Tahun ini, berbagai riset dari dalam dan luar negeri memberi rapor kurang menggembirakan terkait kemerdekaan pers di Indonesia. Kebebasan pers harus dipelihara agar bangsa ini tak jatuh kembali ke masa otoritarianisme.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Tahun ini, berbagai riset baik dari dalam maupun luar negeri memberikan rapor kurang menggembirakan terkait kemerdekaan pers di Indonesia. Awal bulan ini, Dewan Pers merilis bahwa Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia hanya bergeser sedikit dari agak bebas menjadi cukup bebas. Sementara itu, Riset Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 pada 23 November 2019, menyebutkan kondisi kemerdekaan pers Indonesia stagnan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan situasi kemerdekaan pers di Indonesia ”berjalan di tempat” atau lamban (kalau tidak ingin disebut tak berkembang). Menurut Dewan Pers, setidaknya ada empat variabel yang mesti segera diperbaiki untuk menaikkan kemerdekaan pers, yaitu memastikan perlindungan terhadap difabel, perbaikan tata kelola perusahaan, independensi dari kelompok kepentingan, dan kesetaraan kelompok rentan.
”Saudara-saudara difabel memiliki hak atas informasi yang sama dengan masyarakat lain. Sayangnya, media kurang memberikan akses. Selain itu, porsi pemberitaan yang berpihak kepada difabel masih amat kurang,” kata Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun, Kamis (28/11/2019), di Jakarta.
Saudara-saudara difabel memiliki hak atas informasi yang sama dengan masyarakat lain. Sayangnya, media kurang memberikan akses.
Persoalan dalam hal kesetaraan terhadap kelompok rentan juga muncul dalam Indeks Kemerdekaan Pers 2019. Kesetaraan yang dimaksud di sini, yakni bagaimana media memberikan keberpihakan terhadap kelompok-kelompok minoritas, masyarakat adat, dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan, bukan hanya dalam hal pemberitaan, melainkan juga pemberdayaan.
Kondisi serupa juga terungkap dalam Riset Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 yang mencatat kemerdekaan pers Indonesia stagnan karena persoalan kepemilikan media, kurangnya penegakan etika jurnalistik dan profesionalitas jurnalisme, masalah kebijakan pemerintah dan legislasi, serta intervensi aktor politik dan negara terhadap kebebasan media.
Bertepatan dengan peringatan Hari Internasional Anti-impunitas terhadap Kasus Kekerasan pada Jurnalis, 2 November 2019, Komite Keselamatan Jurnalis mendorong semua pihak memberikan perhatian serius terhadap kasus kekerasan pada jurnalis atau pers. Melawan kekerasan pada pers merupakan salah satu cara menjaga kebebasan pers. KKJ juga mendesak negara, terutama aparat penegakan hukum, untuk mengusut kasus-kasus kekerasan yang dialami jurnalis tanpa pandang bulu siapa pelakunya.
Dalam 10 tahun terakhir memang tidak terjadi kasus pembunuhan terhadap jurnalis karena pemberitaan. Meski demikian, potensi ketidaksukaan pihak tertentu terhadap kebebasan pers masih ada. Sikap itu diekspresikan melalui pemidanaan, ancaman digital, seperti doxing (membongkar identitas secara anonim di media sosial), serta ancaman lain lewat aneka platform di internet.
”Jurnalis sangat rentan terhadap ancaman-ancaman seperti ini. Hal ini tidak boleh dipandang remeh, praktik-praktik pembiaran terhadap kasus kekerasan jurnalis akan menjadi preseden buruk serta ancaman bagi pers,” kata Koordinator KKJ Sasmito Madrim.
Jurnalis sangat rentan terhadap ancaman seperti ini. Hal ini tidak boleh dipandang remeh, praktik pembiaran pada kasus kekerasan jurnalis akan menjadi preseden buruk serta ancaman bagi pers.
Selain kekerasan fisik, bentuk ancaman lain yang dialami jurnalis di Indonesia adalah doxing atau pelacakan serta pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai dengan aspirasi pelaku kekerasan. Karena tidak terima, pelaku kemudian menyampaikan stigma negatif kepada jurnalis lalu menyebarkannya melalui media sosial untuk tujuan negatif.
Dalam kondisi tak mengenakkan ini, perusahaan media semestinya memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan kerja yang pasti bagi para jurnalisnya. Begitu jurnalis mengalami ancaman, perusahaan harus menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban kekerasan sampai dengan kasusnya tuntas diselesaikan sesuai UU Pers.
Persoalan lain yang tak kalah peliknya bagi jurnalis Indonesia yakni masalah upah rendah dan kondisi kerja tak teratur. Dua hal ini juga menjadi bentuk ancaman nonfisik bagi jurnalis.
Dewan Pers mencatat variabel tata kelola perusahaan dalam Indeks Kemerdekaan Pers 2019 hanya mencapai 69,09 karena disumbang rendahnya tingkat gaji wartawan. Sesuai dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers, wartawan semestinya mendapat 13 kali gaji setara dengan upah minimum provinsi (UMP) dalam setahun.
Sebagian besar gaji wartawan di daerah di bawah UMP. Banyak perusahaan media dan wartawan menggadaikan idealismenya untuk sekadar bertahan hidup. Akibatnya, independensi media dan kemerdekaan pers mengalami situasi kritis. Situasi ini berkorelasi dengan variabel independensi dari kelompok kepentingan yang angkanya baru mencapai 71,71.
Menyikapi hal ini, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengatakan, hasil penilaian IKP 2019, khususnya variabel-variabel yang berapor ”merah”, akan segera disampaikan kepada kementerian-kementerian dan provinsi-provinsi terkait. ”Dewan Pers juga memberikan catatan bagaimana langkah-langkah perbaikan yang seharusnya dilakukan,” katanya.
Berbagai catatan penting di atas memberikan peluit keras bagaimana persoalan kemerdekaan pers mesti jadi perhatian serius di Indonesia. Menurut tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja, kemerdekaan atau kebebasan pers harus terus-menerus dipelihara agar bangsa ini tak jatuh kembali ke masa otoritarianisme. Di sisi lain, ia juga memberikan pesan khusus kepada seluruh jajaran media Indonesia agar terus meningkatkan profesionalisme dan etika.