Mencari Jalan Pintas demi Dana Desa
Aturan bodong pembentukan 56 desa di Konawe, Sulawesi Tenggara, diduga kuat diatur mulai dari penyusunan hingga terdaftar di kementerian. Atas perintah pimpinan daerah di sebuah peternakan, perda itu mulai dirancang.
Suatu siang, pertengahan 2014, di peternakanmilik Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa di Desa Amonggedo Baru, Kecamatan Amonggedo, Konawe, Sulawesi Tenggara, Jumrin Pagala, Kepala Bagian Pemerintahan Konawe saat itu, mendapat perintah segera mengurus desa-desa yang belum memiliki kode wilayah.
”Segera urus itu (kode wilayah) desa,” kenang Jumrin menirukan ucapan Kery saat ditemui November lalu di sebuah rumah tahanan di Sulawesi Tenggara. Jumrin menjadi pesakitan setelah terlibat kasus korupsi anggaran Dinas Pendidikan Konawe. Ia menjalani vonis 20 bulan penjara.
”Waktu itu diperintah di rens (ranch) karena Pak Bupati lebih banyak di sana,” Untuk pergi mengurus (kode wilayah desa) karena waktunya sudah hampir tiba. Kalau tiba waktunya, tidak bisa lagi” ucap Jumrin.
Perintah itu terkait desa-desa di Kabupaten Konawe yang belum memiliki kode wilayah meski sebagian desa telah lama dipersiapkan menjadi sebuah desa. Jumrin menyebutkan, saat itu ia bersama dengan Kepala Bagian Hukum Konawe Badaruddin dan hadir pula Kepala Bagian Keuangan Konawe periode itu.
Selang beberapa waktu, Jumrin mendapat perintah dari Sekretaris Daerah Konawe Achmad Setiawan untuk menyelesaikan pengurusan daftar kode wilayah puluhan desa yang belum terakomodasi untuk mendapatkan dana desa. Sebuah surat berisi daftar 52 desa dikirimkan ke Biro Pemerintahan Sulawesi Tenggara. Surat bernomor 140/354/2015 tanpa tanggal yang dikirim pada April itu ditandatangani Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa.
Akan tetapi, pengajuan tersebut ditolak Pemprov Sultra. Berdasarkan surat balasan Pemprov Sultra pada 19 Mei 2015, 34 desa belum memenuhi syarat dan 18 desa tidak terdaftar sama sekali. Semua desa ini dikirimkan tidak memiliki landasan perda sebagai syarat utama pendefenitifan desa sekaligus syarat untuk mendapatkan kode wilayah.
”Bagaimana? Sudah sampai di mana perkembangan?” Kata Jumrin kembali menirukan ucapan Bupati Kery. ”Saya jawab, sementara dicari perdanya. Kan, banyak perda dicari ke mana-mana tidak ada. Pada 2014 itu hari, nanti di 2015 baru ketemu semua.”
Setelah adanya surat balasan ini, Menurut Jumrin, sebuah draf perda pembentukan desa ia dapatkan dari ruangan hukum Kabupaten Konawe. Draf perda tersebut yang nantinya berisi 56 desa dengan Nomor 7 Tahun 2011 yang saat ini bermasalah.
Saat draf aturan yang di kemudian hari dinyatakan cacat hukum tersebut datang, ia juga mendapat arahan untuk memasukkan sejumlah nama desa. ”Jelas semua desa yang masuk dalam perda itu atas perintah pimpinan, termasuk Pak Ardin (Ketua DRPD Konawe saat ini yang ketika itu masih anggota DPRD) dan Pak Gusli yang saat itu Ketua DPRD. Malah mereka yang datang ke kantor saya untuk masuk-masukkan (itu desa),” kata Jumrin sambil meniup kepalan tangan lalu ditempelkan ke telinga. Ia mengaku pendengaran dan kesehatannya menurun selama di tahanan. Akan tetapi, ia tetap mendengar pertanyaan ketika suara dipelankan.
Jumrin bahkan mengaku sempat bersitegang, khususnya dengan Ardin, terkait nama-nama desa yang diusulkan untuk dimasukkan. Menurut Jumrin, sebagian desa tidak bisa diusulkan karena berkaitan dengan jumlah penduduk yang tidak cukup menjadi dasar pembentukan desa.
