Penolakan Wacana Sistem Pemilihan Tidak Langsung Semakin Kuat
Jumlah partai yang menolak pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak langsung semakin banyak. Partai Demokrat mennyampaikan sikap serupa karena mekanisme itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menyusul sejumlah partai politik lain, Partai Demokrat juga menolak wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pilkada tidak langsung dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi.
Partai Demokrat menolak wacana itu karena menganggap masyarakat berhak memilih pemimpin serta menentukan nasib daerahnya dengan cara memilih kepala daerah langsung.
“Kami meyakini demokrasi adalah jalan terbaik. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung merupakan cara terbaik yang telah dipilih rakyat untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” kata Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Ia menambahkan, hak untuk memilih pemimpin secara langsung merupakan bagian dari kedaulatan rakyat. Hak tersebut bukan pemberian negara yang sewaktu-waktu bisa dicabut oleh pemerintah. Alih-alih mencabut, pemerintah justru wajib untuk melindungi dan memenuhi hak kedaulatan rakyat, karena merupakan bagian yang tercantum dalam konstitusi.
Wacana Pilkada oleh DPRD mulanya dikemukakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Pernyataan itu disampaikan sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan Pilkada langsung yang dinilai menimbulkan ongkos politik tinggi. Tingginya biaya tersebut dianggap sebagai akar masalah maraknya korupsi oleh kepala daerah. Wacana itu pun kemudian direspons positif sejumlah partai politik, namun tak sedikit pula yang menolaknya.
Adapun pernyataan Partai Demokrat menambah daftar penolakan terhadap wacana tersebut. Sebelumnya, sikap serupa disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera.
Mardani mengatakan, Pilkada langsung merupakan wujud kedaulatan rakyat. Masyarakat Indonesia telah mencapainya melalui perjalanan yang panjang pasca-reformasi. “Kemunduran bagi demokrasi jika Pilkada kembali dipilih oleh DPRD,” ujarnya.
Ia menambahkan, gagasan itu tak bisa dibenarkan atas dalih bahwa Pilkada langsung menimbulkan biaya politik ilegal yang tinggi. Ongkos politik ilegal itu bisa ditekan tanpa mengubah sistem pemilihan.
Misalnya, dengan mengevaluasi ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi sekitar 7-10 persen. Selain itu, masa kampanye juga bisa dipersingkat. Cara lain, dengan penggunaan rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo juga menolak wacana pengubahan sistem tersebut. Menurut dia, pengurangan biaya politik bisa ditempuh dengan memangkas komponen saksi saat pemungutan suara yang selama ini dibiayai calon.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, peralihan dari sistem Pilkada oleh DPRD kepada Pilkada langsung sejak 2004 didasarkan pada keinginan mengatasi politik transaksional. Sebelum 2004, praktik transaksional itu umum diketahui, tetapi tidak pernah terungkap.
Namun, lebih dari itu, Pilkada oleh DPRD dinilai tidak benar-benar merepresentasikan suara rakyat. “Kritik terbesar adalah publik yang sekadar menjadi penonton dan keterputusan antara aspirasi masyarakat terhadap figur kepemimpinan daerah dengan pilihan yang dibuat oleh DPRD. Ada disparitas antara aspirasi dan pandangan politik warga dengan keputusan politik yang dibuat oleh DPRD,” kata Titi.
Menurut dia, komparasi antara biaya politik pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD dilakukan secara tidak berimbang. Pihak-pihak pendukung Pilkada oleh DPRD luput memandang dimensi partisipasi politik yang menyertai kedua praktik tersebut. “Pemilihan oleh DPRD mengandung eksklusivitas, dimana transparansi, akuntabilitas, dan akses publik menjadi sangat minim,” ujarnya.
Pemilihan presiden
Selain wacana Pilkada oleh DPRD, keinginan untuk mengembalikan sistem pemilihan presiden (pilpres) oleh MPR juga mengemuka, seiring dengan berkembangnya ide amendemen UUD 1945. Salah satunya didukung oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Alasannya, pilpres secara langsung juga membutuhkan biaya yang terlalu besar, yaitu mencapai Rp 24 triliun (Kompas, 29/11/2019).
Bersamaan dengan itu, berkembang pula gagasan untuk memperpanjang batas masa jabatan presiden, dari dua periode menjadi tiga periode. Sejauh ini, ide tersebut didukung oleh Partai Nasdem. Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, penambahan masa jabatan dibutuhkan dalam rangka kesinambungan proses pembangunan nasional.
Menanggapi wacana tersebut, Hinca menegaskan, pihaknya juga menolak pengubahan mekanisme pemilihan presiden dari langsung menjadi kembali ke MPR. Serupa dengan wacana Pilkada oleh DPRD, mengembalikan pemilihan presiden ke tangan MPR juga merupakan kemunduran. “Pemilihan presiden secara langsung adalah konsensus bangsa untuk tidak mengulangi sejarah kelam kehidupan bangsa dan negara di masa lalu,” kata dia.
Belajar dari pengalaman bangsa, kata Hinca, batas masa jabatan presiden yang ideal adalah dua periode. Hal itu juga diterapkan di berbagai negara demokrasi lainnya. Ia mengingatkan, kekuasaan presiden yang berlebih cenderung berdampak negatif. “Kekuasaan presiden yang terlalu lama di tangan satu orang cenderung untuk disalahgunakan. Jasmerah, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah,” tutur Hinca.