kehormatan itu, JK menjelaskan asal mula negara kembali mengadakan UN sejak 2003. Ketika itu, JK menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
JK dan jajarannya menemukan bahwa mutu pendidikan Indonesia mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 1950 ketika masih mengadakan UN. Salah satu indikasinya adalah tingkat kesulitan soal Matematika ujian siswa SD tahun 1950 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2000.
Perbandingan di tingkat regional juga menunjukkan mutu pendidikan Indonesia lebih rendah daripada negara tetangga. JK dan jajarannya menyurvei ujian nasional dari tiga negara ASEAN yang berbahasa Melayu atau Inggris, yaitu Singapura, Malaysia, dan Filipina. Hasilnya, tingkat kesulitan soal ujian Matematika SD di Singapura dan Malaysia hampir sama dengan soal ujian SMP di Indonesia.
Menurut JK, kondisi itu terjadi karena tidak adanya instrumen untuk memacu siswa belajar. Selama berpuluh-puluh tahun, motivasi belajar siswa rendah karena sudah hampir pasti lulus saat ujian akhir. Para pejabat, seperti bupati atau wali kota, juga turut menekan sekolah dan guru agar meluluskan siswa 100 persen. ”Akhirnya, anak-anak merasa tidak perlu belajar, toh pasti lulus juga,” kata JK. Dengan adanya UN, siswa harus giat belajar agar bisa lulus.
Pada masa itu juga tidak ada standar yang sama dalam penilaian hasil belajar. Akhirnya, terjadi kesenjangan kualitas pendidikan antara Ibu Kota dan daerah. Sistem Ebtanas waktu itu, kata JK, menerapkan cara nilai ganda dan menaikkan nilai siswa di daerah yang nilainya kurang.
Sebagai contoh, jika siswa di Jakarta mendapat nilai 6, siswa di Mentawai, Kendari, ataupun Bone mendapat nilai 4. Lalu, dibuatlah semacam teori dan justifikasi untuk mengatrol nilai itu agar sama meski mutunya berbeda. Standar ganda itu mengorbankan masa depan siswa dan tidak bisa bersaing secara nasional karena tidak adanya upaya perbaikan untuk menyetarakan kualitas pendidikan.
”Karena itu, pada 2003, pemerintah meminta Mendiknas mengadakan kembali UN agar ada standar pendidikan yang sama di seluruh Indonesia. Sekali lagi, kenapa harus UN? Supaya standarnya sama dan tidak ada lagi standar yang berbeda antarberbagai provinsi atau daerah yang berbeda. Dengan demikian, pemerintah dapat memetakan serta membantu daerah dan sekolah yang (kualitas pendidikannya masih) kurang,” kata JK.
Dengan demikian, pemerintah dapat memetakan serta membantu daerah dan sekolah yang (kualitas pendidikannya masih) kurang. (JK)
Ditambahkan JK, sejak diadakannya UN, mutu pendidikan di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan pembenahan instrumen itu. Ketika pertama kali ditetapkan, standar kelulusan pada UN hanya bernilai 3,5. Dari tahun ke tahun standar itu terus ditingkatkan hingga menjadi nilai 6 saat ini. Standar yang terus meningkat merupakan indikasi kemampuan siswa juga terus meningkat.
Sufyarma Marsidin, Ketua Tim Promotor Penganugerahan Doktor Kehormatan UNP, mengatakan, salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah mendorong peserta didik belajar keras/giat secara berkelanjutan. UN yang digagas oleh JK merupakan salah satu instrumen agar siswa belajar keras. JK juga teguh memperjuangkan keberadaan UN meski mendapatkan tentangan dari berbagai pihak.
”Kami menilai Jusuf Kalla sebagai tokoh, penggagas, pejuang, dan pengawal mutu pendidikan di Indonesia. Kebijakan, kiprah, dan komitmen Jusuf Kalla sebagai seorang tokoh yang memiliki kepedulian pada penjaminan mutu pendidikan sehingga telah banyak bukti nyata dan imbasnya terhadap mutu pendidikan,” kata Sufyarma.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Padang Ganefri mengatakan, JK pantas mendapatkan gelar doktor kehormatan bidang penjaminan mutu pendidikan. JK serius mendukung implementasi 8 standar nasional pendidikan sejak menjabat Menko Kesra pada era Presiden Megawati Sokarnoputri hingga menjabat Wakil Presiden di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.
”Kepedulian JK terlihat nyata. JK mengawal UN sebagai tolok ukur penjaminan dan pemetaan mutu pendidikan nasional. Ini sejalan dengan konsep serta teori evaluasi dan penjaminan mutu pendidikan bahwa ujian adalah tolok ukur dalam melihat dan memetakan sejauh mana kemampuan peserta didik secara utuh bisa dievaluasi. Hasil UN dapat pula mengevaluasi proses pembelajaran dan pemberian pengalaman belajar yang diterapkan kepada peserta didik,” kata Ganefri.
Ganefri menambahkan, UN sudah lama dipakai dan terbukti berhasil meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan secara umum di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan negara lain di Eropa.
Selain dengan menginisiasi dan mengawal keberadaan UN, pencapaian mutu pendidikan juga dilakukan JK dengan memperjuangkan kualitas dan kesejahteraan para guru. Sejak menjadi Wakil Presiden era Presiden SBY, kata Ganefri, JK konsisten mengawal program sertifikasi guru dan dosen secara definitif sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen yang sangat berpengaruh pada peningkatan produktivitas serta kinerja mereka.
Gelar doktor kehormatan yang diberikan UNP menambah jumlah gelar doktor kehormatan yang diperoleh JK menjadi 13. Sebelumnya, JK sudah menerima berbagai gelar doktor kehormatan dari sejumlah perguruan tinggi, meliputi University of Malaya, Malaysia (2007); Soka University, Jepang (2007); Rajamangala University of Technology, Thailand (2017); dan berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sementara bagi UNP, pemberian gelar doktor kehormatan kali ini merupakan doktor kehormatan yang ketiga sejak 2017. Sebelumnya, UNP telah memberikan gelar doktor kehormatan bidang politik pendidikan kepada mantan Wapres Megawati Soekarnoputri (2017) dan doktor kehormatan bidang pendidikan politik kepada mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (2018).