Akan tetapi, Ardin bersikeras untuk tetap memasukkan desa-desa yang belum memiliki kode wilayah. ”Ah, sudah kasih masuk saja. Kalau untuk kepentingan orang banyak janganlah takut, apalagi ini untuk percepatan pembangunan,” kata Jumrin mengulang perkataan Ardin ketika itu.
Sebanyak total 56 desa lalu masuk dalam draf Perda No 7/2011 tentang Pembentukan dan Pendefenitifan Desa. Jumlah ini berasal dari 52 desa dari usulan pertama masuk ditambah empat desa baru. Jumlah penduduk sebagian besar berubah di dalam perda, dengan jumlah rata-rata 200 keluarga, sesuai persyaratan ketika itu. Padahal, dalam surat awal, jumlah penduduk yang lebih dari 200 keluarga hanya ada 10 desa.
Ardin membantah terkait adanya pembahasan Perda No 7/2011. Ia mengaku tidak tahu sama sekali terkait perda tersebut. ”Memangnya apa kepentingan saya ikut menyusun perda. Kalau perda itu diajukan, dibahas, lalu ditetapkan. Tidak bisa itu lolos. Ya, toh. Itu prosedur. Nah, sekarang, apa urusan saya? Kami, kan, pengawasan. Kalau perdanya ada, ya, kami bilang ada. Kalau tidak ada perdanya, ya, kami bilang tidak,” ujar Ardin.
Tanda tangan
Draf tersebut Jumrin bawa ke Kota Kendari untuk ditandatangani. Jelang maghrib, ia tiba di kediaman Lukman Abunawas yang ketika itu menjabat Sekretaris Daerah Sultra. Lukman sebelumnya menjabat Bupati Konawe periode 2008-2013. Saat ini, Lukman adalah Wakil Gubernur Sultra setelah terpilih dalam kontestasi Pilgub 2018 berpasangan dengan Ali Mazi. Jumrin lalu membuka pertemuan tersebut bahwa ada desa-desa yang belum memiliki kode wilayah di Konawe yang terkendala karena belum adanya perda.
”Beliau lalu tanda tangan di rumahnya di Lepo-lepo. Lalu bilang diurus cepat karena ada batas waktunya untuk sampai ke pusat. Begitu katanya,” ucap Jumrin. Dalam bayangannya, Jumrin merasa semua hal ini telah dikomunikasikan antar-pimpinan. Perda tersebut ditandatangani tanggal 21 November 2011.
Hal ini kemudian dibantah Lukman dan mengaku tidak pernah tanda tangan saat dikonfirmasi di Kendari, Rabu (20/11/2019). ”Perda itu, kan, sedang ditelusuri siapa pelakunya. Itu dibuat setelah saya sudah tidak menjadi bupati lagi,” ucap Lukman. ”Telusuri saja. Itu bukan tanda tangan saya. Saya sementara akan gugat mereka yang memalsukan tanda tangan itu.”
Selang beberapa hari, Jumrin menceritakan, ia kembali ke Kota Kendari, kali ini ke kediaman Iriawan Laliasa, Sekretaris Daerah Konawe periode 2010-2012. Irawan ketika itu adalah Kepala Biro Umum Sultra. Jumrin kembali menjelaskan persis saat menghadap ke Lukman meminta tanda tangan.
Setelah ngobrol berbagai hal, Irawan lalu menandatangani draf perda yang sebelumnya telah ditandatangani Lukman. Tanda tangan Irawan dalam perda bodong tersebut diberi tanggal 23 November 2011 atau selang dua hari setelah ditandatangani Lukman.
Baca juga : Rekayasa Perda demi Dana Desa
Meski mengaku bahwa tanda tangan dalam perda tersebut sangat mirip dengan tanda tangannya, Irawan mengaku tidak pernah menandatangani Perda No 7/2011 tentang pembentukan 56 desa tersebut. ”Saya memang pernah didatangi Pak Jumrin saat saya masih Karo Umum Sultra, tetapi waktu itu saya banyak tugas dan tidak menandatangani apa-apa. Saya tidak pernah ingat didatangi di rumah,” cerita Irawan.
Draf perda tersebut kini bertanda tangan lengkap. Jumrin bergerak cepat menyelesaikan semua persyaratan administratif. Ia mengumpulkan pengurus 56 desa untuk melengkapi persyaratan, seperti peta wilayah serta monografi dan demografi desa.
