Semua Tangan untuk Mereka
Keberadaan anak jalanan, seperti juga kelompok gelandangan, pengemis, dan penyandang masalah kesejahteraan lainnya, menjadi penanda kemiskinan dan masalah sosial di tengah masyarakat.
Anak-anak yang hidup di jalanan masih ditemukan di sejumlah kota di negeri ini. Menggunakan data Kementerian Sosial tahun lalu, setidaknya ada 12.000 anak jalanan yang harus diselamatkan secepatnya. Namun, bagaimana cara menyelamatkan anak-anak ini?
Keberadaan anak jalanan, seperti juga kelompok gelandangan, pengemis, dan penyandang masalah kesejahteraan lainnya, menjadi penanda kemiskinan dan masalah sosial di tengah masyarakat. Setidaknya sebagian besar responden jajak pendapat Kompas yang tersebar di 17 kota besar mengonfirmasi keberadaan anak jalanan di kotanya pada pertengahan bulan ini.
Kompleksitas persoalan membutuhkan kebijakan yang holistik supaya program tidak sekedar tambal sulam. Penanganan harus bersifat terpadu yang tidak hanya melibatkan anak, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Mulai dari pendekatan represif dan preventif hingga rumah penampungan dan rumah singgah sudah dilakukan di masa lalu. Namun, faktanya belum mampu membuat Indonesia bebas dari anak jalanan.
Kompleksitas persoalan membutuhkan kebijakan yang holistik supaya program tidak sekedar tambal sulam.
Sebagai bagian dari anak-anak, anak jalanan juga harus dilindungi seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas Perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah melakukan upaya intervensi terhadap anak jalanan. Intervensi yang dilakukan awalnya dengan pendekatan represif. Upaya ini kemudian dirasakan tidak efektif karena hanya menghilangkan anak dari jalanan untuk sementara.
Upaya represif kemudian berangsur ditinggalkan. Penjaringan terhadap anak jalanan mulai dilakukan dengan pendekatan minim kekerasan. Anak yang terjaring kemudian dibawa ke rumah singgah yang disediakan pemerintah, termasuk hasil kerjasama dengan pihak swasta dan individu masyarakat.
Namun, keberadaan rumah singgah tidak menyelesaikan masalah. Keterbatasan waktu untuk mengakses rumah singgah menjadi kendala bagi anak-anak ini mencari tempat perlindungan dari kerasnya dunia jalanan. Belum lagi masih kurangnya kemampuan pendampingan psikologis di sebagian fasilitator sehingga menghambat komunikasi yang merangkul anak jalanan.
Dari sisi fokus program yang dijalankan, program yang langsung diarahkan kepada anak ternyata kurang berhasil. Pengaruh teman sebaya dan lingkungan pergaulan serta kebiasaan selama ini menjebak mereka. Padahal, misalnya, di rumah singgah anak-anak ini juga sudah mengikuti pelatihan keterampilan (vocational training).
Di sebagian daerah, pendekatan represif berupa larangan dan hukuman kembali menjadi pilihan melalui penerbitan peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah atau kepala dinas. Sasarannya, larangan kegiatan anak jalanan dan siapa pun yang memberi uang kepada anak jalanan. Sebuah langkah penanganan yang sporadis dan parsial.
Baca juga: Memahami Anak Jalanan
Gerakan sosial
Penanganan anak jalanan tidak bisa sekadar diatasi dengan pelarangan dan penjaringan anak jalanan. Pendekatan holistik oleh semua pihak harus dilakukan dengan pendekatan yang bertujuan mengembalikan anak jalanan ke lingkungan keluarga ataupun komunitas yang baik.
Program berbasis keluarga dan komunitas didukung peraturan dan pendanaan dari pemerintah menjadi kebijakan yang diharapkan menjadi pendekatan yang lebih komprehensif dan tepat sasaran. Kebijakan yang membangun sebuah gerakan sosial.
Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan (Gersos IBAJ) dicanangkan tahun 2017 berperan sebagai peta jalan menuntaskan masalah anak jalanan di Indonesia.
Aktivitas sosial ini melibatkan pemerintah dan berbagai komponen masyarakat. Sebut saja pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota; lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA); organisasi sosial; serta pekerja sosial yang secara spesifik fokus pada isu anak jalanan dalam mengampanyekan perubahan sosial melalui layanan rehabilitasi sosial.
