Pemberian umpan balik berkesinambungan oleh kepala sekolah kepada guru belum membudaya di lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pemberian umpan balik berkesinambungan oleh kepala sekolah kepada guru belum membudaya di lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air. Hal itu mengakibatkan diskusi teratur antara kepala sekolah dan guru yang bisa jadi wujud pengelolaan pendidikan yang baik serta solutif atas persoalan di sekolah tak berjalan.
"Hal ini merupakan dampak kebudayaan Indonesia yang menganggap relasi kepemimpinan bersifat satu arah, yakni pemimpin hanya memberi perintah. Padahal, dalam dunia pendidikan, relasi bersifat timbal balik yang dinamis," kata Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Surabaya Muchlas Samani pada Simposium Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Kepala sekolah berperan penting mengelola anggaran dan kinerja guru, termasuk pemantauan perkembangan kemampuan siswa lewat korespondensi dengan para guru. Kepala sekolah juga mesti menyampaikan visi pendidikan sekolah kepada orangtua siswa. Semua aspek itu akan tercapai jika kepala sekolah memahami situasi riil di tiap kelas dan memberi otonomi pada guru lewat pemberian umpan balik.
Dalam simposium itu diungkapkan, data program Inovasi untuk Siswa Sekolah Indonesia yang merupakan hasil kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta Pemerintah Australia. Program itu dilaksanakan antara lain di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Hasil evaluasi para guru mengungkapkan kepala sekolah biasanya memuji pada rapat tahunan. Akan tetapi, pujian tersebut umumnya tidak menjelaskan aspek-aspek yang sudah dijalankan dengan baik sehingga guru tidak tahu aspek yang butuh dibenahi.
Muchlas menekankan pentingnya pembekalan rutin kepala sekolah dan pengawas tak sebatas sosialisasi kebijakan, tapi penguatan pengelolaan sumber daya manusia di sekolah. Itu membutuhkan perubahan pola pikir dan perilaku kepala sekolah dan pengawas agar memiliki visi holistik, bukan visi sempit yang memaksa capaian pemelajaran diterjemahkan ke dalam indikator simplistis yang akhirnya malah menambah beban administrasi.
Ia mencontohkan penerapan Kurikulum 2013 yang selama ini kepala sekolah dan pengawas lebih condong menyosialisasikan kebijakannya, bukan isinya. Akibatnya, pelaksanaan pemelajaran jadi serba ketakutan karena guru tidak dimotivasi menyadur isi kurikulum sesuai konteks kelas yang mereka hadapi dan malah dibebankan agar mengikuti contoh di buku panduan.
"Kepala sekolah dan pengawas harus menyandingkan berbagai kurikulum yang ada. Akan tampak bahwa kompetensi yang ditargetkan semua mata pelajaran saling beririsan sehingga penilaian siswa bisa dilakukan secara tematik. Pengetahuan ini yang harus digencarkan kepada guru, bukan petunjuk teknis yang normatif," ungkap Muchlas.
Kepala sekolah dan pengawas harus menyandingkan berbagai kurikulum. Akan tampak kompetensi yang ditargetkan semua mata pelajaran saling beririsan sehingga penilaian siswa bisa tematik.
Belum substantif
Direktur Eksekutif Inisiatif Kepemimpinan Pendidikan untuk Raih Prestasi (INSPIRASI) Patrya Pratama menjelaskan, ada faktor kepercayaan diri kepala sekolah dan pengawas yang harus dipupuk karena tanpa kepercayaan diri ini akan sukar bagi mereka memercayai para guru bisa mengambil keputusan dalam pemelajaran. INSPIRASI mendampingi sekolah dan madrasah di Karawang, Jawa Barat untuk peningkatan mutu pengelolaan dan pemelajaran.
Saat mengadakan pelatihan guru, kepala sekolah umumnya mendatangkan narasumber dari luar karena terkesan bergengsi. Padahal, narasumber dari luar tak mengetahui situasi dihadapi siswa karena pengetahuan itu ada pada guru. Lebih baik pelatihan guru berupa diskusi rutin berbagi pengalaman dan soal spesifik di sekolah dan bersama-sama mencari solusi.
"Kepala sekolah mengira guru-guru secara alami akan mengobrol mengenai masalah pemelajaran. Padahal, diskusi harus dikondisikan," tutur Patrya.
Penelitian oleh INSPIRASI mengungkapkan, guru-guru saat mengobrol di ruang kerja lebih banyak membahas kehidupan pribadi dan mengeluhkan siswa yang malas belajar atau bandel. Namun, mereka tak membahas intervensi yang sebaiknya diberikan pada siswa itu. Jadi, kepekaan kepala sekolah diperlukan untuk merancang kegiatan produktif melibatkan guru sebagai pemecah masalah.
Mantan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal Gultom yang juga Guru Besar Matematika Universitas Negeri Medan menambahkan, Kemdikbud meneliti pengetahuan guru tentang pemelajaran berbasis nalar tingkat tinggi (HOTS). Hasilnya, 70 persen guru mengetahui atau pernah mendengar tentang HOTS.
Ketika ditanya lebih mendalam pemahaman mereka terkait wujud HOTS, hanya 40 persen yang paham. Angka semakin kecil ketika pertanyaan semakin mendetail. Hanya 20 persen guru yang mengerti dan bisa menerapkan HOTS di kelas dan hanya 5 persen yang konsisten melakukannya.
"Roh HOTS adalah kreativitas. Kalau kepala sekolah memakai kaca mata kuda dalam pemelajaran, jangankan guru berani mengulik materi, mereka juga terhalang pemberdayaan kompetensinya," kata Syawal.