Wacana Pemilihan Presiden oleh MPR Mulai Mendapat Penolakan
Penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berpotensi memunculkan nepotisme dan politik dinasti. Selain itu, petahana juga cenderung menjadikan birokrasi sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 kembali menjadi bola liar yang mengancam prinsip demokrasi. Munculnya wacana pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode mulai mendapat penolakan sejumlah kalangan masyarakat.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan, wacana pemilihan presiden oleh MPR dan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode bertentangan dengan demokrasi. MPR perlu serius mengkaji wacana yang berkembang itu.
”Penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berpotensi memunculkan nepotisme dan politik dinasti. Selain itu, petahana juga cenderung menjadikan birokrasi sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan dan tim pemenangannya,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Membaca Arah Amandemen UUD 45” di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Siti menjelaskan, LIPI sebenarnya sedang membuat kajian agar masa jabatan presiden sebaiknya hanya satu periode. Namun, jangka waktunya ditambah harus di atas lima tahun dan di bawah sepuluh tahun. Hal ini dirasa akan lebih efektif bagi presiden untuk menjalankan pemerintahannya.
Penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berpotensi memunculkan nepotisme dan politik dinasti. Selain itu, petahana juga cenderung menjadikan birokrasi sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan.
”Saya merasa belum ada urgensi jika presiden kembali dipilih oleh MPR karena demokrasi menjadi tidak terukur. Hal ini juga menghambat adanya regenerasi kepemimpinan jika presiden yang dipilih dari kalangan itu saja,” ujarnya.
Menurut Siti, saat ini MPR dan pemerintah sepertinya sedang mengetes reaksi masyarakat dengan memunculkan wacana tersebut. Ia pun memprediksi, wacana tersebut akan banyak mendapat penolakan dari masyarakat.
Wacana pemilihan presiden oleh MPR kembali muncul setelah pertemuan pimpinan MPR dengan jajaran pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Rabu (27/11/2019), di Jakarta.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj merujuk pada rekomendasi Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Ulama NU pada 2012. Rekomendasi itu antara lain menyebutkan perlunya pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengingat dampak buruk pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih besar daripada manfaatnya.
Pakar hukum tata negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Juanda, mengatakan, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Oleh sebab itu, sebaiknya presiden tidak kembali dipilih oleh MPR.
”Negara kita memang menganut asas musyawarah mufakat, tetapi hal itu hanya berlaku untuk pengambilan keputusan. Berbeda halnya dengan pemilihan presiden, sebaiknya pemilihan tetap dilakukan oleh rakyat,” ujarnya.
Juanda menjelaskan, jika MPR ingin mengamendemen UUD 1945, sebaiknya dilakukan secara terbuka agat masyarakat tahu poin-poin apa saja yang akan diubah nantinya. Masukan dari masyarakat juga jangan sampai diabaikan demi kepentingan elite politik semata.
Anggota MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, menegaskan, Fraksi PKS dengan tegas menolak kedua wacana ini. Kedua wacana itu dapat menimbulkan sistem pemerintahan yang oligarki.
”Kami dengan tegas menolak wacana tersebut karena masa jabatan pemerintah harus dibatasi dan diawasi,” katanya.
Kami dengan tegas menolak wacana tersebut karena masa jabatan pemerintah harus dibatasi dan diawasi.
Menurut Nasir, peta politik dan gagasan yang muncul antarfraksi di MPR belum terkonsolidasi dengan baik. Setiap fraksi di MPR masih mencoba menggagas apa yang mereka inginkan.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengemukakan, wacana pemilihan presiden oleh MPR ini muncul berdasarkan kajian dari para ulama PBNU. Dari hasil kajian tersebut, para ulama menilai masih banyak kekurangan ketika presiden dipilih oleh rakyat.
”Salah satunya karena terkait biaya politik yang tinggi. Berdasarkan kalkulasi kami, biaya untuk pemilihan presiden membutuhkan dana sekitar Rp 24 triliun. Jika dipilih MPR, saya perkirakan biayanya tidak sampai sebesar itu, bahkan bisa kurang hingga 80 persen,” katanya.
Masukan dari PBNU ini, kata Jazilul, nantinya akan menjadi pertimbangan bagi Fraksi PKB untuk mengusulkan sejumlah gagasan yang berkaitan dengan amendemen. Fraksi PKB juga akan menerima masukan dari berbagai kalangan agar nantinya wacana yang muncul tidak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.