Skema biaya penggunaan jalan berbayar atau ERP disesuaikan dengan tingkat kemacetan. Semakin parah tingkat kemacetan lalu lintas di ruas jalan, semakin besar biaya yang harus ditanggung warga.
Oleh
STEFANUS ATO/WISNU WARDHANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan jalan berbayar atau ERP di wilayah Jabodetabek akan diberlakukan pada 2020. Tarif yang dibebankan kepada pengguna jalan menyesuaikan dengan tingkat kemacetan di ruas jalan itu. Semakin macet suatu koridor jalan ERP, biaya bagi pengguna kendaraan yang melintas akan semakin mahal.
”Jadi, skema pembiayaannya itu saat koridor yang diterapkan ERP terjadi kemacetan, biayanya semakin tinggi. Saat kemacetan berkurang, tarifnya juga dengan sendiri akan berkurang,” kata Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo, Jumat (29/11/2019), di Jakarta.
Budi menjelaskan, penerapan kebijakan ERP mendesak dilakukan karena pergerakan manusia di Jabodetabek kian meningkat. Pada 2015, pergerakan manusia di Jabodetabek tercatat masih sekitar 47,5 juta per hari hari. Pergerakan itu meningkat drastis pada 2018 menjadi 88 juta per hari. Dari jumlah itu hanya sekitar 8 persen yang menggunakan angkutan umum.
Prinsip keadilan
Budi mengatakan, warga tidak perlu khawatir dengan pemberlakuan ERP karena akan didahului dengan sosialisasi dan uji coba. ERP juga akan berpihak kepada kepentingan warga.
”Hasil dari penerapan ERP masuk dalam pendapatan negara bukan pajak. Jadi, pendapatan itu juga dipakai untuk meningkatkan fasilitas angkutan massal, termasuk subsidi agar tarif angkutan umum makin murah. Ini yang kami sebut prinsip berkeadilan,” kata Budi.
Kebijakan ERP merupakan langkah lanjutan dari penerapan kebijakan ganjil genap karena kebijakan itu tidak mungkin selamanya efektif menekan peningkatan pengguna kendaraan pribadi. Namun, rencana penerapan ERP masih terus dikaji dari segi pembiayaan, kelembagaan, hukum, dan teknis.
BPJT menargetkan penerapan ERP efektif berlaku pada 2020. Kendati demikian, penerapannya bergantung pada pembahasan berbagai skema pendukung yang sampai saat ini masih dibahas.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono menambahkan, salah satu skema yang belum menemukan solusi adalah payung hukum yang sesuai untuk penerapan ERP di jalan nasional. Sebab, berbeda dengan wilayah lain, DKI Jakarta berwenang mengurus jalan nasional di wilayahnya.
”Kami terus berupaya untuk memecahkan masalah menyangkut skema hukum ini dan secara paralel kami juga membahas skema-skema lain, seperti skema pembiayaan, skema teknis, ataupun skema kelembagaan. Dengan demikian, jika nanti skema hukum terpecahkan, sudah tersusun formula kebijakan yang siap diimplementasikan,” tutur Bambang.
Nurul (35), warga Bekasi yang sering menggunakan kendaraan pribadi, mendukung kebijakan ERP agar diterapkan di Jalan Kalimalang. Sebab, dia menilai mobilitas lalu lintas dari Jakarta ke Bekasi atau sebaliknya sudah tergolong parah di saat jam sibuk. ”Namun, transportasi massal harus diperbaiki. Misalnya, Stasiun Bekasi itu harus juga diperluas dan bus Transjabodetabek harusnya lebih lancar karena kalau ikutan macet, ya, sama saja,” ujarnya.
Pemda mendukung
Rencana penerapan ERP ini didukung sepenuhnya sejumlah pemerintah daerah yang kemungkinan ruas jalannya terkena kebijakan tersebut. Jalan-jalan yang akan terkena kebijakan itu, antara lain, adalah Jalan Kalimalang (Kota Bekasi), Jalan Margonda (Depok), dan Jalan Daan Mogot (Tangerang).
Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Bekasi Johan Budi Gunawan mengatakan, Pemkot Bekasi mendukung program ERP karena sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Namun, Bekasi menunggu empat skema yang sedang dikaji BPTJ agar tidak ada tumpang tindih kebijakan dengan ruas jalan di DKI Jakarta.
”Empat skema itu, kalau sudah selesai, kami dukung. Saya yakin masyarakat mendukung asalkan infrastruktur angkutan massal sudah memadai,” kata Johan. Ia mengakui, ketersediaan fasilitas angkutan massal di Kota Bekasi sejauh ini belum siap untuk ERP diterapkan. ”Di Kalimalang itu belum ada fasilitas angkutan massal. Itu dulu yang harus dibenahi,” kata Johan.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Tangerang Wahyudi Iskandar mengatakan, perlu waktu untuk sosialisasi sebelum berlakunya sistem ERP. Tujuannya agar kebijakan ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurai kemacetan di Jakarta dan wilayah sekitarnya.
Wahyudi menjelaskan, Pemkot Tangerang berharap ada tambahan transportasi massal dari Jakarta ke Tangerang. Sebab, ketersediaan transportasi massal penghubung dua wilayah itu belum memadai.