APBD di sebuah daerah juga menjadi alat evaluasi kinerja pemerintah dalam penyelenggaran pembangunan di wilayahnya. Oleh sebab itu, APBD harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Oleh
Budiawan Sidik A/Litbang Kompas
·5 menit baca
Idealnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan bentuk manajemen keuangan daerah dalam pengalokasian sumber daya di daerah secara optimal. Anggaran di sebuah daerah juga menjadi alat evaluasi kinerja pemerintah dalam penyelenggaran pembangunan di wilayahnya. Oleh sebab itu, APBD harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto lanskap Taman MRT Dukuh Atas di Jalan Jenderal Sudirman, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (27/9/2018). Taman yang berada di area pertemuan antarmoda angkutan publik ini diperkirakan rampung dua minggu mendatang
Idealisme yang sama berlaku bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah DKI terus berupaya mengakselerasi berbagai kemajuan pembangunan. Dengan kebijakan anggaran yang tepat sasaran serta berdaya serap tinggi, diharapkan kualitas kehidupan masyarakat Jakarta kian membaik. Pembangunan fisik kota tumbuh seiring dengan pembangunan manusianya.
Pada tahun 2009-2018, APBD DKI Jakarta rata-rata terus meningkat sekitar 14 persen atau Rp 5,7 triliun per tahun. Pertumbuhan ini relatif sangat tinggi karena mendorong Pemprov DKI Jakarta menjadi pengelola anggaran daerah terbesar di antara 34 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2018, APBD Jakarta mencapai Rp 75,09 triliun. Anggaran belanja ini diproyeksikan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya sebagai bentuk pencapaian kepala daerah dalam membangun wilayahnya.
Pada tahun 2007-2012, saat DKI Jakarta dipimpin Gubernur Fauzi Bowo, anggaran belanja daerah rata-rata per tahun sekitar Rp 29 triliun. Pada kurun 2012-2017, saat kepemimpinan dipegang Gubernur Joko Widodo dan beralih ke Basuki Tjahaja Purnama serta Djarot Syaiful Hidayat, anggaran belanja DKI Jakarta meningkat menjadi rata-rata Rp 54 triliun setahun.
Saat tampuk pimpinan gubernur beralih ke Anies Baswedan sejak tahun 2017, pos belanja meningkat lagi menjadi rata-rata Rp 68 triliun per tahun. Hal ini mengindikasikan terjadi estafet pembangunan yang terus membaik dari segi pendanaan dari waktu ke waktu.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi memimpin rapat Badan Musyawarah DPRD DKI di Gedung DPRD DKI, Jakarta, Senin (25/11/2019). Dalam rapat itu, dibahas perubahan jadwal KUA-PPAS APBD DKI 2020 dan perubahan jadwal APBD DKI 2020.
Prioritas Penganggaran
Mengacu pada data realisasinya, belanja Pemprov DKI Jakarta menunjukkan beberapa sektor belanja yang menjadi pusat perhatian pemerintah daerah. Indikasinya terlihat dari angka realisasi belanja yang besar dengan nilai triliunan rupiah.
Pada tahun 2012-2018, sektor ini realisasi belanjanya rata-rata lebih dari satu triliun rupiah. Bahkan, untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum nilai realisasinya masing-masing lebih dari Rp 5 triliun. Paling besar adalah sektor pendidikan dengan rata-rata belanja per tahun lebih dari Rp 12 triliun.
Sektor edukasi ini meningkat drastis sejak tahun 2017, di era Gubernur Anies Baswedan yang memiliki latar belakang akademisi. Sepanjang 2012-2016, rata-rata belanja pendidikan per tahun hampir Rp 10 triliun. Namun, sejak 2017 melonjak drastis menjadi kisaran Rp 16 triliun dan pada tahun 2018 bertambah lagi menjadi sekitar Rp 18 triliun.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana di depan ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, Senin (24/12/2018) siang.
Lonjakan ini juga diikuti oleh sektor kesehatan yang sejak tahun 2017 hingga 2018 menjadi kisaran Rp 8 triliun per tahun. Sebelum tahun 2017, realisasi belanja sektor kesehatan ini rata-rata setahun kurang dari Rp 5 triliun.
