Kinerja sektor properti memengaruhi sejumlah sektor lain. Banyak industri yang ikut terkerek saat sektor properti menggeliat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Sektor properti memiliki dampak berganda. Dampak berganda ini tercipta karena setidaknya ada 170 industri ikutan yang terkerek pada saat sektor properti menanjak.
Kinerja sektor properti terkait dengan banyak industri, seperti semen, pasir, batu, besi, baja, seng, cat, keramik, dan tentu saja lapangan kerja. Selain itu, industri yang terkait sektor properti cukup banyak, antara lain furnitur, mebel, lampu, dan kabel, termasuk perlengkapan rumah tangga seperti kompor hingga panci.
Gambarannya, pembeli rumah tidak akan berhenti saat membeli rumah. Ia akan menempati rumah itu, kemudian mengisi dengan perabotan, alat makan, alat masak, dan berbagai kebutuhan lain. Setelah sekian lama, akan mengecat ulang atau menambah luas ruangan rumahnya.
Membangun atau membeli properti juga terkait erat dengan sektor jasa keuangan. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia triwulan III-2019, pembelian properti residensial yang menggunakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) dari perbankan sekitar 76,02 persen.
Sektor konstruksi memberikan dampak berganda yang cukup besar, yakni 1,924. Setiap kenaikan Rp 1.000 di sektor ini akan berdampak Rp 1.924 secara total pada perekonomian. Sementara konten impor untuk sektor konstruksi dan real estat relatif rendah, masing-masing 9,8 persen dan 0,7 persen.
Akan tetapi, pertumbuhan sektor properti melambat sejak 2015. Pertumbuhan sektor properti selalu lebih rendah daripada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada 2018, pertumbuhan sektor properti 3,58 persen.
Kementerian Keuangan mencatat, rasio pajak untuk sektor real estat juga merosot sejak 2015. Penurunan rasio pajak ini akibat penurunan pajak penghasilan atau PPh yang turun 21,51 persen, pajak pertambahan nilai atau PPN dalam negeri yang turun 22,96 persen, dan pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM yang turun 57,23 persen.
Dengan dampak berganda yang ditimbulkan, pemerintah melihat sektor properti perlu diberi insentif fiskal. Segmen pasar yang diprioritaskan adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah membebaskan PPN, menyediakan dana subsidi selisih bunga dan subsidi bantuan uang muka, serta pembiayaan berupa dana bergulir berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Ada juga penyertaan modal negara di PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) dan menyuntikkan modal ke Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat.
Sementara, untuk hunian mewah, batasan harga yang dikenai PPh dan PPnBM dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Demikian pula tarif PPh Pasal 22 atas hunian mewah diturunkan dari 5 persen menjadi 1 persen.
Akan tetapi, persoalan properti bukan hanya fiskal dan perpajakan. Sektor properti terkait dengan tujuh faktor atau pilar, yakni pertanahan, infrastruktur, tata ruang, regulasi, perpajakan, perizinan, serta sistem perbankan dan keuangan.
Menurut Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI), pelambatan pertumbuhan sektor properti berdampak pada tingkat penjualan. Namun, kendati penjualan merosot, bukan berarti tidak ada yang membeli properti.
Sebelumnya, sektor properti didorong segmen menengah atas. Kini, sektor menengah bawah yang jadi pendorong. Kelompok masyarakat membeli hunian untuk dihuni sendiri, bukan sebagai investasi.
Hal itu tecermin dari pembiayaan perumahan yang habis terserap. Sampai dengan 12 November, Lembaga Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (LPDPP) telah menyalurkan dana bergulir bagi 70.082 unit rumah senilai Rp 6,77 triliun. Adapun untuk rumah komersial, harga rumah yang digemari pembeli akhir—atau yang membeli rumah untuh dihuni—di bawah Rp 1 miliar per unit atau di kisaran harga Rp 500 juta per unit.
Kebijakan relaksasi uang muka kredit pemilikan rumah yang berlaku mulai 2 Desember 2019, di satu sisi memberi ruang bagi pengembang untuk membuat strategi pemasaran. Aturan juga bisa dimanfaatkan bank. Namun, di sisi lain, bank mesti berhati-hati karena uang muka yang mengecil justru meningkatkan risiko pengelolaan kredit bagi bank.
Bagi kalangan pengembang perumahan, optimisme mewarnai sektor properti. Alasannya, tahun politik telah lewat. Selain itu, pengembang meyakini, siklus properti sudah berada pada titik terendah. Dengan demikian, momen berikutnya bisa diupayakan agar naik lagi. Saatnya kinerja sektor properti mendaki kurva.