Wakil Presiden Ma’ruf Amin meyakini, penerbitan SKB tentang Penanganan Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara tak akan memberangus kebebasan berpikir ASN.
Oleh
Nina Susilo / Muhammad Ikhsan Mahar / Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penerbitan Surat Keputusan Bersama 11 menteri dan kepala lembaga negara tentang Penanganan Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara diyakini tidak akan memberangus kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan ASN dalam tataran akademik.
Keyakinan itu diungkapkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kepada pers di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Menurut Wapres, radikalisme berawal dari pikiran. Namun, saat pikiran ini mewujud sebagai sikap dan tindakan, apalagi ditindaklanjuti dalam gerakan kekerasan dan kebencian, maka akan mengusik keamanan dan menjadi masalah bagi masyarakat umum.
“Ketika sudah menjadi tindakan, apalagi gerakan yang bisa menimbulkan masalah, saya kira menjadi radikalisme. Maka, itu perlu diwaspadai, dan diantisipasi,” tutur Wapres Amin.
Selain membentuk tim satuan tugas menangani potensi radikalisme di kalangan ASN, melalui SKB yang belum lama ditandatangani oleh 11 menteri dan kepala lembaga negara itu, akan dibuka akun pelaporan bernama aduanasn.id. Ada 10 jenis pelanggaran yang bisa dilaporkan melalui portal tersebut. Namun, pelaporan melalui lewat portal tersebut dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan berpendapat para ASN yang ingin mengkritisi kementerian maupun lembaganya. (Kompas, 25/11/2019)
Adapun pelanggaran yang disebutkan dalam SKB tersebut, antara lain terkait ujaran kebencian kepada Pancasila, Bineka Tunggal Ika, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah, ujaran atau gambar berisi kebencian yang berkaitan dengan suku agama dan ras, bahkan tanggapan dan dukungan pada pesan bermuatan hal-hal tersebut di media sosial.
Menurut Wapres, ASN yang terbukti radikal, bisa diikutkan pada program deradikalisasi yang sudah ada. Dengan cara ini, diharapkan, cara berpikir yang tidak tepat dalam sistem kenegaraan dan kebangsaan Indonesia bisa diluruskan kembali melalui program deradikalisi itu.
"Homeschooling" Rentan
Sementara itu, dari penelitian kualitatif “Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan”, yang disampaikan oleh peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Arief Subhan, terungkap bahwa jalur pendidikan homeschooling atau sekolahrumah berbasis keagamaan cenderung lebih rentan menjadi alat penyebaran intoleransi dan radikalisme.
Terkait hal itu, regulasi terkait penertiban sekolahrumah perlu diperkuat agar pendidikan informal dapat menghasilkan generasi masa depan memiliki pemahaman kebangsaan yang baik.
Menurut Arief, dari penelitiannya di 56 sekolahrumah di enam wilayah, yaitu Jakarta dan sekitarnya, Bandung (Jawa Barat), Solo (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Padang (Sumatera Barat) terdapat tiga tipologi sekolahrumah. Selain sekolahrumah umum, dua tipologi lainnya adalah sekolahrumah berbasis agama Islam, serta sekolahrumah berbasis agama non-Islam.
Di sekolahrumah berbasis umum atau non-keagamaan, tambah Arief, punya ketahanan yang lebih baik dari paparan ideologi radikal. Ini karena sekolahrumah umum mendorong penghargaan pada keragaman serta tidak bias gender. Temuan serupa juga ditemukan di sekolah rumah berbasis agama, terutama agama Islam yang kedepankan pendekatan salafi-inklusif. Adapun salafi ialah gerakan permurnian tauhid untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dari ajaran Nabi Muhammad.
“Pada sekolahrumah Islam salafi-inklusif, peserta didik diajarkan keragaman Indonesia dan belajar dengan kelompok masyarakat lain,” ujar Arief.
Ida Nuraini Noviyanti, penggagas Homeschooling Muslim Indonesia, mengatakan, kelompok sekolahrumah Islam berbasis salafi-eksklusif jumlahnya ledikit sedikit dibanding sekolahrumah Islam yang insklusif.