Tren Pelambatan Berlanjut, Kredit Hanya Tumbuh 6,6 Persen dan DPK 5,9 Persen
Kredit dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan pada Oktober 2019 tumbuh melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kredit hanya tumbuh 6,6 persen dan DPK 5,9 persen.
Oleh
Hendriyo Widi/Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kredit dan dana pihak ketiga perbankan pada Oktober 2019 tumbuh melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kredit hanya tumbuh 6,6 persen dan dana pihak ketiga (DPK) 5,9 persen.
Dalam laporan Uang Beredar (M2) dan Faktor yang Memengaruhi pada Oktober 2019, Jumat (29/11/2019), Bank Indonesia (BI) menyebutkan, tren pelambatan kredit sejak Oktober 2018 masih berlanjut pada Oktober 2019.
Penyaluran kredit pada Oktober 2019 sebesar Rp 5.531,4 triliun atau tumbuh 6,6 persen, lebih lambat dari September 2019 yang tumbuh 8 persen. Pertumbuhan kredit itu merupakan pertumbuhan kredit terendah pada Oktober selama lima tahun terakhir.
Pelambatan pertumbuhan kredit terjadi pada debitor korporasi dan perorangan. Kredit kepada korporasi pada Oktober 2019 tumbuh 6,1 persen, lebih rendah daripada September 2010 yang 8,1 persen. Adapun kredit kepada perorangan yang pada September 2019 tumbuh 8,9 persen, pada Oktober 2019 tumbuh 8,4 persen.
Pelambatan pertumbuhan kredit itu terjadi pada seluruh jenis penggunaan. Kredit modal kerja (KMK) melambat dari 6,1 persen pada September 2019 menjadi 4,1 persen pada Oktober 2019. KMK sektor industri pengolahan tumbuh paling rendah, yaitu 3,8 persen dari sebelumnya 7,2 persen.
Kredit investasi juga melambat dari 13 persen pada September 2019 menjadi 11,4 persen pada Oktober 2019. Pelambatan pertumbuhan ini terutama berasal dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan.
”Kredit sektor tersebut hanya tumbuh 6,1 persen dari sebelumnya yang sebesar 8,4 persen. Hal ini terjadi karena ada pelambatan kredit subsektor perkebunan kelapa sawit di wilayah Jambi dan Kalimantan Tengah,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam siaran pers.
Adapun kredit konsumsi sedikit melambat dari 6,9 persen pada September 2019 menjadi 6,5 persen pada Oktober 2019. Kredit properti juga melambat dari 15,3 persen menjadi 12,6 persen. Hanya kredit kendaraan bermotor yang pertumbuhannya meningkat, yaitu dari 1 persen menjadi 1,6 persen.
Tidak hanya kredit, DPK perbankan pada Oktober 2019 juga melambat. BI mencatat, DPK pada Oktober 2019 sebesar Rp 5.704,1 triliun atau tumbuh 5,9 persen, lebih rendah daripada September 2019 yang tumbuh 7,1 persen.
Saat membuka Pertemuan Tahunan BI, Kamis (28/11/2019) malam, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, dari sisi kebijakan moneter sejak Juli 2019, BI telah menurunkan suku bunga empat kali sebesar 100 basis poin menjadi 5 persen.
Adapun giro wajib minimum (GWM) juga diturunkan dua kali sebesar 100 basis poin menjadi 5,5 persen. Operasi moneter memastikan kecukupan likuiditas. Stabilisasi nilai tukar sesuai dengan mekanisme pasar.
”Sikap moneter BI sudah sangat akomodatif, tapi penurunan suku bunga kredit masih terbatas. Kami berharap perbankan cepat menurunkan suku bunga dan mendorong kredit,” kata Perry
Untuk mendorong performa perbankan dalam penyaluran kredit, BI telah melakukan sejumlah pelonggaran makroprudensial, di antaranya penurunan rasio uang muka untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Rasio loan to value (LTV) untuk pembiayaan properti dilonggarkan hingga 5 persen. Adapun rasio financing to value (FTV) untuk uang muka kendaraan bermotor berada pada kisaran 5-10 persen.
”Ke depan kami akan mencermati perkembangan ekonomi domestik dan global dengan memanfaatkan masih terbukanya ruang kebijakan moneter yang akomodatif,” ujar Perry.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja berharap kebijakan makroprudensial BI dapat semakin tepat sasaran. Dia menilai kebijakan pelonggaran LTV tidak bisa diterapkan di seluruh bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR).
”Semakin ringan LTV, maka risikonya makin besar karena kalau membeli rumah uang mukanya kecil tentu risiko akan lebih besar bagi bank besar,” ujarnya.
Meski begitu, Jahja tetap mendukung kebijakan pelonggaran LTV karena menurut dia relaksasi ini turut membantu perbankan dalam membuka akses penyaluran kredit.