Desa yang Lengang dan Perda Akal-akalan
Sebagian desa yang dimekarkan dari perda fiktif merupakan desa bermasalah karena tidak memenuhi syarat pembentukan desa. Wilayah itu tampak lengang karena hanya memiliki segelintir penghuni.
Suasana jalan begitu senyap setelah melewati batu penanda bertuliskan Desa Arombu Utama, di Kecamatan Latoma, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Sabtu (23/11/2019) sore, hanya terdengar suara langkah kaki sapi yang melintasi jalan berkerikil.
Beberapa kilometer setelah itu, mulai terlihat kerumunan warga desa. Pemuda asli desa, Nanang (29), bersama belasan warga lain sedang duduk-duduk di sekitar panggung berukuran 10 meter x 5 meter.
”Ini (kami) sedang persiapan acara pernikahan salah satu warga desa sini. Pestanya masih minggu depan. Kami siap-siap dari jauh hari. Sekalian berkumpul juga,” kata Nanang yang juga bekerja sebagai aparat desa.
Nanang tampak begitu antusias menyambut pesta pekan depan. Acara itu akan membuat desa seketika ramai, tidak seperti hari biasa. Dengan wilayah amat luas yang dikepung kebun dan hutan, suasana desa sehari-hari lebih mirip ladang tak berpenghuni.
Bayangkan saja, Arombu Utama yang hanya berpenduduk 123 jiwa dan 30 keluarga memiliki luas wilayah 1.600 hektar. Satu keluarga bisa menempati area seluas 10 kali lipat Lapangan Banteng, Jakarta, jika dibagi rata.
Desa yang mayoritas warganya merupakan petani cokelat itu berada nyaris di ujung Kabupaten Konawe. Untuk menuju area desa di perbukitan ini dibutuhkan waktu empat jam dari pusat pemerintahan Kabupaten Konawe di Unaaha. Agar dapat tiba di tujuan, warga harus menyewa jasa katinting (perahu kayu) penyeberangan akibat jembatan menuju desa roboh diterjang banjir empat bulan lalu.
Baca juga : Desa Tanpa Warga Ada di Konawe
Seperti inilah gambaran salah satu desa penerima dana desa sejak 2017. Arombu Utama merupakan 1 dari 56 desa bermasalah karena masuk dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 yang cacat hukum menurut Kementerian Dalam Negeri.
Dalam pengajuan ke Kementerian Dalam Negeri, Perda Nomor 7 Tahun 2011 yang memuat pengajuan kode wilayah terhadap 56 desa di Konawe tertulis mengenai Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-Desa di Wilayah Konawe. Namun, dalam lembaran daerah di bagian hukum Kabupaten Konawe, Perda Nomor 7/2011 tercatat mengenai Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Konawe Tahun 2010.
Rekayasa desa
Dalam Perda Nomor 7/2011, jumlah penduduk Arombu Utama direkayasa berkali-kali lipat dari data asli menjadi 1.030 jiwa dan 173 keluarga. Pembentukannya pun dimanipulasi sehingga dimasukkan dalam Perda Nomor 7/2011. Padahal, desa baru definitif dan mekar dari desa induk Latoma Jaya pada 2015.
Itu yang kemudian menjadi masalah. Perda direkayasa untuk menghindari aturan moratorium pemekaran desa yang tertuang dalam Surat Mendagri Nomor 140/418/PMD perihal Moratorium Pemekaran Desa dan Kelurahan tanggal 13 Januari 2012. Regulasi itu melarang pemekaran daerah setelah penerbitannya. Belum lagi aturan pembentukan desa baru di Sultra mewajibkan jumlah penduduk minimal 2.000 jiwa atau 400 keluarga.
Mantan Pelaksana Kepala Desa Arombu Utama Murad Barahima (51) mengatakan, pemekaran desa bukanlah aspirasi warga. Pemkab Konawe sendiri yang berinisiatif memekarkan Arombu Utama dari desa induk.
”Pemkab saat itu datang dan menyatakan desa sudah bisa dimekarkan. Saya yang ditunjuk mengawal desa persiapan, hanya mengikuti. Sama sekali tidak tahu tujuannya untuk apa,” kata Murad.
Sejak 2017, Arombu Utama sudah menerima dana desa Rp 1,6 miliar. Dana itu dimanfaatkan untuk pemasangan seng di rumah warga serta pembuatan jalan usaha tani dan drainase.
Bersama tiga desa lain yakni, Lerehoma, Napooha, dan Wiau, Arombu Utama sudah tak menerima dana desa sejak kuartal ketiga 2018. Dana dibekukan karena pembentukan desa dinilai bermasalah. ”Kami kalau dapat (dana desa), ya, bersyukur. Kalau tidak, misal harus kembali ke desa induk, ya, juga tidak masalah,” sebut Murad.