Sektor lainnya yang juga melonjak sejak tahun 2017 adalah sektor perumahan dari yang kisaran Rp 1 triliun setahun meningkat menjadi sekitar Rp 3 triliun. Demikian juga dengan belanja perhubungan dari yang sebelum tahun 2017 sekitar Rp 1,4 triliun per tahun menjadi kisaran Rp 2,7 triliun.
Melonjaknya kenaikan realisasi belanja ini secara tidak langsung mengindikasikan keberpihakan yang lebih intens pada bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan perhubungan. Meskipun, tidak memungkiri juga terjadi peningkatan di luar bidang-bidang itu.
Mengelola defisit
Untuk membiayai belanja daerah yang terus meningkat tersebut, Pemprov DKI Jakarta juga terus mendorong peningkatan pendapatan daerah. Pemda terus berupaya menambah sumber pemasukan dari pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan dana perimbangan, serta sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
Pada tahun 2009-2018, anggaran pendapatan DKI Jakarta rata-rata meningkat per tahun sekitar 16 persen atau Rp 5,16 triliun sehingga pada tahun 2018 anggaran pendapatannya diproyeksikan sebesar Rp 65,81 triliun.
Nominal pendapatan ini bila disandingkan dengan nilai belanja pada tahun 2018 akan menghasilkan angka defisit. Artinya, anggaran pendapatan tahun 2018 lebih kecil dari anggaran belanja tahun 2018 yang mencapai kisaran Rp 75 triliun.
Penganggaran defisit ini juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada rentang tahun 2009-2018, APBD DKI Jakarta rata-rata defisit lebih dari Rp 3 triliun tiap tahun. Tahun 2018, defisit APBD diproyeksikan mencapai Rp 9,28 triliun.
Kian membesarnya defisit APBD antara lain disebabkan terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) tahun sebelumnya yang juga kian besar. Secara teori, SILPA adalah selisih antara surplus/defisit anggaran ditambah dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol yang berarti penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi.
Namun, bisa juga menghasilkan SILPA positif atau lebih besar daripada nol yang artinya masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan yang belum dimanfaatkan untuk membiayai anggaran belanja atau pengeluaran pembiayaan daerah. SILPA yang positif, dapat dialokasikan untuk mendukung pembangunan daerah di tahun anggaran selanjutnya.
Salah satu sumber penerimaan pembiayaan yang penting bagi anggaran daerah adalah SILPA, karena tidak menimbulkan risiko fiskal seperti halnya pinjaman yang harus disertai bunga angsuran.
Besaran SILPA yang positif dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah realisasi belanja yang tidak sesuai target. Misalnya, pada tahun 2018, target belanja di DKI Jakarta mencapai Rp 75,09 triliun. Nominal yang sudah dianggarkan tersebut sayangnya bergeser ketika rencana pendapatan dan belanja tidak sesuai dengan realisasinya.
Pada 2009-2018, realisasi pos belanja yang rata-rata hanya tercapai sekitar 79 persen setahun. Sekitar seperlima anggaran belum termanfaatkan. Dana yang tidak terserap ini lalu terakumulasi dengan sisa pembiayaan netto yang juga tidak terpakai menjadi SILPA. Tahun 2018 besar silpa Rp 9,76 triliun.
Dalam konteks ini, nilai SILPA yang besar secara tidak langsung menggambarkan sejauh mana efektivitas penyerapan anggaran yang sudah direncanakan.
Pada sisi lain, secara makro, pendapatan Pemprov DKI saat ini sebenarnya terbilang kuat. Satu parameternya adalah angka realisasi pendapatan yang relatif tinggi yakni sekitar 98 persen dari yang dianggarkan.
Artinya, dengan pendapatan daerah yang tinggi, Pemprov DKI Jakarta sebenarnya memiliki keleluasaan dalam menjalankan pembangunan fisik dan nonfisik yang berdampak pada kualitas hidup masyarakatnya. Program yang berorientasi langsung pada kebutuhan masyarakat akan mendukung penyerapan anggaran yang terserap optimal.