Pembeli berdesakan di lorong-lorong yang dipadati pedagang di kanan kiri. Sepeda motor dan mobil bak terbuka pembawa daging dan unggas merangsek, memaksa manusia menyingkir. Sebuah perayaan besar sedang dipersiapkan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
Lautan manusia membanjiri Pasar Beriman Tomohon, Sabtu (10/8/2019). Para pembeli berdesakan di lorong-lorong yang telah dipadati pedagang di kanan kiri. Sepeda motor dan mobil bak terbuka pembawa daging dan unggas merangsek, memaksa manusia menyingkir. Sebuah perayaan besar sedang dipersiapkan.
Itulah persiapan hari Pengucapan Syukur di Tomohon, Sulawesi Utara, yang tahun ini jatuh pada Minggu (11/8). Di Amerika Serikat dan Eropa, budaya ini dikenal sebagai Thanksgiving. Warga Tomohon yang mayoritas Kristen Protestan merayakan dengan membuka rumahnya (open house) bagi saudara-saudara, teman, atau siapa pun saja dari kota dan kabupaten lain untuk pasiar (singgah), makan, dan bercengkrama.
Sehari sebelum perayaan, seolah-olah, 100.000 penduduk kota kecil di antara kaki Gunung Lokon dan Mahawu itu tumpah ruah di pasar. Mereka harus menenteng pulang tas keresek berisi entah daging apa saja yang dijual di pasar berpredikat ”ekstrem” itu.
Tak banyak ruang untuk bergerak. Sesekali warga buru-buru menghindar dari para pedagang yang hilir mudik memanggul tubuh babi tambun yang kuning pucat.
Seperti pedagang daging babi lainnya, Johnly (56) tak henti-henti melayani pelanggan. Lapaknya tak pernah kehabisan daging. Permintaan dan pasokan daging babi selalu meningkat menjelang hari Pengucapan Syukur.
”Harga Rp 60.000 per kilogram tidak bisa naik lagi, takut langganan pergi. Tapi, pembeli banyak sekali. Kalau hari biasa cuma laku 3-4 ekor, pagi ini saja sudah habis 15 ekor,” kata Johnly. Wajar saja, daging babi adalah menu wajib di meja makan saat Pengucapan Syukur.
Daging satwa liar, seperti paniki (kelelawar), tikus pohon, ular piton, dan babi hutan, juga dijajakan layaknya daging ayam dan sapi di daerah lain. Salah satu pedagang mengeluarkan puluhan paniki. Pelanggan tinggal menyebut berapa kilogram daging yang diinginkan. Pedagang akan memotong dan menimbang daging.
Kebiasaan makan daging satwa liar (bushmeat), terutama saat Pengucapan Syukur, adalah hal biasa di tanah Minahasa. Istilah ”kuliner ekstrem” jadi identik dengan budaya setempat.
Lientje (63) memperlihatkan tikus-tikus pohon dagangannya. Harganya Rp 35.000 per ekor. ”Banyak sekali yang beli daging tikus, sudah terkenal dan sering masuk TV,” katanya bangga. Johnny (50), seorang pembeli, mengatakan, daging tikus yang dimasak dengan bumbu erwe sangat disukai tamu-tamu saat Pengucapan Syukur.
Ada juga daging anjing yang dijual Rp 40.000 per kg sesuai permintaan pelanggan. Banyak yang memborong anjing. Meity Kaeng (53), misalnya, warga Kelurahan Matani 1, hendak membawa pulang 5 kilogram untuk dimasak dengan bumbu erwe.
Daging anjing bumbu erwe tak setiap hari ada di meja makan keluarga Meity. Namun, lantaran akan datang keluarga dan teman dari Manado, Minahasa, serta daerah lainnya, ia tidak boleh kehabisan jamuan. ”Siapa pun, meski tidak kenal, juga bebas datang untuk makan karena ini Pengucapan Syukur,” katanya.
Sejak tiga tahun terakhir, daerah yang dominan etnis Minahasa, seperti Kota Manado, Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Tenggara, dan Selatan, juga merayakan Pengucapan Syukur secara bergantian sesuai ketetapan pemerintah kota/kabupaten. Warga dari satu daerah bisa berbalas kunjung untuk makan di rumah kerabatnya di daerah lain.
Tak hanya daging
Pengucapan Syukur tak hanya soal daging. Ada hidangan spesial yang selalu ada di perayaan ini, yaitu nasi jaha (jahe). Di malam hari, sementara ibu dan anak-anak memasak daging-daging di dalam rumah, para bapak membuat nasi jaha yang dibakar dalam bambu. Bilahan bambu muda yang hijau selalu dijual pelapak dadakan di sekitar pasar menjelang Pengucapan Syukur.
Ke dalam rongga bambu-bambu yang telah dilapisi daun pisang, dimasukkan beras ketan putih yang dibumbui jahe dan rumput liar, lalu diisi air santan. Kemudian, bambu disandarkan pada kayu di dekat bara api hingga matang seperti nasi yang ditanak.
Yunus Tuela (50), warga Kamasi, menyiapkan 15 liter beras ketan yang ditanak dalam 24 bilah bambu sepanjang 50-70 sentimeter. Setiap liter beras ketan ditanak dengan santan dari sebutir kelapa. Nasi jaha akan matang setelah didekatkan di bara api selama 2,5 jam, ditunjukkan oleh bambu hijau yang menguning dan sedikit hangus.
”Nasi jaha paling pas dimakan bersama saat bakudapa (bertemu) dengan keluarga dan teman. Ini dimakan dalam rangka mengucap syukur atas berkat, kesehatan, kesejahteraan, dan pertemuan dengan kerabat. Pengucapan (Syukur) adalah silaturahim ala Minahasa,” tutur Yunus saat ditemui di rumahnya.
Kemampuan mengadakan jamuan saat Pengucapan Syukur adalah kebanggaan bagi tuan rumah, termasuk Yunus. Tak kurang dari Rp 1,5 juta dibelanjakannya bahan nasi jaha, beras, jagung, daging babi, ayam, ikan danau, sayuran, es buah, dan roti untuk perayaan keesokan harinya.
Menurut Yunus, semakin ekstrem daging yang disediakan, semakin bergengsi bagi tuan rumah. ”Karena orang Minahasa suka makan yang aneh-aneh,” kata Yunus. Kendati begitu, keluarganya tidak belanja daging satwa liar.
Sementara itu, Fentje (63) dan anaknya, Michael (36), warga Paslaten 1, juga membuat nasi jaha. Mereka menyediakan 20 kg beras ketan putih dan santan seember besar. Selain itu, daging babi, anjing, ular, paniki, tikus, hingga soa-soa (biawak) telah disiapkan.
”Kami belanja sekitar Rp 2 juta. Disesuaikan saja dengan keadaan keluarga. Kalau nanti makanan tersisa, teman dan keluarga harus bawa pulang supaya tidak ada yang terbuang,” kata Michael.
Sejak Sabtu sore hingga malam, warga Tomohon sibuk di rumah masing-masing. Mereka menghubungi saudara-saudarinya, mengundang untuk datang.