Kawangkoan, Kota Kacang yang Merindu Hujan
Begitu mulianya kacang tanah bagi masyarakat Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, hingga mereka sepakat membangun tugu kacang tanah di tengah kota sebagai pernyataan identitas. Namun, pancaran jati diri Kawangkoan sebagai kota kacang justru meredup di bawah terik kemarau panjang.
Denni Pinontoan, teolog dan budayawan kelahiran Kawangkoan, membiarkan ingatan membawanya ke tahun 1984, kala duduk di bangku SD. Tiap pulang sekolah, ia menukar uang jajannya demi menikmati gurihnya kacang tore sangrai dan manisnya sebatang halua, campuran gula merah dan kacang.
”Waktu itu, kacang sudah sangat identik dengan Kawangkoan. Penjualnya banyak di kios-kios tengah kota, terutama daerah Kinali dan Uner dekat Terminal Kawangkoan,” kata Denni, Kamis (21/11/2019).
Sebenarnya, tidak banyak kelurahan dan desa di Kawangkoan yang menghasilkan kacang tanah. Namun, kacang jadi identik dengan kecamatan itu karena mayoritas penyangrai dan pedagang kacang tinggal di sana. Jati diri ini dimaterialkan dalam wujud tugu kacang sangrai di Uner. ”Kalau tidak salah, didirikan (pada) 1998,” ingat Denni samar-samar.
Kulit kacang tanah beton bercat putih itu setengah terbuka. Di dalamnya tampak dua biji kacang berwarna coklat kemerahan. Tiada batu prasasti marmer yang memuat tanggal pendirian ataupun tanda tangan camat, bupati, atau gubernur yang meresmikannya.
”Tugu itu dijadikan label bagi Kawangkoan yang sedang berkembang menjadi pusat wisata kuliner. Kacang dan biapong (bakpao) khas Kawangkoan dijual di pusat rumah-rumah kopi. Padahal, daerah penghasil kacang itu ada di luar Kawangkoan, seperti Tompaso dan Kanonang,” kata dosen Universitas Kristen Indonesia Tomohon itu.
Keadaan masa kini tak jauh dari bayangan yang dimunculkan cerita Denni. Berdampingan dengan rumah-rumah kopi, kios-kios penjual kacang sangrai masih terpusat di Uner dan Kinali. Yulin Timporok (78), pemilik kios sekaligus penyangrai kacang, mengatakan, pasokan kacang tanah dibelinya dari para petani di Kanonang.
”Kacang sangrai itu asalnya dari Kanonang. Tapi, yang dapat nama malah Kawangkoan karena banyak dijual di sana,” kata Welly Rawis, Hukum Tua (kepala desa) Kanonang Dua.
Kanonang terbagi menjadi lima desa, yaitu Kanonang Satu sampai Kanonang Lima. Sebenarnya, tak salah juga kalau disematkan ”Kawangkoan” pada kacang hasil bumi Desa Kanonang Raya. Toh, lima desa kembar itu terletak di Kecamatan Kawangkoan Barat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Minahasa, Kanonang Raya punya 197 hektar kebun kacang tanah pada 2017, setara 57,2 persen dari total kebun kacang tanah di Kawangkoan Barat. Dengan luas tanam 168 hektar, panen bisa mencapai 302,4 ton. Khusus di kelima desa itu, areal kebun kacang bisa mencapai 500 hektar.
Kacang tanah sudah dikembangkan para petani Kanonang sejak 1960-an. Selama itu pula, dikembangkan tiga varietas kacang tanah di Kanonang, yaitu kacang banggai berkulit ari merah, kacang belimbing berkulit ari putih, dan kacang blaster berukuran besar dan berkulit ari coklat loreng.
Sampai sekarang, para petani Kanonang tetap menggantungkan hidupnya pada kacang. Bahkan, telah bermunculan para penyangrai asli Kanonang. Sebagian besar dari rantai produksi kacang sangrai Kawangkoan masuk ke desa.
Meski begitu, kemarau panjang memutus mata rantai itu, setidaknya sementara. Berbulan-bulan hujan tidak turun sehingga tak ada kacang untuk disangrai. ”Coba ke sini lagi Februari, saat petani panen dan warga mulai menyangrai,” kata Welly.
Sebagian besar hamparan lahan kebun di Kanonang masih kosong. Hanya sedikit yang sudah mulai ditanami kacang tanah dan jagung, komoditas utama Kanonang. Welly memperkirakan, baru 5 hektar yang ditanami kacang.
Dalam rantai produksi kacang, yang paling cepat goyah terimbas kemarau adalah para penyangrai kecil seperti Ani Pantow (70) di Desa Kanonang Tiga. Pada masa panen, dapurnya akan mengepulkan asap dari songara (belanga besar dan tebal untuk menyangrai kacang) di atas tungku batu. Lengan-lengannya tak akan berhenti mengaduk kacang yang digoreng di atas pasir agar tidak gosong.
Saat kemarau, Ani bisa saja menjual persediaan yang disimpan sejak masa panen. Namun, ia tak punya modal sebesar itu. ”Sudah berbulan-bulan tidak ada panen karena musim kering. Torang nyanda (kami tidak) bisa jual sama sekali, kasiang. Padahal torang hidup cuma dari kacang,” katanya.
Seandainya punya stok, ia bisa menjual kacang sangrai ke pedagang di Uner dan Kinali seharga Rp 17.500 per liter, di atas harga normal Rp 12.500. ”Seandainya saja bisa panen sepanjang tahun,” keluh Ani.