Gerakan ini berupaya mencegah anak yang rentan menjadi anak jalanan turun ke jalan dan mempertahankan anak yang sudah kembali ke lingkungan rumah atau lingkungan amannya agar tidak kembali ke aktivitas jalanan. Caranya lewat kampanye sosial, pemenuhan kebutuhan dasar anak, penguatan kemandirian keluarga, penguatan lembaga kesejahteraan sosial (LKS), dan pencegahan anak jalanan berbasis masyarakat.
Selain kampanye sosial melalui berbagai media, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) melakukan pendampingan terhadap keluarga dengan anak jalanan dan keluarga rentan anak jalanan. Penguatan kemandirian keluarga dilakukan lewat kegiatan Temu Penguatan Anak dan Keluarga (Tepak) yang lebih intensif dan diselenggarakan di komunitas lokal selain LKSA.
Gerakan ini berupaya mencegah anak yang rentan menjadi anak jalanan turun ke jalan dan mempertahankan anak yang sudah kembali ke lingkungan rumah atau lingkungan amannya agar tidak kembali ke aktivitas jalanan.
Kegiatan lainnya adalah pemberian bantuan kelompok usaha bersama dan usaha ekonomi produktif yang diintegrasikan dan diselaraskan dengan bantuan non-tunai dan program-program di kementerian lainnya. Khusus untuk anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan dasar anak juga dilakukan lewat Tabungan Sosial Anak (TaSA), pemberian nutrisi, dan akses akta kelahiran.
Sementara itu, untuk menguatkan dukungan bagi keluarga dan anak-anaknya, program berbasis masyarakat juga dibangun. Targetnya adalah mencegah anak turun ke jalanan. Program ini dilakukan lewat pemantapan kader masyarakat, pembentukan forum perlindungan anak berbasis masyarakat, serta penguatan kelembagaan di tingkat desa/kelurahan, seperti PKK, karang taruna, kelompok tani, pusat dukungan anak dan keluarga (PDAK), dan masyarakat.
Keterlibatan
Sebagai program nasional, tanggung jawab penanganan anak jalanan tidak hanya di pundak Kementerian Sosial. Bantuan dana pendidikan ada di tangan Kementerian Pendidikan dan pemenuhan akta kelahiran menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional terlibat dalam upaya melibatkan anak jalanan dalam membangun Generasi Berencana (GenRe).
Ujung tombak keberhasilan ada di tangan pemerintah daerah sebagai pelaksana langsung. Demi membangun semangat pemerintah daerah, pemerintah pusat memilih beberapa kabupaten atau kota sebagai model untuk Gersos IBAJ ini. Indikatornya, antara lain, adanya penurunan jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun; memiliki regulasi tentang anak jalanan secara khusus, termasuk dalam kota layak anak; dan memiliki sistem layanan terpadu penanganan anak jalanan.
Baca juga : Mencipta Ruang untuk Anak Jalanan
Dalam praktiknya, penanganan anak jalanan berbeda-beda sesuai pemetaan di setiap daerah. Penanganan meliputi tahapan penjangkauan yang terdiri dari pemetaan keberadaan anak dan pola mobilitas anak, penilaian kondisi dan kebutuhan anak, kondisi keluarga, potensi, serta sumber yang dapat digunakan untuk membantu anak dan keluarga.
Tahapan selanjutnya adalah rehabilitasi sosial dan reintegrasi dengan keluarga. Jika penanganan tidak bisa dilakukan di tingkat keluarga, akan dilakukan upaya rujukan. Rujukan adalah pengalihan pelayanan ke pihak lain yang dianggap lebih tepat untuk membantu anak dan keluarganya berdasarkan hasil asesmen pekerja sosial.
Pihak yang dimaksud di antaranya social development centre atau lembaga yang berfungsi sejenis; LKSA, baik pemerintah maupun masyarakat; lembaga pendidikan yang memiliki asrama; dan sistem layanan terpadu penanganan anak jalanan.
Program yang sedang berjalan terlihat sangat ideal di atas kertas, tetapi tak mudah direalisasikan. Mengembalikan hak-hak anak yang sudah tercerabut dari lingkungan idealnya ini sangat tergantung komitmen semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga masyarakat. Apapun rintangan harus diatasi karena menyelamatkan anak-anak dari jalanan berarti juga menyiapkan masa depan yang lebih baik.