Selama ini, penyandang disabilitas belum mendapatkan peluang kerja yang setara. Festival Kaum Muda Bursa Kerja Inklusif membuka peluang yang sama bagi setiap warga termasuk kelompok rentan seperti kaum difabel.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·4 menit baca
Keterbatasan fisik tak menyurutkan semangat Vivian (34) mencari pekerjaan. Dari Wonogiri, Jawa Tengah, penyandang disabilitas daksa bagian kaki ini datang ke Kota Solo mengikuti Festival Kaum Muda Bursa Kerja Inklusif Solo Raya 2019, Rabu (4/12/2019).
Vivian tak sendiri. Penyandang disabilitas dari beberapa daerah juga datang ke gedung Graha Wisata Niaga, Solo, tempat digelarnya kegiatan tersebut. Bursa Kerja Inklusif ini merupakan salah satu bagian program Sinergi, program yang diinisiasi Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Rajawali Foundation, dan Pusat Transformasi Kebijakan Publik.
Anak muda penyandang disabilitas maupun nondisabilitas tampak mengikuti kegiatan ini. Kegiatan ini juga diisi gelar wicara ”Mempersiapkan Kaum Muda Siap Kerja”. ”Tahun 2017 saya pernah bekerja di perusahaan kayu lapis di Wonogiri, tetapi hanya bertahan tiga bulan. Saya mengundurkan diri karena sakit,” kata Vivian di Solo, Rabu.
Berbekal ijazah SMA dan juga pernah mengikuti pelatihan komputer, Vivian semula berharap ditempatkan di bagian administrasi yang masih berhubungan dengan komputer. Namun, ternyata ia ditempatkan di bagian produksi kayu lapis. Baru tiga bulan bekerja, ia sakit asma karena menghirup debu kayu di pabrik. Ia lantas mencoba melamar di perusahaan garmen, tapi tidak diterima.
”Ini saya ingin melamar pekerjaan lagi kalau ada lowongan, harapannya dapat pekerjaan yang lebih sesuai dengan kemampuan saya di bidang komputer,” kata Vivian, yang saat ini berwirausaha membuka toko kelontong sederhana di rumahnya.
Kesulitan mencari pekerjaan juga pernah dialami Pujianto (37), penyandang disabilitas daksa kaki. Meskipun pernah mengikuti pelatihan menjahit, ia tidak pernah mengecap bekerja di perusahaan.
”Saya tidak lolos syarat minimal pendidikan, saya hanya lulusan SD, sedangkan perusahaan-perusahaan umumnya menentukan syarat pendidikan minimal SMP-SMA,” kata Puji, yang kemudian memilih bertani menggarap lahan orangtuanya seluas 4.000 meter persegi di Bulukerto, Wonogiri.
Pujianto tak memungkiri hatinya masih memendam hasrat ingin bekerja di sektor formal. Vivian dan Pujianto berharap ada kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas mengakses dunia kerja.
Project Director Sinergi Agung Binantoro, yang juga Direktur Eksekutif Rajawali Foundation, menuturkan, Bursa Kerja Inklusif merupakan sebuah model baru bursa kerja yang didesain untuk membuka kesempatan yang sama bagi semua kalangan anak muda dari berbagai status sosial, ekonomi, termasuk dengan latar belakang keluarga kurang mampu dan kelompok rentan, penyandang disabilitas.
”Dalam program ini, bursa kerja tidak hanya diisi perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi ingin merekrut tenaga kerja, tetapi juga ada kelas edukasi, yaitu serangkaian kegiatan yang mempersiapkan anak muda untuk memasuki dunia kerja,” katanya.
Menurut Agung, Bursa Kerja Inklusif di Jawa Tengah pertama kali digelar di Semarang pada November 2018, kemudian diadakan di Kebumen pada November 2019, dan dilanjutkan di Solo. Kegiatan serupa akan digelar kembali di Rembang pada Februari 2020 dan Semarang pada Maret 2020.
”Target yang diberikan USAID dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah setidak-setidaknya minimal 16.000 orang kaum muda, termasuk di dalamnya dari keluarga miskin, rentan, dan penyandang disabilitas mendapatkan akses informasi dan peluang bekerja,” ujarnya.
Dari minimal 16.000 kalangan muda tersebut, sebanyak 4.000 di antaranya akan mendapatkan kesempatan pelatihan kerja. Dari 4.000 orang, sebanyak 2.000 di antaranya diharapkan mendapatkan pekerjaan dan pemagangan. Dua persen dari 2.000 anak muda yang mendapatkan pekerjaan tersebut diharapkan berasal ditargetkan dari kalangan penyandang disabilitas.
”Kami melihat peluang atau lowongan kerja di Jawa Tengah itu sebenarnya banyak,” katanya. Namun, menurut Agung, antara industri dan pencari kerja cenderung tidak terhubung. Industri mengaku kesulitan mencari tenaga kerja, sebaliknya dari kalangan anak muda menyebutkan sulit mencari pekerjaan.
”Kami ingin yang 2.000 anak muda itu link and match, terpetakan dan cocok mengisi lowongan kerja yang tersedia,” katanya.
Agung mengatakan, Bursa Kerja Inklusif di Solo Raya diikuti 125 perusahaan yang menawarkan ribuan lowongan kerja. Diharapkan, dari lowongan kerja yang ditawarkan, tak sedikit penyandang disabilitas yang direkrut. Pihaknya akan membantu anak-anak muda mengenali diri, minat, dan potensi mereka agar dapat mencari jenis pekerjaan yang sesuai melalui aplikasi ”Rencanamu”.
Direktur PT Nuansa Porselen Indonesia Roy Wibisono mengatakan, dalam merekrut karyawan, perusahaan semestinya tidak memandang seseorang penyandang disabilitas atau tidak, tetapi lebih menilai pada kemampuan seseorang. ”Saya mendorong rekan-rekan disabilitas meningkatkan minat kerjanya di mana,” katanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Solo Ariani Indriastuti berharap program Sinergi melalui kegiatan Bursa Kerja Inklusif dapat membantu mengurangi angka pengangguran di Solo. Apalagi, kegiatan bursa kerja selama ini diminati pencari kerja dan efektif dalam merekrut tenaga kerja baru dalam jumlah besar.
”Kemarin (Oktober 2019), kami mengadakan job fair di Balai Kota Solo. Dari 4.500 pencari kerja, terserap 2.000 orang, tapi itu tidak semua warga Solo saja karena sistemnya terbuka,” katanya.
Berdasarkan data Surakarta Dalam Angka 2019 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik Solo, pada 2018 jumlah pengangguran terbuka di Solo tercatat 11.910 orang dari total angkatan kerja 271.375 orang.
Program Bursa Kerja Inklusif menjadi model baru yang membawa secercah harapan bagi para penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan. Industri diharapkan kian terbuka terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas.
”Perusahaan-perusahaan jangan terlalu memilih (fisik). Penyandang disabilitas juga punya kemampuan kerja, jangan dianggap sebelah mata, harus lihat dulu kemampuan yang dimilikinya,” kata Vivian.