”Kami kalau dapat (dana desa), ya, bersyukur. Kalau tidak, misal harus kembali ke desa induk, ya, juga tidak masalah,”
Tidak hanya di Arombu Utama, suasana layaknya ”desa mati” juga begitu kental terasa di Desa Lerehoma, Kecamatan Anggaberi. Desa yang berjarak 16,5 km dari kantor Pemkab Konawe ini berada dalam kepungan perkebunan kelapa sawit. Sepanjang jalan desa pohon kelapa sawit tampak menghampar. Rumah warga terpisah-pisah hampir setiap 500 meter.
Desa dengan area seluas 15.000 hektar ini hanya berpenduduk 247 jiwa dan 65 keluarga. Bahkan, di desa yang baru mekar pada 2017 itu hanya terdapat tidak lebih dari 40 rumah. Banyak keluarga yang tinggal di desa lain di Kecamatan Anggaberi.
Baca juga : "Nasi Matang" Bermasalah di Konawe
Mantan Pelaksana Kepala Desa Lerehoma Jasran mengatakan, warga desa berkurang hampir separuh setelah konflik pada 2000-an. Dia juga menyangkal jumlah warga Lerehoma yang mencapai 1.077 jiwa dan 190 keluarga seperti tertuang di Perda Nomor 7/2011. ”(Jumlah warga) tidak pernah sebanyak itu. Paling banyak pernah 500 jiwa, itu pun sebelum konflik,” kata Jasran.
Pemekaran di Lerehoma juga bukan merupakan aspirasi warga. Salah satu warga desa, Abu Basir, bahkan tidak masalah jika kembali ke desa induk, di Desa Andabia. ”Sama saja setelah pemekaran dengan tidak. Bedanya hanya kalau dapat bantuan, peluangnya lebih besar.” ucap Abu Basir.
Madu politis
Beda lagi cerita di Desa Lalowulo dan Desa Waworaha, Kecamatan Besulutu. Desa yang juga dicantumkan dalam perda bodong ini dijanjikan pemekaran demi tujuan politik.
Dua desa tersebut mekar pada 2015 dari desa induk Asunde. Pemekaran itu merupakan aspirasi warga desa. Mereka merasa tidak terlayani dalam hal administrasi saat masih tergabung dengan desa induk setelah perpecahan di pemilihan kepala desa.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa Lalowulo Firmansyah menyatakan, sekitar tahun 2013-2014 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Konawe Ardin menjanjikan pemekaran desa. Syaratnya, warga harus memilih Ardin yang saat itu maju sebagai calon legislatif dari Partai Amanat Nasional.
”Karena kami pikir itu kontrak politik, kami setuju. Hanya itu yang kami tahu masalah pemekaran. Setelah beliau (Ardin) menang di desa ini, janji pun ditepati. Bahkan, kami juga dimasukkan untuk mendapat dana desa,” kata Firman.
Buah proses politis itu hanya manis sesaat. Dampak buruknya mulai terasa saat dana desa mulai diterima sejak awal 2017.
Warga sekaligus tokoh pencetus pemekaran Desa Waworaha, Isman (54), menilai, penggunaan dana desa tidak pernah terbuka. Warga tidak diizinkan bertanya mengenai program-program pemanfaatan dana desa.
”Setiap bertanya penggunaan dana desa, dibilang (kepala desa) dana desa rahasia negara, bukan urusan rakyat. Katanya penggunaan dana itu rahasia pemerintah,” ungkap Isman yang pernah menjadi aparat desa.
Tidak hanya itu, warga yang mengkritik juga tak diprioritaskan dalam program pembangunan menggunakan dana desa. Rumah Isman yang semula masuk dalam desain pembangunan drainase tiba-tiba dilewati saat pemasangan. Jalur drainase terputus di depan rumahnya.
”Karena saya sering mengkritik mewakili warga desa. Drainase di depan rumah tidak jadi dibangun. Kan, aneh, drainasenya putus-putus jadi tidak berfungsi. Jadi, percuma dana pembangunannya,” kata Isman.
Imam Desa Waworaha Nusran mengaku banyak hal yang ingin ditanyakan warga. Sejak kucuran dana desa mengalir, beberapa pembangunan, seperti sumur bor, drainase, serta mandi, cuci, dan kakus, belum berfungsi. ”Pembangunan terbengkalai. Warga mau protes, tetapi takut,” katanya.
Saat ditemui, Ardin mengaku tidak pernah menjanjikan pemekaran desa pada 2014. Dia bahkan menyatakan tidak tahu terkait pengusulan perda bodong itu. ”Yang benar saja. Saya, kan, ada di DPRD. Bukan wewenang saya saat itu,” kata Ardin.
Persoalan rekayasa perda untuk mendapatkan dana desa masih terus diselidiki Polda Sultra. Penyelidikan mendapatkan supervisi langsung dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dana desa memang begitu menggiurkan seperti madu, sementara ribuan desa layaknya lebah. Awalnya menjanjikan rasa manis. Namun, ketika proses yang terjadi tidak organik dan penuh campur tangan kepentingan, ternyata rasa madu itu tak senikmat yang dibayangkan.