Diplomasi Ekonomi Dinilai Bisa Turut Jaga Perdamaian Dunia
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2019, Sabtu (30/11/2019), di Jakarta. Konferensi ini digagas oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI).
JAKARTA, KOMPAS — Diplomasi ekonomi sebagai salah satu prioritas kebijakan politik luar negeri Indonesia dinilai bisa turut menurunkan tensi perdamaian dunia yang tak stabil. Namun, Indonesia tidak dapat bekerja sendiri. Semua negara harus berkomitmen untuk mewujudkan stabilitas dan perdamaian.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Sabtu (30/11/2019), di Jakarta, menyatakan, hampir semua negara menjadikan diplomasi ekonomi salah satu prioritas kebijakan politik luar negeri, tak terkecuali Indonesia. Hal ini tak terlepas dari kekhawatiran atas tren penurunan ekonomi dunia.
”Kita kadang-kadang tidak sadar bahwa melakukan kerja sama ekonomi dengan baik dan saling terkait satu sama lain, tanpa disadari juga dapat mereduksi munculnya fenomena hot piece, dapat lebih mendinginkan suasana,” katanya saat menghadiri Konferensi Kebijakan Luar Negeri 2019 dengan tema ”Cooling Off the Hot Peace: Strategic Opportunities and Economic Remedies for a Distressful World”.
Dalam kegiatan yang digagas oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) itu, Retno menekankan bahwa diplomasi ekonomi tak terlepaskan dari perdamaian dan stabilitas. Oleh sebab itu, semua negara harus berjibaku untuk mewujudkan hal itu di tengah ketidakpastian global. ”Indonesia tak bisa sendirian dalam hal ini. Kita memerlukan banyak teman,” katanya.
Di pertemuan para menteri luar negeri anggota G-20 beberapa waktu lalu, Retno memperjuangkan diplomasi ekonomi Indonesia mengenai kemitraan di Afrika dan perluasan sawit di luar negeri. Bentuk kerja sama yang harus dikembangkan dengan Afrika adalah kemitraan saling menguntungkan dan komitmen untuk tumbuh bersama dengan negara kawasan itu (Kompas, 24/11/2019).
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Sabtu (30/11/2019), saat berpidato di Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2019.
Retno melanjutkan, di tengah ketidakpastian global, muncul antusiasme terhadap negara-negara ASEAN dari negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan. ”Saat berinteraksi dengan pihak sektor swasta Korea Selatan, misalnya, ASEAN dianggap sebagai negara yang stabil dan pertumbuhan ekonominya lebih baik,” katanya.
Terlebih lagi, katanya, Indonesia juga diprediksi sebagai negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia tahun 2030. Dari daftar lima negara dengan ekonomi terbesar, menurut survei yang dirilis Standard Chartered tersebut, hanya Amerika Serikat yang masuk kategori negara maju. Sementara China, India, Turki, dan Indonesia berkategori negara berkembang.
”Ke depan, peran negara berkembang diharap akan lebih besar. Terus diingatkan, siapa pun yang memiliki peran lebih banyak dan besar ke depan, seharusnya tetap berkomitmen terhadap demokrasi, menghormati hak asasi manusia, dan menghormati hukum internasional. Kalau tidak dilakukan, khawatir yang besar itu akan menjadi ancaman,” katanya.
Pendiri FPCI, Dino Patti Djalal, menambahkan, fenomena hot piece adalah situasi di mana tak ada perang dingin sekaligus juga tidak ada perdamaian yang betul-betul murni. ”Ada persaingan geostrategis antara AS dan China. AS dan Rusia, Rusia dan Eropa, China dan Jepang, dan sebagainya,” katanya.
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan pendiri Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, Sabtu (30/11/2019), dalam acara Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2019.
Hal ini, katanya, memicu rasa tidak aman akibat perbedaan di antara kekuatan utama. ”Sedikit kerja sama dan lebih banyak ketegangan. Ada lebih banyak perang proksi dan konflik proksi yang kita lihat di seluruh dunia,” katanya.
Kendati demikian, negara seperti Indonesia memiliki pengaruh lebih besar dari yang sebelumnya. ”Tetapi kali ini, Jepang, AS China, Rusia, dan Eropa, semua ingin menjadi teman kita. Benar. Dan ini sebuah peluang,” katanya.