Pemerintah berniat menghidupkan kembali KKR. KKR adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Agar ada legacy,”
Oleh
Budiman Tanuredjo
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis dan sukarelawan bergabung dalam aksi diam Kamisan ke-612 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Aksi Kamisan secara rutin menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Bersamaan dengan acara Kompas100 CEO Forum, Kamis, 28 November 2019, saya bertemu dengan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman. Fadjroel mengatakan, pemerintah berniat menghidupkan kembali KKR. KKR adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Agar ada legacy,” katanya.
Masalah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu menjadi beban sejarah. Presiden Joko Widodo mempunyai komitmen menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. Dalam dokumen Nawacita tertulis, ”Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Tanjung Priok dan Tragedi 65”. Konkret. Detail, kasus per kasus.
Janji itu belum diwujudkan. Sejumlah aktivis pejuang, misalnya Widji Thukul, masih hilang. Diculik entah oleh siapa, dan entah di mana. Itulah kekerasan berkelanjutan.
Presiden Jokowi mendapat mandat kedua kalinya bersama KH Ma’ruf Amin. Asa muncul saat membaca Kompas, 26 November 2019; ”Pemerintah berniat hidupkan UU KKR”. Wacana itu muncul dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD setelah ia bertemu dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Presiden Jokowi tidak mempunyai beban meninggalkan legacy bagi bangsa ini. Secara matematis politik dukungan koalisi pemerintah kuat. Apalagi setelah Jokowi bisa menarik Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Tap MPR Nomor V/MPR/2000 memerintahkan pembentukan KKR. Bangsa ini pernah punya Undang-Undang KKR, No 27/2004. Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan UU KKR. Pembentukan anggota KKR dilanjutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembentukan KKR lambat. Sebanyak 42 orang telah dipilih Panitia Seleksi untuk menjadi anggota KKR, seorang di antaranya adalah Fadjroel.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah polisi berjaga saat berlansung aksi diam Kamisan ke-612 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Aksi Kamisan secara rutin menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Presiden Yudhoyono tinggal memilih 21 nama dari 42 nama. Namun, sebelum Presiden Yudhoyono menetapkan 21 nama anggota KKR, Mahkamah Konstitusi lebih dahulu membatalkan UU KKR.
Fadjroel bereaksi keras.
”Selamat Datang Impunitas!”. Judul itu ditulis dalam artikelnya di Kompas, 9 Desember 2006. Fadjroel menulis demikian, ”Tamat sudah riwayat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Setelah tertunda di tangan Presiden Yudhoyono selama setahun lebih. MK pada Kamis 7 Desember 2006 mencabut nyawa UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR yang disahkan Presiden Megawati pada 6 Oktober 2004 sebelum sempat dibentuk, berfungsi, dan mencapai tujuannya. Sempurnalah impunitas total terhadap pelaku kejahatan hak asasi manusia berat dan kekalahan total bagi korban!”.
Kini, gagasan KKR dihidupkan. Fadjroel bisa berperan mendorongnya. Ada ruang dan peluang kontribusi aktivis. Bagi keluarga korban, kekerasan yang terjadi merupakan ”memoria passionis”, ingatan akan masa lalu yang hitam dan pedih, dan sulit dilupakan. Keluarga korban tidak pernah mendapat keadilan apa pun.
Mugiyanto, korban penculikan 1998, pernah menulis di Kompas. Mugiyanto mengutip Paimin, orangtua Suyat yang diculik di Solo, awal 1998, ”Karep kulo niku, yen ijih yo ning ngendi, yen wis mati, kuburane yo ing ngendi, ben ora semumpel ing ati” (Saya inginkan, kalau memang—anak saya—masih ada di mana, tetapi kalau sudah mati, kuburannya di mana. Biar tidak mengganjal di hati).
Tanpa ada penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, demokrasi akan sulit terkonsolidasi. Dan, gejala itu mulai tampak. Demokrasi dikeluhkan.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Masyarakat sipil mengecam keras keputusan Presiden Joko Widodo yang melibatkan terduga pelanggar HAM berat masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju, Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Lawrence Whitehead dalam buku Consolidation of Fragile Democracy menulis, ”Kalau kejahatan tak diselidiki dan pelakunya tak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran, tidak akan ada penanaman norma demokrasi dalam masyarakat pada umumnya, dan karena itu tidak terjadi konsolidasi demokrasi”. Konsolidasi demokrasi tidak selesai hanya dengan pemilu. Konsolidasi demokrasi menuntut prasyarat lain, di antaranya tegaknya rule of law.
Rule of law masih pekerjaan rumah. Inisiatif Mahfud layak diapresiasi. Meskipun, langkah itu tidak mudah karena elite terperangkap dalam apa yang ditulis Bertrand Russell, kejahatan diam (crime of silence).
Pelaku berkepentingan tindakannya dilupakan. Sementara, korban ingin kebenaran diungkapkan.
Kekuasaan terjebak entah di mana. Diam. Menarik pandangan Uskup Desmond Tutu, Ketua Komisi Kebenaran Afrika Selatan dalam buku No Future Without Forgiveness (1991). ”Rekonsiliasi sejati mengekspos kekejaman, kekerasan, kepedihan.... Ini berisiko meskipun pada akhirnya akan ada pemulihan nyata setelah menyelesaikan situasi sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan yang palsu.”
Ketika Afrika Selatan bisa berdamai dengan masa lalu, ketika Argentina bisa menyelesaikan isu pelanggaran HAM dengan dokumen Nunca Mas, Indonesia punya kearifan menyelesaikan beban masa lalu. Ungkap kebenaran, berikan keadilan kepada korban dan keluarganya!
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Wajah Prabowo Subianto dan Wiranto terpampang sebagai terduga pelanggarHAM berat dalam aksi kamisan, Kamis (24/10/2019) di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.