Setelah semua tuntas, surat pengajuan kode wilayah kembali dikirimkan ke Biro Pemerintahan Sulawesi Tenggara lengkap dengan lampiran Perda No 7/2011 tersebut. ”Di sanalah digodok sehingga keluarlah rekomendasi gubernur. Sebetulnya tugas saya sampai sana,” ujar Jumrin.
Surat tersebut dikirim pada 29 Juni 2015, yang ditandatangani Sekda Konawe ketika itu Achmad Setiawan. Menurut Achmad, ia memang menandatangani surat dengan lampiran Perda No 7/2011 tersebut. Akan tetapi, ia hanya melampirkan perda sesuai yang diberikan Kepala Bagian Hukum Kabupaten Konawe Badarudin dan Kepala Bagian Pemerintahan Konawe Jumrin Pagala. Dia tidak memeriksa keabsahan perda tersebut.
”Soal perda, itu, kan, urusan dari Kabag Pemerintahan dan Kabag Hukum. Mereka yang ngasih. Saya hanya melampirkan perda itu. Tidak tahu itu (perda) asli atau tidak,” ujar Achmad. Achmad menyatakan, tembusan surat yang berisikan perda tersebut juga sudah dikirimkan ke Ketua DPRD Konawe saat itu Gusli Topan Sabara. Jadi, surat itu bisa diintervensi jika Ketua DPRD melihat perda tersebut cacat hukum.
Gusli menyatakan, dirinya tidak mengetahui sama sekali terkait Perda No 7/2011 yang berisi pemekaran dan pendefinitifan 56 desa. Selama berada di legislatif, dia hanya pernah mengesahkan dua perda tentang pemekaran desa, yakni Perda No 2/2011 dan No 1/2014. ”Di DPRD tidak ada itu Perda No 7/2011. Saya tidak bisa komentari urusan itu. Nanti salah. Jadi, yang ada itu dua, Perda No 2/2011 dan No 1/2014. Udah titik. Di luar itu tidak ada,” tambah Gusli yang saat ini menjabat Wakil Bupati Konawe periode 2018-2023.
Perda No 7/2011 yang berbunyi lengkap Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe No 2/2011 tentang Pembentukan dan Pendefenitifan Desa-desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe tidak pernah dibahas, tidak terdaftar di badan hukum daerah. Perda No 7/2011 di Kabupaten Konawe sendiri tercatat sebagai laporan pertanggungjawaban APBD 2010.
Baca juga : Miliaran Rupiah Dana Desa Ditampung di Kas Daerah Konawe
Sebanyak 56 desa dalam aturan bodong ini mendapatkan kode wilayah dan tercatat hingga kementerian. Semua desa dalam aturan ini terdaftar dalam Kepmendagri. Sebanyak 56 desa telah menerima dana desa sejak pertengahan 2017. Di satu sisi, 56 desa ini baru terdaftar dalam Permendagri yang ditetapkan di akhir 2017.
Penyelidikan kepolisian terkait kasus ini masih terus berjalan. Sejak Januari hingga saat ini, 57 saksi telah diperiksa. Kepolisian juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli hukum administrasi negara.
”Kami juga sudah melakukan pemeriksaan fisik kegiatan dana desa bersama dengan lembaga pengembangan jasa konstruksi. Kan, ada ahlinya itu. Kemudian kemarin terakhir kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap tujuh orang dari Kemendagri,” kata Kabid Humas Polda Sutra Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhardt di Kendari, Selasa (26/11/2019).
Menurut Harry, terkait Perda No 7/2011 yang cacat hukum, ada indikasi untuk mendapatkan dana desa. "Dari pembuatan perda ini sendiri, apakah bisa masuk ranah pidana meskipun tidak ada kerugian negara? Dari penyidikan ini, kan, berkembang, apakah nanti ditemukan tindak pidana lain dari hasil penyidikan kasus yang awal.” ucap Harry.
Penyelidikan kepolisian terkait kasus ini masih terus berjalan. Sejak Januari hingga saat ini, 57 saksi telah diperiksa
Saat ditanyakan terkait adanya dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan pejabat publik, Harry menuturkan, penyidik masih fokus pada dugaan adanya desa fiktif dan penyalahgunaan keuangan negara. Dari pengembangan kasus yang telah masuk tahap penyidikan ini, tidak menutup adanya kasus pidana lain.