Nice Pioh (71) di Kanonang Dua juga mengistirahatkan songaranya. Ia menutup pasir di belanga itu dengan seng-seng berkarat. Di tengah kekeringan, ia memberanikan diri membeli sekarung kacang dari petani yang nekat tetap menanam kacang. Hasilnya, banyak kacang terlihat besar, tapi isinya kosong. ”Padahal saya beli Rp 1 juta per karung,” katanya.
Yulin Timporok, pemilik kios di Kinali, mengeluhkan hal yang sama. Ia hanya menjual kacang belimbing dan banggai yang telah disangrai dan disimpan selama beberapa bulan seharga Rp 17.500 per liter. ”Kacang blaster sebenarnya lebih mahal, Rp 20.000 per liter. Tapi musim kering ini banyak kacang balon, besar maar nyanda ada depe isi (tapi tidak ada isinya).”
Sebaliknya, kemarau ini seperti liburan musim panas bagi Febry Tumbelaka (50), pengusaha kacang sekaligus suami Hukum Tua Kanonang Tiga. Setelah 25 tahun malang melintang di bisnis kacang, ia tahu kapan harus membeli stok dan kapan harus melepasnya ke pasar.
Di gudangnya, sudah ada 80 karung 150 liter berisi kacang dari tiap varietas yang siap dijual. ”Sekarang saya perkirakan harganya Rp 1,9 juta-Rp 2 juta per karung. Biasanya cuma Rp 1,2 juta. Stok ini bisa sampai Februari nanti saat panen,” katanya.
Bisnis kacang bagi Febry sangat menjanjikan. Kini ia punya mobil, warung, dan usaha hollow brick. April lalu, satu kursi di DPRD Minahasa hampir direngkuhnya meski harus kalah tujuh suara dari pesaingnya. ”Yang pasti bisa punya tabungan, bisa kuliahkan dua anak di jurusan keperawatan dan teologi,” katanya.
Hujan
Hujan pada akhir Oktober lalu menandakan musim tanam sudah dekat. Tak butuh waktu lama bagi petani seperti Jerry Warangkiran (62) dari Kanonang Empat untuk menggarap 0,8 hektar kebun miliknya dan segera menanam kacang.
Selama kemarau, hidupnya tak jelas, harus berutang ke teman dan tetangga untuk bertahan hidup. Hujan pun turun sebagai kepastian, tiga bulan lagi ia akan jadi jutawan. ”Nanti Februari 2020 bisa panen 50 karung, setara 7.500 liter. Per karung Rp 800.000-Rp 1 juta,” katanya.
Jerry paham tanah kebunnya akan rusak jika ditanami kacang terus. Seperti petani lainnya, ia pun menanamnya bergantian dengan jagung. Namun bukan berarti, jagung bisa ditanam saat kemarau karena hujan adalah sumber air satu-satunya. Mata air dari kaki Gunung Soputan dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan warga, bukan untuk irigasi.
Hukum Tua Kanonang Dua, Welly, menyadari masalah ini. Potensi panen yang besar dari Kanonang Raya tak bisa dimaksimalkan. Beberapa waktu lalu, misalnya, perusahaan kacang dari Jepang tertarik menjadikan Kanonang sumber pasokan tetap. ”Tapi mereka butuh 10 ton setiap bulan. Kami belum mampu memenuhi itu,” katanya.
Untuk saat ini, Welly telah meneken kerja sama dengan situs e-dagang Tokopedia untuk mengembangkan dan memasarkan kacang Kawangkoan asli Kanonang.
Kepala Dinas Pertanian Minahasa Yeittij Fonnie Roring menyatakan telah merencanakan pembuatan sumur bor, termasuk di sekitar perkebunan kacang tanah Kawangkoan dan Kawangkoan Barat pada 2020. Ia mengajukan penyediaan irigasi bagi lahan kacang tanah seluas 1.500 hektar. Namun, belum ada kata pasti.
Budaya baru
Menanam kacang, menurut Denni, bisa dikatakan sebagai budaya baru bagi masyarakat Kanonang ataupun Kawangkoan karena baru mulai diperkenalkan pada 1960-an. Wajar jika bercocok tanam kacang belum mengakar kuat dan masyarakat belum mampu menciptakan jaringan irigasi dari sumur tanah sebagai kearifan lokal.
Pada saat yang sama, pemerintah telah menetapkan kacang sebagai label demi mengembangkan pariwisata di Kawangkoan. ”Setidaknya, pemerintah memfasilitasi dengan teknologinya. Kawangkoan bisa jadi pusat wisata agrikultur, sekalian wisatawan berkunjung ke Bukit Kasih Kanonang dan Tugu Pers Mendur Bersaudara,” kata Denni.
Hingga kini, pengolahan hingga pengemasan kacang sangrai Kawangkoan masih sangat sederhana, dengan plastik yang mudah robek dan label kemasan hasil fotokopi. Industri skala besar belum masuk ke sana. Namun, kata Denni, masyarakat Kawangkoan sangat maju dalam etos kerja dan kreativitas.
”Ini sudah terbukti di perdagangan. Orang Kawangkoan punya kebiasaan pasaron, yaitu mobile dari satu pasar ke pasar lain. Mereka juga keliling Minahasa, menukarkan beragam jenis barang dengan hasil bumi seperti cengkeh, sambil berjualan kacang,” kata Denni.
Kacang telah membawa kesejahteraan bagi warga Kawangkoan dan Kawangkoan Barat. Masyarakat yang inventif siap untuk naik kelas, tak ingin terlalu lama merindu hujan.