Bersembunyi di balik toko kosmetik, obat ilegal yang berefek layaknya mengonsumsi narkoba diperjualbelikan di Kabupaten Tangerang.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
Tim gabungan mengungkap penjualan obat secara ilegal dengan kedok toko kosmetik di Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. Toko itu juga mengedarkan obat keras yang kerap disalahgunakan konsumen, antara lain tramadol, triheksifenidil, dan hexymer.
Tim yang terdiri dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), koordinator pengawas penyidik pegawai negeri sipil dari Polri, Badan Reserse Kriminal Polri, serta Kepolisian Sektor Teluk Naga Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota menggerebek toko kosmetik bernama Perancis yang berlokasi di salah satu mal di Dadap, Senin (2/12/2019) sekitar pukul 20.00.
Ada pula anggota tim yang menyambangi 2 toko kosmetik lain di Kelurahan Kosambi Barat, 1 toko obat di Salembaran, serta 1 rumah tinggal yang dijadikan gudang di Kosambi Barat pada waktu hampir bersamaan. Semua tempat tersebut terkait dengan kasus yang sama.
Namun, Kepala BPOM Penny Lukito menuturkan, pihaknya beserta aparat hukum masih mendalami jaringan sindikat pengadaan dan distribusi obat ilegal serta auktor intelektualisnya. Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. ”Sejauh ini, ada 20 saksi yang masih kami periksa,” ucap Penny dalam konferensi pers di depan Toko Kosmetik Perancis, Selasa.
Pemilik toko tersebut merupakan bagian dari yang saat ini berstatus saksi. Belum ada penahanan terhadap siapa pun.
Perancis yang bahkan bukan apotek resmi diduga menjual secara bebas obat-obat yang pemberiannya harus disertai resep dokter. Terdapat jenis-jenis obat wajib resep yang populer disalahgunakan untuk mendapatkan efek halusinasi, yaitu tramadol, triheksifenidil, dan hexymer.
Tramadol merupakan obat anti-nyeri (analgetika). Dari keterangan saksi pembeli, tramadol dikonsumsi untuk meningkatkan stamina sehingga tidak mengantuk saat bekerja malam hari. Adapun triheksifenidil dan hexymer merupakan obat anti-parkinson yang jika digunakan secara berlebihan bisa menyebabkan ketergantungan dan memengaruhi aktivitas mental serta perilaku menjadi cenderung negatif.
Tim gabungan juga menemukan obat psikotropika Riklona Clonazepam. Obat ini digunakan sebagai penenang bagi penderita stres atau kecemasan agar lebih rileks.
Penny menuturkan, pihaknya masih akan memeriksa keaslian serta legalitas obat-obat yang ditemukan tersebut. ”Bisa jadi produknya legal, tapi didistribusikan di sarana yang ilegal. Bahayanya adalah penyalahgunaan, yang tentunya merusak masyarakat dan generasi ke depan,” ujarnya.
Selain jenis-jenis obat itu, tim gabungan secara keseluruhan menemukan obat-obat daftar G (obat keras), obat tradisional tetapi ternyata mengandung bahan kimia obat, serta kosmetik tanpa izin edar yang diduga mengandung bahan berbahaya. Omzet bisnis obat ilegal ini diperkirakan belasan juta rupiah per hari dan penjualan sudah berjalan lebih dari lima tahun.
Total barang bukti sebanyak 172.532 obat dan kosmetik ilegal yang terdiri atas 419 item. Nilai keekonomiannya Rp 270,49 juta.
Direktur Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Teguh menambahkan, masyarakat melaporkan dugaan penjualan obat ilegal di Toko Kosmetik Perancis salah satunya karena merasa resah. Sebab, pelanggan toko itu rata-rata berusia muda, diperkirakan di bawah 30 tahun.
Bisnis tersebut melanggar Pasal 197 dan Pasal 198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ancaman hukumannya, pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Salah satu warga di sekitar Toko Kosmetik Perancis, Akeng (60), mengatakan, dirinya memang kerap melihat ada anak-anak muda yang datang ke toko itu. ”Ya, bervariasi, ada yang mungkin masih bersekolah, ada yang kelihatannya sudah bukan usia sekolah,” ucapnya.
Salah satu pedagang kaki lima, Bagas (34), menyebutkan tidak terlalu memperhatikan siapa saja konsumen Perancis. Namun, ia beberapa kali melihat anak jalanan bergaya punk berseliweran di sekitar mal lokasi toko tersebut.