Kerusakan lingkungan dan indikator gangguan kesehatan manusia akibat tambang emas ilegal di Sumatera Barat sudah diketahui. Penegakan hukum jadi tumpuan mencegah hal buruk.
Oleh
Yola Sastra / Irma Tambunan
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS - Sejumlah kalangan mendesak penegak hukum dan pemerintah daerah menertibkan tambang emas ilegal di Sumatera Barat. Aktivitas itu merusak lingkungan dan meningkatkan risiko bencana. Berdasarkan kajian ilmiah, logam berat merkuri pemisah butiran emas mencemari air sungai.
Alasan penambangan dilarang di pinggir sungai, di antaranya, sulit merehabilitasi, mengganggu alur dan menyebabkan penyempitan, serta beban pencemaran tinggi, baik kandungan organik maupun anorganik. Aktivitas itu juga mengganggu estetika dan fungsi sungai serta memicu bencana, seperti banjir dan longsor.
”Tambang ilegal harus dihentikan karena berbahaya dan melanggar aturan,” kata Ketua Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang (UNP) Indang Dewata di, Senin (2/12/2019). Sepekan (23-29 November 2019), Kompas dan tim BNPB menjumpai aktivitas tambang ilegal di Solok Selatan, Dharmasraya, dan Sijunjung.
Aktivitas menggunakan ekskavator dan mesin pompa air diesel itu merusak Sungai Batanghari di kawasan Hutan Lindung Batanghari dan anak sungainya, merusak lahan perkebunan dan permukiman, serta merusak Sungai Batang Kuantan di dalam Taman Bumi (Geopark) Nasional Silokek. Di sejumlah lokasi, petambang menggunakan logam berat merkuri.
Tambang ilegal harus dihentikan karena berbahaya dan melanggar aturan.
Kajian PPKLH UNP 2017, kandungan organik dan logam berat di sekitar DAS Batang Kuantan, Kabupaten Sijunjung, Sumbar, relatif tinggi dan tidak layak konsumsi akibat tambang emas ilegal. Kandungan merkuri (Hg) di sekitar DAS itu 0,0078 mg/L, melampaui baku mutu yang hanya 0,001 mg/L.
Kajian Runi Sahara dan Dwi Puryanti dari Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, air Sungai Batanghari, Dharmasraya, di aliran Batu Bakauik tak layak konsumsi. Kandungan merkuri maksimum 5,198 mg/L, sedangkan kandungan timbal maksimum 1,259 mg/L (baku mutu Pb maksimal 0,03 mg/L). Itu dimuat di Jurnal Fisika Unand Vol 4, No 1, Januari 2015.
Kajian Direktorat Pengelolaan Bahan Beracun dan Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung (ITB) mengindikasikan warga Sungai Batanghari terpapar merkuri tambang (Kompas, 24/9/2019). Kajian dilakukan tahun 2018 di Kecamatan IX Koto dan Kecamatan Sitiung, Dharmasraya.
”Ada indikasi responden yang kami cek kesehatannya mengalami gejala (terpapar merkuri),” kata Kepala Subdirektorat Inventarisasi Penggunaan Bahan Beracun dan Berbahaya KLHK Ria Rosmayani Damopolii di Dharmasraya.
Risiko bencana
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo mengatakan, Sumbar merupakan daerah asri dibandingkan daerah lain. Namun, pembiaran aktivitas tambang emas ilegal, apalagi menggunakan merkuri, akan merusak dan mencemari lingkungan yang memicu petaka baru.
”Banjir dan longsor pasti terjadi, cepat atau lambat. Limbah merkuri akan mengganggu rantai makanan. Kandungan merkuri pada air bisa mencemari padi atau ikan. Dampak buruk tidak sekarang,” katanya. Doni Monardo juga mengatakan, seharusnya ada penegakan hukum terhadap tambang tanpa izin, terutama yang menggunakan merkuri. Aturan itu sudah dua tahun diterapkan sehingga seharusnya tak ada lagi toleransi.
Anggota DPRD Sumbar, Mario Syahjonan, juga mendesak penegak hukum dan pemerintah provinsi menertibkan tambang emas ilegal. Sabtu (30/11), Pemprov Sumbar dan Polda Sumbar menyatakan komitmennya menindak tegas aktivitas tambang emas ilegal. Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit di Padang mengatakan, pemprov berkomitmen menindak tambang emas ilegal di Solok Selatan, Dharmasraya, dan Sijunjung. Penindakan itu dilakukan berkoordinasi dengan Polda Sumbar.
Di Jambi, tim satgas bantuan penertiban tambang minyak ilegal di tingkat Kabupaten Batanghari belum juga dibentuk. Padahal, operasi penegakan hukum dijadwalkan mulai Senin di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin alias Tahura Senami, Kecamatan Bajubang, Batanghari. Surat keputusan bupati belum ada. ”Mungkin baru besok ditandatangani,” kata Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Batanghari Fahrizal, kemarin.