Bagaimana Dampak Brexit bagi Perdagangan Inggris?
Persoalan besar di bidang ekonomi berpotensi muncul ketika Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa. Terlebih, negara-negara yang tergabung dalam UE merupakan tujuan ekspor dan asal impor dagang terbesar Inggris.
Janji kesejahteraan ekonomi menjadi salah satu kunci kemenangan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) pada 2016. Namun, diproyeksikan apa pun skenario Brexit yang akan terlaksana, risiko pelemahan ekonomi Inggris akan lebih besar daripada saat masih bergabung dengan Uni Eropa. Sektor perdagangan menjadi bagian yang paling terdampak.
Salah satu poin penting kemenangan kelompok pendukung Brexit pada 2016 adalah janji kesejahteraan ekonomi. Kampanye yang didengungkan adalah dengan keluar dari Uni Eropa (UE), Inggris tidak perlu membayar uang iuran sebesar 350 juta poundsterling per minggu ke UE.
Walaupun klaim tersebut keliru, banyak pemilih Brexit telanjur terbuai dengan janji pengalihan uang iuran tersebut untuk dana Jaminan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris. Janji manis tersebut menutupi persoalan besar di bidang ekonomi ketika Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa. Terlebih, negara-negara yang tergabung dalam UE merupakan tujuan ekspor dan asal impor dagang terbesar Inggris.
Inggris merupakan salah satu negara yang memiliki perdagangan strategis dengan Uni Eropa. Dengan nilai produk domestik bruto (PDB) sebesar 2.419,18 miliar euro pada 2018, kontribusi PDB Inggris ke Uni Eropa sebesar 15,2 persen. Nilai ini menempatkan Inggris di posisi kedua dalam kontribusinya pada ekonomi kawasan setelah Jerman.
Data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) 2017 juga mencatat besarnya perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa. Sebesar 47,7 persen tujuan ekspor Inggris adalah Uni Eropa. Hal yang sama terjadi pada impor. Barang impor yang masuk ke Inggris tahun 2017, sebesar 53,1 persen, berasal dari Uni Eropa.
Jika ditelusuri lebih dalam, empat dari lima negara tujuan ekspor Inggris adalah Jerman, Perancis, Belanda, dan Irlandia. Keempatnya tidak lain adalah anggota Uni Eropa. Kontribusi dari keempat negara tersebut hampir sepertiga (29,36 persen) dari total ekspor Inggris, sebesar 129,78 miliar dolar AS.
Tidak jauh berbeda dengan negara tujuan ekspor, tiga dari lima besar negara asal barang impor di Inggris adalah Jerman, Belanda, dan Perancis. Mencermati nilai kontribusi PDB dan volume perdagangan, menjadi gambaran bahwa Uni Eropa adalah mitra dagang utama bagi Inggris.
Terganggu
Tidak heran jika perundingan Brexit yang sudah digaungkan sejak tiga tahun silam potensial berdampak bagi menurunnya kinerja perdagangan bagi Inggris dan negara anggota Uni Eropa lainnya. Perdagangan yang terhambat berujung pada menurunnya kinerja perekonomian negara.
Jika perdagangan terhambat, baik ekspor maupun impor, kelangsungan suatu negara menjadi terganggu. Hal ini bisa terjadi pada Inggris dan negara anggota Uni Eropa lainnya mengingat peta dagang yang menunjukkan besarnya perdagangan Inggris dengan Uni Eropa.
Dilihat dari sisi Inggris, persoalan perdagangan menjadi layak untuk dinegosiasikan karena kontribusi perdagangan Inggris pada PDB tergolong tinggi. Tahun 2017, hampir dua per tiga PDB di Inggris disumbang oleh perdagangan internasional.
Barang yang masuk dan keluar dari Inggris akan dikenai tarif yang ditetapkan oleh ketentuan WTO
Tak hanya itu, kinerja perdagangan internasional di Inggris menunjukkan tren positif sejak 2014. Bahkan, selama seperempat abad sejak 1993, rata-rata kontribusi perdagangan Inggris terhadap PDB 54 persen.
Selain potensial memengaruhi PDB, Brexit diproyeksikan menurunkan pendapatan per kapita Inggris. Demikian hasil modeling terkini terhadap berbagai skenario Brexit yang dilakukan oleh Center for Economic Performance (CEP) London School of Economics and Political Science (LSE).
Besaran penurunan yang mungkin terjadi rata-rata sebesar 800 poundsterling setiap tahun dalam skenario Perjanjian Boris Johnson. Nilai tersebut bisa menjadi lebih tinggi jika perundingan berujung pada No-deal skenario, yakni rata-rata 1.000 poundsterling setiap tahun.
Skenario perdagangan
Sebagai sektor penyumbang PDB tertinggi, gangguan perdagangan Inggris sama dengan pelemahan terhadap PDB Inggris. Brexit memunculkan potensi gangguan perdagangan bagi Inggris mengingat Inggris akan keluar dari peraturan perdagangan Uni Eropa.
Identifikasi potensi hambatan perdagangan ini diperparah dengan ketidakjelasan perjanjian Brexit yang berimplikasi pula pada ketidakjelasan peraturan perdagangan yang akan berlaku antara Inggris, Uni Eropa, dan pihak ketiga lainnya.
Hingga saat ini, memang belum ada kejelasan terkait dengan kebijakan tarif perdagangan yang akan digunakan oleh pihak Inggris. Namun, tiga skenario mencuat terkait dengan hal ini. Skenario pertama ialah kebijakan tarif perdagangan yang telah dimasukkan ke dalam proporsal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May pada Maret 2019.
