Wacana elite untuk mengubah sistem pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung bukanlah solusi. Hal ini justru menjadi alarm bahaya kemunduran demokrasi.
Oleh
Agnes Theodora / Rini Kustiasih / Suhartono
·4 menit baca
Selama 15 tahun, masyarakat Indonesia menikmati buah manis reformasi untuk memilih secara langsung presiden, wakil presiden, dan kepala daerahnya. Hak itu kini terancam melalui wacana yang mengemuka untuk mengubah sistem pemilihan menjadi tidak langsung. Sebuah alarm langkah mundur demokrasi.
Sejak pertama kali diusulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) secara terbuka dalam kongres di Bali, Agustus 2019, wacana amendemen UUD 1945 kini bergulir bak bola yang tak tentu arah.
Amendemen yang awalnya sebatas menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara untuk menjaga kesinambungan program pembangunan nasional, kini melebar. Hal itu mulai dari usulan memperpanjang masa jabatan presiden-wapres sampai usulan mengganti sistem pemilihan presiden-wapres menjadi tidak langsung.
Wacana terbaru agar pemilihan presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu mengemuka setelah pertemuan pimpinan MPR dengan jajaran pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rabu (27/11/2019), di Jakarta.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj merujuk pada rekomendasi Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Ulama NU, tahun 2012, yang antara lain menyebutkan perlunya pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengingat dampak buruk pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih besar daripada manfaatnya.
Pernyataan serupa ditujukan Said terkait wacana pilpres tidak langsung, yang diusulkan kepada pimpinan MPR.
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan, usulan itu merupakan evaluasi reflektif Said atas penyelenggaraan Pilpres 2019 yang menimbulkan ketegangan sosial. Selain ongkos sosial yang mahal, di sisi lain, pemilihan langsung juga dinilai memakan biaya operasional yang terlalu mahal.
”Seandainya pilpres dilakukan melalui lembaga perwakilan atau musyawarah mufakat, bukankah itu juga proses demokrasi?” katanya.
Berulang kali muncul
Sejak Indonesia pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum langsung pada 2004 dan pilkada langsung pada 2005, wacana mengembalikan sistem pemilihan menjadi tidak langsung beberapa kali muncul.
Pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Fraksi Partai Demokrat sebagai pengusung utama pemerintah di DPR juga mendorong kembalinya pilkada oleh DPRD.
Kini, seolah mengulang pola yang hampir serupa, usulan yang sama juga muncul di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian seusai rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, 6 November 2019, mengatakan, perlu ada evaluasi dan kajian terhadap sistem pilkada langsung.
Ia berpandangan, sistem pilkada secara langsung bermanfaat untuk meningkatkan partisipasi publik dalam demokrasi, tetapi di sisi lain juga memiliki sisi negatif dari segi biaya yang terlalu mahal.
Berbagai wacana terkait sistem pemilu dan pilkada tidak langsung itu masih dikaji oleh MPR, DPR, serta pemerintah. Pandangan fraksi-fraksi pun masih berbeda. Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, solusi persoalan politik berbiaya tinggi dan keterbelahan sosial saat pemilu bukanlah merombak sistem pemilu.
DPR dan pemerintah cukup mengevaluasi UU Pemilu dan UU Pilkada. Misalnya, masa kampanye dipersingkat agar kontestasi tak berlama- lama dan menciptakan pembelahan yang luas. Selain itu, mempertegas aturan pendanaan kampanye dan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik-praktik politik uang.
Demokrat yang kini menjadi partai nonpemerintah berpandangan, wacana pemilu tidak langsung membuka lebar ruang tumbuh suburnya oligarki dalam sistem demokrasi. Pemerintahan dan sistem demokrasi yang dikontrol para oligark dapat dipastikan akan mengabaikan kebutuhan serta kepentingan rakyat.
Lepas dari sikap sejumlah fraksi partai pendukung pemerintah, Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, mengatakan, Presiden telah menegaskan tidak setuju dengan perubahan sistem pemilihan menjadi tidak langsung melalui MPR dan tetap menegaskan bahwa pemilihan presiden tetap dilakukan secara langsung.
”Saya ini produk pilihan langsung dari rakyat. Masa saya mendukung pemilihan presiden oleh MPR?” demikian pernyataan Presiden yang dikutip Fadjroel dalam keterangan tertulis dari Istana.
Bukan solusi
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhani, mengatakan, berbagai kajian terkait demokrasi di sejumlah negara menunjukkan, persoalan mendasar dari biaya politik yang tinggi, politik uang, serta pembelahan di masyarakat bukan terletak pada sistem pemilihan. Pokok masalahnya, menurut dia, ada pada perilaku elite sebagai peserta pemilu dan pilkada.
Keputusan untuk memakai politik uang demi memenangi kontestasi pemilu ada di tangan elite. Elite juga yang memakai isu politik identitas untuk mendongkrak elektabilitasnya dan pada akhirnya mempertajam keterbelahan di akar rumput.
”Jadi, jika masalahnya ada di perilaku koruptif elite politik, kenapa hak warga negara untuk menentukan pilihan politiknya yang harus diberangus?” kata Fadli.