MA mengabulkan kasasi Idrus Marham. Vonis Idrus dipangkas dari 5 tahun jadi 3 tahun penjara. Pemotongan hukuman terpidana korupsi bukan yang pertama terjadi.
Oleh
Rini Kustiasih dan Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dikabulkannya kasasi mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham oleh Mahkamah Agung menambah panjang daftar terpidana kasus korupsi yang diringankan hukumannya. Kendati putusan peradilan harus dihargai, tren itu harus dikaji mendalam agar tidak justru kontra produktif terhadap upaya memberantas korupsi.
Laman daring MA mengumumkan pengabulan kasasi Idrus itu, Selasa (3/12/2019). Majelis hakim kasasi yang menangani perkara itu ialah Ketua Kamar Pidana Suhadi dan dua anggota, yakni Abdul Latief dan Krisna Harahap.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi kemarin membenarkan putusan tersebut. Permohonan kasasi Idrus dikabulkan karena hakim melihat ada kekeliruan penerapan hukum.
Adapun Idrus sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus suap terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Ia disebut menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo bersama mantan anggota DPR, Eni Maulani Saragih. Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Idrus tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan.
Pada tingkat banding di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hukumannya diperberat menjadi lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Namun, putusan kasasi MA meringankan hukumannya kembali. MA memvonis Idrus dengan dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan. Dengan keluarnya putusan kasasi MA, hukuman bagi Idrus lebih ringan daripada vonis pada pengadilan tingkat pertama.
Menurut majelis hakim kasasi, kata Andi Samsan, Idrus lebih tepat didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang Tipikor, yaitu menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Golkar. Pada mulanya, Eni seharusnya melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau-1 kepada Setya Novanto. Namun, karena Novanto saat itu menghadapi kasus hukum KTP-el, Eni melaporkan hal itu kepada Idrus.
”Eni melapor kepada Idrus dengan tujuan agar tetap mendapatkan perhatian dari Johannes Kotjo. Saksi Eni juga menyampaikan kepada terdakwa kalau dirinya akan mendapatkan fee dalam mengawal proyek PLTU MT Riau-1,” kata Andi.
Koordinator kuasa hukum Idrus, Samsul Huda, menyambut baik putusan kasasi MA tersebut.
Berdampak buruk
Putusan kasasi Idrus seolah memperpanjang tren pengurangan hukuman dalam kasus korupsi. Pada Juli 2019, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung diputus bebas oleh MA dalam kasasi. Sebelumnya, Syafruddin divonis 15 tahun penjara oleh PT DKI Jakarta.
MA juga meringankan hukuman eks Ketua DPD Irman Gusman, September 2019. Berdasarkan putusan peninjauan kembali, hukuman Irman menjadi tiga tahun penjara dari sebelumnya empat tahun enam bulan penjara sebagaimana diputus Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, kecenderungan pemotongan hukuman itu dapat berdampak buruk bagi semangat pemberantasan korupsi. Putusan pengadilan bagaimana- pun harus dihormati. Namun, dengan terus terjadinya pengurangan hukuman kepada pelaku korupsi, publik bisa menangkap pesan berbeda.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah menyampaikan, putusan ini cukup mengecewakan meski tetap harus dihormati. Hingga kemarin, Febri menyampaikan, KPK belum menerima salinan putusan kasasi itu. Secara hukum sudah tidak ada lagi langkah lanjutan yang dapat dilakukan KPK.
”Di tengah upaya bersama memberantas korupsi, tentu saja ada harapan kesamaan visi semua pihak agar mereka yang terbukti bersalah diberikan hukuman maksimal sesuai perbuatannya,” kata Febri.