Menurut proposal tersebut, 88 persen dari barang yang diekspor dan diimpor oleh Inggris akan dikenai tarif. Jika dirata-rata, tarif yang akan dikenakan kepada produk impor ke Inggris sebesar 4,3 persen.
Skenario kedua yang mungkin terjadi ialah skenario di bawah proposal Perdana Menteri Boris Johnson, pengganti May. Berbeda dengan rencana sebelumnya, proposal Boris Johnson tidak akan mengenakan tarif impor ke barang-barang yang masuk ke Inggris.
Tidak hanya itu, keleluasaan barang masuk ke Inggris juga diperkuat dengan strategi ”double customs plan”. Strategi tersebut menegaskan bahwa Irlandia Utara masih menggunakan peraturan tarif perdagangan Uni Eropa. Dengan demikian, walau mengambil rute sedikit memutar, barang-barang bisa bebas masuk ke Inggris melalui pintu di Irlandia Utara.
Tarif impor
Skenario terakhir ialah kembalinya rezim tarif perdagangan Inggris ke peraturan Most Favoured Nation yang dijalankan WTO jika No-Deal Brexit terjadi. Di bawah peraturan ini, barang yang masuk dan keluar dari Inggris akan dikenai tarif yang ditetapkan oleh ketentuan WTO. Skenario inilah yang paling ditakutkan oleh para pelaku bisnis di Inggris.
Ketakutan para pelaku industri di Inggris ini karena banyaknya sektor industri yang akan terdampak. Sektor yang diprediksi paling terpukul oleh skenario Hard Brexit adalah sektor otomotif. Jika kembali ke skenario WTO, barang barang yang tergolong dalam sektor ini akan dikenai tarif dengan rerata 8,8 persen dengan nilai impor 6,4 miliar dollar AS pada 2017.
Selain otomotif, sektor yang juga akan merasakan kenaikan tarif impor di Inggris ialah sektor agrikultur. Beberapa barang yang termasuk ke dalam sektor ini bahkan dikenai tarif hingga dua digit, seperti sayur-sayuran dengan tarif impor 15,8 persen, kentang dengan tarif impor 16 persen, dan produk daging olahan sebesar 11,6 persen.
Sebesar 47,7 persen tujuan ekspor Inggris adalah Uni Eropa.
Ketiga skenario tersebut datang bersama dengan pro dan kontra. Skenario pertama dan ketiga secara berpotensi untuk membuat ekonomi Inggris akan melambat. Walaupun ada suara yang mendukung langkah ini, terutama dengan asumsi bahwa ekspor Inggris akan terdorong dari melemahnya nilai poundsterling, ekspor Inggris diprediksi tetap tidak dapat terdongkrak akibat tingginya tarif yang akan dikenai kepada berbagai produk.
Sementara skenario perdagangan yang lebih bebas pun menuai pertentangan. Walaupun diprediksi akan lebih tidak berdampak negatif terhadap perekonomian Inggris, skenario ini banyak ditentang oleh pemain industri.
Para pebisnis khawatir jika Inggris tidak mengenakan tarif kepada barang-barang impor, produk dalam negeri akan kalah bersaing. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa produk ekspor dari Inggris tidak dikenai bea masuk oleh negara importir, terutama negara negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Inggris.
Dampak global
Tidak hanya berdampak terhadap Eropa, Brexit juga memengaruhi perekonomian dunia. Salah satu cara untuk menakar dampak dari Brexit di tingkat global adalah dengan melihat kontribusi Inggris ke rantai nilai global (global value chain/GVC). Secara lebih spesifik, hal ini dapat diketahui melalui rasio perdagangan bruto relatif terhadap nilai tambah Inggris.
Menurut laporan dari perusahaan konsultan Pricewaterhouse Cooper (PwC) pada 2016, Inggris berkontribusi sebesar 41 persen terhadap GVC dunia, jauh meninggalkan Amerika Serikat di angka 12 persen.
Kontribusi Inggris terkonsentrasi di beberapa sektor, seperti layanan keuangan dan industri jasa profesional, ekspor produk pertambangan dan kimia, transportasi, telekomunikasi, serta sektor retail.
Selain itu, walaupun tidak separah negara mitra dagang strategis Inggris, Indonesia juga tidak akan luput dari efek domino Brexit. Walaupun selalu positif, neraca perdagangan Indonesia dengan Inggris sepanjang 2014-2018 mengalami penurunan.
Pada 2014, Indonesia berhasil mengantongi selisih 763,85 juta dollar AS dari perdagangan dengan Inggris. Angka ini menurun hingga lebih dari 25 persen pada 2018 dengan nominal 252,74 juta dollar AS.
Penurunan paling tajam terjadi pada 2017, tak sampai setahun setelah referendum Brexit. Di tahun ini, selisih ekspor dan impor perdagangan Indonesia dengan Inggris turun dari 696,54 juta dollar AS menjadi 356,48 juta dollar AS. Karena berdekatan dengan lingkaran waktu Brexit, turunnya perdagangan Indonesia dan Inggris bisa jadi merupakan dampak dari Brexit.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa masih menyisakan polemik perundingan akhir di antara kedua pihak. Bagi ekonomi Inggris, semua skenario Brexit diproyeksikan berimbas negatif dibandingkan dengan saat Inggris berada di UE.
Bagi dunia, termasuk Indonesia, dampak Brexit tidak dapat dipandang sebelah mata mengingat strategisnya perdagangan Inggris di Uni Eropa dan dunia. Mitigasi perdagangan internasional penting dilakukan, sejalan dengan melemahnya perekonomian Inggris. Bukan tidak mungkin, perdagangan Indonesia dengan Inggris dapat semakin terganggu. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)