Melenggang di Komersial, Perum Bulog Butuh Revisi Regulasi
Perum Bulog meningkatkan kontribusi bisnis komersial menjadi berimbang dengan kewajiban pelayanan kepada masyarakat demi melancarkan penyerapan dan penyaluran secara mandiri.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog meningkatkan kontribusi bisnis komersial menjadi berimbang dengan kewajiban pelayanan kepada masyarakat demi melancarkan penyerapan dan penyaluran secara mandiri. Agar tujuan tersebut tercapai, Perum Bulog membutuhkan revisi sejumlah aturan pemerintah.
Kelancaran penyerapan dan penyaluran Perum Bulog dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah (CBP) berdampak pada stabilisasi harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen.
”Tahun depan, kami akan meningkatkan kontribusi komersial menjadi 50 persen, berimbang dengan PSO (kewajiban pelayanan pada masyarakat), terhadap kinerja perusahaan. Saat ini peran komersial berada di bawah 20 persen. Untuk meningkatkan ranah komersial, kami telah bekerja sama dengan ritel, membentuk sistem e-dagang khusus produk Bulog, serta memasok beras untuk Grab Kiosk,” tutur Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Dengan kata lain, ranah PSO yang sarat dengan program pemerintah saat ini mendominasi kinerja Bulog sebagai perusahaan. Akibatnya, ketika kanal saluran Bulog menyempit akibat peralihan bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) yang mulai pada 2017, penyerapan korporasi di tingkat petani pun seret.
Program pemerintah bansos rastra membuat Bulog memiliki kepastian penyaluran karena beras diberikan langsung kepada keluarga penerima manfaat. Sepanjang 2017 hingga 2019, penyaluran bansos rastra secara berturut-turut sebanyak 2,55 juta ton, 1,21 juta ton, dan 353.000 ton.
Merosotnya angka penyaluran itu diikuti oleh seretnya penyerapan gabah/beras dalam negeri oleh Bulog. Data Bulog menyebutkan, realisasi pengadaan CBP dari dalam negeri 2,16 juta ton (2017), 1,48 juta ton (2018), dan 1,16 juta ton (Januari-November 2019).
Menurut Budi, ketidakpastian penyaluran CBP melalui program pemerintah turut menyebabkan penyerapan yang tak optimal di tingkat petani. Selain itu, Bulog juga terimpit regulasi dan beban pembiayaan.
Budi menuturkan, Bulog mesti meminjam uang dari perbankan untuk mengadakan CBP. Pemerintah akan mengganti pinjaman tersebut jika CBP sudah tersalurkan. Akibatnya, pinjaman tersebut menimbulkan beban bunga pada Bulog.
Dengan adanya peningkatan bisnis komersial, Budi memperkirakan kinerja keuangannya dapat menutupi beban PSO pengadaan CBP. ”Namun, Bulog butuh perubahan regulasi pemerintah sebagai kepastian. Misalnya, anggaran pemerintah untuk CBP tahun ini Rp 2,5 triliun. Jumlah ini setara dengan 250.000 ton CBP. Di sisi lain, Bulog harus memiliki buffer stock CBP 1 juta-1,5 juta ton,” tuturnya.
Berdasarkan perhitungan perusahaan, Bulog masih menyanggupi pengadaan CBP dengan anggaran pemerintah yang mencapai 250.000 ton. Sebanyak 750.000-1,25 juta ton sisanya akan diserap dengan harga komersial atau yang berlaku sesuai pasar dan diganti oleh pemerintah melalui sistem yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian (Permenko Perekonomian) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah untuk Stabilisasi Harga serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 88 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Beras Pemerintah.
Dengan kapasitas gudang beras maksimum Bulog 3 juta ton, Bulog masih dapat mengadakan beras 1,5 juta ton untuk ranah komersial. Dengan demikian, kontribusi berimbang antara PSO dan komersial dapat tercapai.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi mengapresiasi langkah Bulog dalam meningkatkan kinerja komersialnya. ”Bulog dapat menempuh strategi ini dengan syarat tetap menjaga stabilitas harga pangan, baik untuk petani maupun konsumen,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Aturan yang menyangkut pengelolaan CBP oleh Bulog tak hanya Permenko Nomor 5 Tahun 2018 dan PMK Nomor 88 Tahun 2019. Regulasi lainnya terdiri dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan CBP, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 127 Tahun 2018 tentang Pengelolaan CBP untuk Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.
Dalam hal pengadaan atau penyerapan di tingkat petani secara komersial, Inpres Nomor 5 Tahun 2015 menjadi sorotan. ”Kalau harga jatuh (di tingkat petani), Bulog wajib membeli dengan harga yang ditentukan. Namun, dengan skema komersial, Bulog tidak terbatas oleh harga yang ditentukan sehingga dapat menyerap sebanyak-banyaknya,” tutur Budi.
Oleh sebab itu, Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja berpendapat, pemerintah mesti merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) dalam Inpres No 5/2015 untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani di tengah ekspansi komersialisasi Bulog. ”HPP seharusnya sesuai dengan laju inflasi dan minimal 25 persen di atas ongkos produksi petani,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Badan Pusat Statistik mencatat, harga gabah kering panen di tingkat petani pada November 2019 sebesar Rp 5.098 per kilogram (kg). Jika dibandingkan dengan harga pada masa panen raya, yakni April dan Mei 2019, nilainya berkisar Rp 4.357-Rp 4.356 per kg. Berdasarkan riset Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, ongkos produksi petani pada April 2019 sebesar Rp 4.523 per kg.
Inpres No 5/2015 menyebutkan, HPP untuk gabah di tingkat petani Rp 3.700 per kg. Sepanjang 2019, pemerintah memberikan fleksibilitas HPP sebesar 10 persen, yakni Rp 4.070 per kg. Namun, nilai ini ternyata masih di bawah ongkos produksi dan harga yang berlaku di pasar.