"Habitat for Humanity" Bangun 500 Huntap Tanpa Relokasi di Sulteng
Lembaga Kemanusiaan Habitat for Humanity Indonesia akan membangun 500 rumah atau hunian tetap tanpa relokasi bagi para penyintas bencana di Kabupaten Sigi, Sulteng.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
SIGI, KOMPAS - Lembaga Kemanusiaan Habitat for Humanity Indonesia akan membangun 500 rumah atau hunian tetap tanpa relokasi bagi para penyintas bencana di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Bantuan itu diharapkan mempercepat pemulihan kondisi masyarakat yang kini tinggal di hunian sementara.
Habitat for Humanity menegaskan komitmen itu dengan peletakan batu pertama pembangunan hunian tetap tanpa relokasi atau relokasi in situ di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Senin (2/12/2019). Hadir Bupati Sigi Irwan Lapatta dan Chief of Party Disaster Response Habitat for Humanity Indonesia Herbert Barimbing.
Untuk tahap pertama, lembaga kemanusiaan itu akan merampungkan 150 hunian tetap (huntap) tanpa relokasi pada 2020. Sisanya, diusahakan selesai pada 2021. Sejauh ini baru Habitat for Humanity yang terlibat dalam pembangunan huntap tanpa relokasi di Sigi. Selama ini banyak lembaga yang berkerja di Sulteng hanya sampai pada pembangunan hunian sementara. Satu lembaga lain membangun huntap di lahan relokasi.
Huntap tanpa relokasi (in situ) merujuk pada rumah penyintas yang rusak berat, tetapi masih bisa dibangun di lokasi awal. Ini untuk membedakan dengan huntap yang harus direlokasi (ex situ) karena lokasi awalnya telah ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pembangunan hunian. Titik-titik itu mencakup bekas likuefaksi, tsunami dan jalur utama sesar.
Gempa pada 28 September 2018, menyebabkan sebanyak 8.000 rumah di Sigi rusak berat dan tak bisa ditempati. Secara umum, gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi di Sigi, Donggala, dan Kota Palu itu merusak dan menghancurkan 110.000 rumah.
Irwan menyatakan, untuk penyintas yang huntapnya dibangun Habitat for Humanity, tak berhak mendapatkan dana stimulan. “Artinya kami berterima kasih kepada Habitat for Humanity karena membantu meringankan pengeluaran pemerintah. Dana pemerintah bisa dialokasikan untuk pembangunan rekontruksi lain,” ucapnya.
Dana stimulan diberikan kepada penyintas yang rumahnya rusak berat, sedang dan ringan, tetapi masih bisa dibangun di lokasi semula. Besarannya Rp 50 juta untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta untuk rusak sedang, dan Rp 10 juta untuk yang rusak ringan.
Irwan menyebutkan, Habitat for Humanity sangat membantu para penyintas dan pemerintah karena pengucuran dana stimulan agak lambat mengingat banyaknya mekanisme yang perlu dilalui. Saat ini, dana stimulan untuk tahap kedua sudah tersedia, tetapi masih ada mekanisme yang perlu diselesaikan, antara lain uji publik kebenaran data dan petunjuk teknis penggunaan dana dari Pemerintah Provinsi Sulteng.
“Kami pastikan pemerintah bekerja, jangan bilang tidak bekerja. Kalau ada masalah disampaikan lewat pemerintah desa. Kami terus bekerja, hanya kerja kami tetap ada tahapan-tahapannya,” ucapnya. Ia menambahkan, tahap pertama penggunaan dana stimulan untuk perbaikan rumah rusak berat sedang berlangsung.
Sementara itu, Herbert menyatakan rumah yang dibangun Habitat for Humanity berukuran 6 meter x 6 meter dengan konstruksi kombinasi beton dan papan kalsibor. Desain rumah itu telah diuji dan disetujui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Sigi untuk spesifikasi tahan gempa.
Arisno (50), calon penerima bantuan menuturkan, dirinya sangat berharap pembangunan huntap cepat dimulai. “Tinggal di rumah lebih nyaman ketimbang di huntara,” ujarnya.
Arisno mengaku tinggal di hunian sementara bersama keluarganya. Akibat gempa, rumahnya rusak berat dan tak bisa ditempati lagi.