Usaha rintisan bidang teknologi finansial memiliki strategi untuk meraih keuntungan, meskipun pelaku usaha ini membidik pertumbuhan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Model bisnis perusahaan rintisan bidang teknologi dan perusahaan konvensional berbeda. Masing-masing memiliki strategi dalam merealisasikan keuntungan.
Presiden Direktur PT Visionet Internasional, penerbit dompet elektronik OVO, Karaniya Dharmasaputra, Minggu (1/12/2019), di Jakarta, mencontohkan, perusahaan rintisan bidang teknologi finansial atau tekfin di Indonesia umumnya menyertakan pesan edukasi. Usaha ini memiliki produk untuk melayani masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan atau jasa keuangan konvensional lain.
Menurut Karaniya, model bisnis usaha rintisan tekfin tidak bisa disamakan dengan perusahaan konvensional. Setiap perusahaan rintisan bidang tekfin juga mempunyai strategi untuk mempertanggungjawabkan modal dari investor dan mencetak keuntungan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Faras yang dihubungi terpisah berpendapat, perusahaan rintisan bidang layanan tekfin melakukan strategi yang kerap diistilahkan ”bakar uang” untuk meraih pangsa pasar. Ketika semakin banyak warga yang menggunakan produk mereka, perusahaan berharap valuasinya meningkat dan mendapat data pengguna lebih banyak. Kedua hal ini bisa digunakan untuk menarik semakin banyak investor.
”Semakin banyak investor masuk, perusahaan rintisan bidang tekfin bisa berekspansi, menambah pangsa pasar, dan memiliki data lebih banyak,” katanya.
Menurut rencana, PT Visionet Internasional akan mengenakan biaya transfer dana Rp 2.500 per transaksi dari OVO Cash ke rekening bank, mulai 12 Desember 2019.
Karaniya menjelaskan, biaya transfer dikenakan setelah masyarakat teredukasi manfaat pemakaian dompet elektronik.
PT Dompet Anak Bangsa juga mengenakan biaya Rp 2.500 untuk transfer dana dari Go-Pay ke rekening bank.
PT Fintek Karya Nusantara mengenakan biaya Rp 6.500 kepada pengguna dompet elektronik LinkAja yang ingin transfer ke bank non-BUMN.
Karaniya menambahkan, pemegang saham OVO bukan hanya Grup Lippo. Saham milik Grup Lippo terdelusi karena PT Visionet Internasional terus-menerus mengumpulkan dana dari investor lain.
Menurut Karaniya, hal yang dialami PT Visionet Internasional dengan saham dan investornya merupakan hal yang lumrah. Perusahaan rintisan bidang teknologi lainnya juga pernah mengalami situasi serupa.
”Perusahaan rintisan bidang teknologi seperti kami, Tokopedia, Traveloka, dan Bareksa, menggalang dana ke investor. Tujuan utamanya bukan semata-mata mengejar modal, melainkan ekosistem investor beserta teknologi yang dimiliki,” ujarnya.
Pertumbuhan
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyampaikan penjelasan senada. Bisnis perusahaan rintisan bidang teknologi, termasuk bidang perdagangan secara elektronik atau e-dagang, mengandalkan dana investor. Mengejar profit bukan segala-galanya.
Perusahaan rintisan bidang teknologi pada umumnya juga percaya pada pertumbuhan. Karena itu, pelaku usaha rintisan tekfin lebih suka berbicara tentang pertumbuhan jumlah pengguna, pengunjung aktif bulanan, dan total penjualan serta volume transaksi melalui platform (GMV).
Perusahaan rintisan bidang teknologi pada umumnya juga percaya pada pertumbuhan
Menurut dia, kenyataan yang sering terjadi, semakin besar nilai subsidi yang diberikan kepada konsumen tidak menjamin loyalitas. Temuan dari riset kualitatif idEA terhadap sekitar 200 pengguna laman pemasaran, transportasi umum berbasis aplikasi, dan tekfin pembayaran, kebanyakan konsumen transportasi umum berbasis aplikasi memiliki loyalitas tinggi. Konsumen ini tetap loyal kendati promosi ditiadakan. Kemungkinan, kondisi ini dibentuk oleh kebiasaan.
Lebih lanjut, Ignatius mengemukakan, perusahaan rintisan bidang e-dagang dituntut untuk terus mengejar pertumbuhan. Maka, pilihannya adalah mengakuisisi pengguna baru, mengambil alih pengguna kompetitor, atau menambah frekuensi transaksi.
Strategi ini antara lain tecermin dari jumlah anggota idEA yang saat ini tinggal 220 perusahaan. Asosiasi ini pernah beranggotakan 347 perusahaan, tetapi sebagian tutup atau hengkang dari Indonesia.