Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik menjadi regulasi yang memberikan kesetaraan bagi pelaku usaha di bidang perdagangan.
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik menjadi regulasi yang memberikan kesetaraan bagi pelaku usaha di bidang perdagangan. Regulasi ini diharapkan menyetarakan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dalam jaringan atau daring dan ritel fisik.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Peraturan Pemerintah (PP) No 80/2019 membuat perdagangan berbasis sistem elektronik kian teratur. ”Regulasi ini akan memastikan ada kesetaraan antara (pelaku usaha perdagangan) baik yang offline maupun yang online,” katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Salah satu kesetaraan tersebut meliputi prioritas terhadap produk barang ataupun jasa dalam negeri. Pasal 12 PP No 80/2019 menyatakan, pelaku usaha wajib membantu pemerintah dalam mengutamakan perdagangan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri.
Dalam hal pengutamaan produk dalam negeri tersebut, pelaku ritel fisik memiliki kewajiban yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Pasal 22 permendag ini menyebutkan, pusat perbelanjaan dan toko modern wajib menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri minimal 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan.
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto menyebutkan, pihaknya akan mengatur secara rinci dalam permendag baru yang ditargetkan terbit awal tahun 2020. ”Konten dalam negeri akan kami bahas dulu dengan perindustrian dan pelaku-pelaku usaha terkait,” katanya saat ditemui, Rabu.
Suhanto juga akan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dalam perumusan permendag tersebut. Perdagangan melalui sistem elektronik juga menyangkut lalu lintas barang dan jasa antarnegara atau ekspor-impor.
Pasal 9 Ayat 2 menyatakan, setiap perdagangan melalui sistem elektronik yang bersifat lintas negara wajib memenuhi ketentuan peraturan perundangan mengatur ekspor atau impor setara peraturan perundangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. Para pihak yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik mesti memperhatikan dan mematuhi kebijakan untuk melindungi kepentingan nasional, larangan atau pembatasan ekspor-impor, standardisasi produk barang dan jasa, serta peraturan di bidang kepabeanan.
Pelaku usaha pemilik platform e-dagang dan pasar daring turut diatur dalam PP No 80/2019. VP Government Affairs Lazada Indonesia Budi Primawan menyatakan, Lazada Indonesia akan bekerja sama dengan pihak terkait dalam penerapannya.
Pasal 8 pada PP No 80/2019 menyatakan, mekanisme perpajakan pada kegiatan usaha perdagangan melalui sistem elektronik berlaku sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini juga berlaku bagi pelaku usaha di luar negeri.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, berpendapat, idealnya, ada perlakuan yang sama dalam perpajakan, yakni membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dari tiap transaksi karena barang yang dijual secara daring tidak berbeda dengan yang dijual di ritel fisik. Dalam hal keadilan perpajakan, transaksi melalui media sosial juga mesti dikenai pajak.
Selain itu, Bhima juga menyoroti transaksi barang dalam pecahan kecil. Dia mengharapkan, pemerintah menurunkan batas nilai barang impor bebas bea masuk agar mempersempit ruang masuknya pecahan-pecahan kecil atau splitting.
Jika barang yang masuk dalam pecahan-pecahan kecil itu disatukan, nilainya bisa jadi tergolong dalam kelompok yang dikenai bea masuk. Nilai tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman yang menurunkan bea masuk dari 100 dollar AS menjadi 75 dollar AS.