Hukuman mati sejauh ini menjadi yang terberat bagi koruptor. Ada sejumlah negara yang menerapkan hukuman ini. Tiga negara yang tercatat di lembaga Amnesty International masih menerapkan hukuman ini meliputi China, Iran, dan Vietnam. Memang ketiga negara itu tidak hanya memvonis mati koruptor, tetapi juga memberlakukannya bagi penjahat lainnya, seperti bandar atau pengedar narkoba.
Sebagai contoh, pada 2018 di China, Zhou Zhenhong (56), mantan Chief United Front Work Department (UFWD), divonis mati setelah terbukti melakukan korupsi. Tindakan Zhou merugikan keuangan negaranya hingga lebih dari 24,6 juta yuan (Rp 43 miliar).
Pada 2013, Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian China, dijatuhi hukuman mati setelah terbukti memperkaya diri hingga 6 miliar poundsterling atau setara Rp 109,2 triliun, dari praktik suap jabatan selama 1986 hingga 2011. China sendiri mengesahkan hukuman mati bagi koruptor sejak 2006.

Apakah pemberlakuan hukuman mati dapat menurunkan tindakan korupsi di negara-negara tersebut? Melansir laporan dari Transparency International, kenaikan peringkat korupsi ketiga negara tersebut tidak begitu signifikan dari tahun ke tahun meski menerapkan hukuman bagi para koruptor.
Dalam membaca laporan ini, semakin tinggi angka yang diberikan Transparency International, semakin suatu negara dianggap tak korupsi. Pada 2018, nilai indeks korupsi Indonesia 38, hanya berselisih satu poin dari China, 39. Contoh kenaikan yang tak signifikan ditunjukkan Iran yang nilai indeksnya 28 pada 2018, masih sama seperti pada 2012 silam. Sementara Vietnam hanya naik 2 poin dari 31 pada 2012 menjadi 33 untuk 2018.
Jika mencermati laporan Transparency International, hukuman paling maksimal bagi koruptor ternyata tidak menjadi jalan keluar ampuh dalam pemberantasan korupsi. Belum lagi, praktik ini masih memunculkan pro dan kontra, baik dari segi hukum, moral, maupun etis. Muaranya satu, semua pihak jenuh dengan tindakan para pelaku korupsi.
Divonis ringan
Putusan hukum di Indonesia memperlihatkan, penjara seumur hidup menjadi yang terberat bagi para koruptor. Sejauh ini, tercatat tiga koruptor yang divonis penjara seumur hidup. Mereka tak lain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, pengusaha Adrian Waworuntu, dan Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi.
Namun, secara umum, mayoritas koruptor di Indonesia divonis ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir tren vonis korupsi 2018, hasil pantauan terhadap 1.053 perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung.

Kajian itu menyebutkan, rata-rata lama hukuman untuk terdakwa korupsi pada 2018 adalah 2 tahun 5 bulan. Ringannya hukuman tersebut juga tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Lama hukuman penjara untuk koruptor pada 2017 rata- rata hanya 2 tahun 2 bulan. Fenomena itu menggambarkan, kejahatan korupsi belum dianggap sebagai tindak pidana berat oleh peradilan di Indonesia.
Sebenarnya, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sudah mengadopsi hukuman mati, tepatnya dalam Pasal 2 Ayat 2. Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi kejahatan korupsi yang ”luar biasa”, atau pada keadaan tertentu. Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 Ayat A itu sampai saat ini belum pernah diterapkan, atau menjadi dakwakan hakim.
Hukuman tambahan
Bukan hanya hukuman kurungan, beberapa hukuman tambahan juga sudah dijatuhkan, seperti pencabutan hak politik dan perampasan harta hasil korupsi. Pencabutan hak politik di antaranya diterima Setya Novanto. Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, 24 April 2018. Ia terbukti melakukan kolusi bersama dalam pengadaan KTP elektronik. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga memutuskan mencabut hak Novanto untuk menduduki jabatan publik hingga 5 tahun seusai menjalani pidana.
Perampasan harta korupsi dilakukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang menghukum mantan Wali Kota Madiun Bambang Irianto pada Agustus 2017. Selain hukuman enam tahun penjara, hakim memerintahkan agar harta terdakwa dari hasil gratifikasi dirampas untuk negara. Total nilai harta yang dirampas berjumlah Rp 33 miliar, dari Rp 59,7 miliar yang didakwakan jaksa penuntut umum.

Terbaru, Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti Rp 477,359 miliar dari terpidana korupsi pengadaan batubara, Kokos Leo Lim (16/11/2019). Jumlah uang pengganti itu cukup besar mengingat total uang pengganti yang bisa dieksekusi Kejaksaan Agung pada 2018 sebesar Rp 56,35 miliar.
Mencermati data di atas, hukuman bagi koruptor masih terlalu ringan sehingga tidak memberikan efek jera. Pengembalian kerugian negara juga tidak sesuai dengan harapan. ICW melihat, dengan kerugian negara sepanjang 2018 sebesar Rp 9,29 triliun, uang pengganti yang masuk kas hanya Rp 805 miliar dan 3 juta dollar AS. Jumlah ini hanya sekitar 8,7 persen dari total kerugian negara. Haruskah memaksimalkan hukuman demi efek jera bagi tindak pidana korupsi?
Urgensi pencegahan
Jika hukuman bagi koruptor belum efektif dalam memberantas korupsi, strategi lainnya adalah menguatkan aspek pencegahan. Hingga saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus-menerus melaksanakan tugas, baik dari penindakan maupun pencegahan. Kedua aspek ini diakui KPK tetap harus dijalankan dengan seimbang. Dalam Laporan Tahunan KPK 2018, banyak aspek pencegahan yang diupayakan KPK, mulai dari edukasi, sosialisasi, hingga meluncurkan akses pemantauan pelayanan publik.
KPK turut menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan pendidikan antikorupsi di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Terdapat pula sembilan poin rencana aksi implementasi pendidikan antikorupsi, dimulai dari segi kebijakan hingga mendorong keterbukaan informasi publik, termasuk mendorong penerapan anggaran negara dan transparansi keuangan parpol.
KPK menyoroti bahwa upaya publik dalam mengawal instansi pelayanan publik sangat diperlukan. Maka, dengan aplikasi JAGA-KPK, publik dapat turut memantau empat sektor secara berkala. Keempat sektor itu adalah instansi pendidikan, kesehatan, desa, dan perizinan.
Meski demikian, langkah pencegahan antikorupsi ini masih belum didukung secara penuh baik oleh penegak hukum juga pemerintah. Buktinya, para aktor pegiat antikorupsi masih terus dibayangi dengan aksi teror ataupun penyerangan. Sesuai data ICW sepanjang 1996 hingga 2019, terdapat 91 kasus serangan fisik dan kriminalisasi terhadap 115 orang pegiat antikorupsi dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari data yang ada, aktivis antikorupsi, termasuk aktor, yang paling rentan dikriminalisasi ataupun diserang secara fisik.
Untuk menekan praktik korupsi, komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap para pegiat korupsi ini sangatlah penting. Selain itu, dimensi pencegahan korupsi perlu lebih diprioritaskan sebagai strategi di sektor hulu, daripada sibuk memikirkan hukuman bagi para koruptor di sektor hilir.(Litbang Kompas)